Analisis
Kebijakan Pendidikan Tentang Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
(RUU Sisdiknas) Tahun 2022
Rendi Muhamad Yani1,
Jejen Musfah2, Hasyim Asy�ari3, Maftuhah4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
INFO
ARTIKEL |
ABSTRAK |
Kata Kunci: Analisis, Kebijakan
Pendidikan, RUU Sisdiknas Keywords: |
Penelitian
ini adalah analisis mengenai Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional (RUU Sisdiknas) yang di inisiasi oleh Kemendikbudristek RI pada
tahun 2022. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana analisis proses
kebijakan Pendidikan dan analisis isi kebijakan Pendidikan dari RUU Sisdiknas
tahun 2022. Metode penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan
analisis proses dan analisis isi kebijakan Pendidikan dalam bentuk studi
dokumen. Dokumen-dokumen yang dikumpulkan menjadi data penelitian ini adalah
draft RUU Sisdiknas tahun 2022, draf naskah akademik RUU Sisdiknas tahun 2022,
draf sosialisasi Kemendikbudristek RI sepanjang tahun 2022 serta
pandangan-pandangan yang komprehensif dari para ahli Pendidikan, akademisi,
praktisi Pendidikan, dan unsur-unsur masyarakat yang berkepentingan dalam
dunia Pendidikan. Dari penelitian ini dapat diketahui beberapa polemik yang
dimunculkan sejak di usulkannya RUU ini oleh Kemendikbudristek RI pada tahun
2022, dimana RUU ini sudah masuk Badan Legislasi (Baleg) DPR RI serta sudah
masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2023.
Namun berkat kritikan dan penolakan dari berbagai pihak, RUU ini kemudian
dicabut kembali dari Prolegnas prioritas. Adapun polemik-polemik tersebut
adalah: (1) Polemik penyususnan RUU Sisdiknas, (2) Wacana Omnibuslaw sistem
Pendidikan nasional, (3) Tidak ada Peta Jalan Pendidikan Nasional, (4)
Hilangnya Tunjangan Profesi Guru, dan (5) Hilangnya frasa madrasah. ABSTRACT This study is an analysis of the
draft law on the National Education System (National Education System Bill)
initiated by the Ministry of Education, Culture, Research and technology of
the Republic of Indonesia in 2022. This study wants to know how the analysis
of the educational policy process and the analysis of the content of the
education policy of the National Education Bill in 2022. This research method
is a qualitative method using Process Analysis and content analysis of
Education Policy in the form of document studies. The documents collected
into this research data are the draft of the National Education Bill in 2022,
the draft academic manuscript of the National Education Bill in 2022, the
draft socialization of the Ministry of Education and culture and Technology
of the Republic of Indonesia throughout 2022, as well as comprehensive views
from education experts, academics, education practitioners, and elements of
society with an interest in education. From this research, it can be seen
that several polemics have been raised since the proposal of this bill by the
Indonesian Ministry of Education and culture and Technology in 2022, where
this bill has entered the legislative body (Baleg) of the DPR RI and has been
on the list of priority National Legislation programs (Prolegnas) in 2023.
However, due to the many criticisms and rejections from various parties, this
bill was later revoked from the priority national legislation. The polemics
are: (1) the polemic of the drafting of the National Education System Bill,
(2) The Omnibuslaw discourse of the National Education System, (3) there is
no National Education Roadmap, (4) the loss of teacher professional
allowances, and (5) the loss of madrasah phrases. |
analysis,
Education Policy, National Education Bill. |
Untuk
menghadapi permasalahan Pendidikan Nasional di masa depan yang akan semakin
Kompleks, maka pemerintah harus berupaya meningkatkan SDM dengan cara
meningkatkan kualitas pendidikan di setiap jenjang dengan menyusun suatu
kebijakan nasional tentang Pendidikan (Beynaghi et al., 2016; Pucciarelli & Kaplan, 2016; Taylor et al.,
2023).
Alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 berbunyi �pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial�.
Sedangkan
Indonesia berupaya supaya Indonesia menjadi negara yang berdaulat, maju, adil,
dan makmur pada tahun 2045 yang mana merupakan 100 tahun usia kemerdekaan
Indonesia.
Agar
meraih tujuan tersebut maka Indonesia harus menciptakan sektor pendidikan yang
dapat menghasilkan SDM dengan kualitas yang lebih baik, memiliki kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, memiliki kemandirian dan dapat meningkatkan harkat
dan martabat bangsa (Handayani et al., 2015; Pambudi & Harjanto, 2020; Sholeh et al.,
2021).
Sistem
pendidikan juga diharuskan dapat memberikan jaminan dalam memberikan kesempatan
pendidikan secara merata, meningkatkan kualitas serta relevansi pendidikan
dalam mengakomodir berbagai keragaman Indonesia serta sebagai bekal untuk
berhadapan dengan berbagai permasalahan yang dibutuhkan di era globalisasi dan
berbagai perubahan kehidupan.
Pasal
31 ayat (3) UUD 1945 berbunyi, �Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang.� Kini ada 3 dasar hukum yang menjadi landasan adanya pengaturan
pendidikan, yakni UU Sisdiknas, UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU
Guru dan Dosen), dan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti).
Dalam
melaksanakan amanat pasal 31 ayat (3) UUD diatas, pemerintah bersama DPR harus
menyusun kebijakan dalam bentuk Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) yang sesuai dengan kebutuhan bangsa dalam menghadapi tantangan
global. Indonesia dalam hal ini beberapa kali mengganti undang-undang yang
mengatur penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Dan yang terbaru adalah
wacana pengesahan RUU tentang Sisdiknas terbaru yang akan disahkan pada tahun
2023.
Dalam
naskah akademik draf RUU sisdiknas tersebut, disebutkan bahwasanya ada 29
permasalahan yang teridentifikasi dalam naskah akademik tersebut tentang alasan
dan sebab perubahan UU Sisdiknas dengan menggabungkan beberapa UU misalnya UU
Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, dan UU Dikti. Ketiganya harus sesuai kebutuhan
serta tuntutan perkembangan pendidikan nasional.
Namun
dalam proses pembentukan sebuah kebijakan publik dalam hal ini adaalah RUU
Sisdiknas, perlu kajian dan persiapan yang mendalam serta komprehensif.
Komprehensif disini dalam artian secara materi isi undang-undang, komprehensif
secara teori, dan filosophis, serta komprehensif dalam menampung aspirasi dan
masukan dari para ahli pendidikan, stake holder serta seluruh elemen yang
berkaitan langsung dengan persoalan pendidikan.
Proses
penyusunan RUU SISDIKNAS yang baru ini banyak mengundang kritik dari berbagai
kalangan dalam hal proses penyusunan draft RUU Sisdiknas serta muatan atau isi
dari draft RUU Sisdiknas tersebut. Beberapa kalangan menyebutkan bahwasanya
draf RUU Sisdiknas tersebut cacat hukum secara proses penyusunan undang-undang
serta kurang menampung masukan, gagasan serta pandangan dari para ahli
pendidikan, pemerhati pendidikan, praktisi pendidikan, akademisi serta
stakeholder di dunia pendidikan dalam hal muatan atau isi dari draft RUU
Sisdiknas tersebut.
Masukan,
gagasan serta pandangan dari para ahli pendidikan, pemerhati pendidikan,
praktisi pendidikan, akademisi serta stakeholders pendidikan ini akan dirangkum
dalam penulisan tesis ini melalui study dokumen sesuai dengan metodologi
penelitian yang berlaku sesuai standar penulisan karya ilmiah dalam bentuk
tesis (Fan & Zhong, 2022; Khlaisang & Likhitdamrongkiat, 2015;
M�ki�-Marusik et al., 2019; Prestridge, 2019).
Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan
menggunakan study dokumen dimana penulis mengumpulkan dokumen-dokumen penting
yang berkaitan dengan penelitian ini seperti naskah akademik RUU Sisdiknas
2022, draft RUU Sisdiknas tahun 2022, draft sosialisasi RUU Sisdiknas tahun
2022 kemendikbudristek, serta pandangan dari para ahli dan stake holder
pendidikan.
Dalam
metode kualitatif ini, penulis menggunakan dua analisis dalam penelitian ini,
yaitu analisis proses kebijakan pendidikan dan analisis isi kebijakan
pendidikan. Kedua pisau analisis ini penulis gunakan untuk membedah bagaimana
proses penyusunan RUU sisdiknas tahun 2022 dan isi dari RUU Sisdiknas tahun
2022 secara terstruktur sesuai dengan standar penulisan karya ilmiah.
Penelitian
ini ialah penelitian tentang proses dan isi atau muatan kebijakan yang
menggunakan metode kualitatif (Musfah, 2016). Kebijakan yang diteliti dalam penelitian ini yakni RUU
Sisdiknas yang mengacu pada dokumen naskah akademik RUU Sisdiknas 2022, draft
RUU Sisdiknas 2022 yang disusun oleh tim dari Kemendikbudristek pada tahun
2022, draft sosialisasi Kemendikbudristek sepanjang tahun 2022, serta opini dan
pandangan dari para stakeholder pendidikan mengenai RUU Sisdiknas 2022 tersebut.
Penelitian
kebijakan ialah pemahaman secara lebih dalam terkait kebijakan melalui
penggunaan pendekatan yang cenderung metodologis. Waktu pelaksanaannya terletak
pada pra-implementasi, implementasi, atau pasca implementasi. Pelaksana
penelitian kebijakan umumnya adalah lembaga keilmuan. Lama durasi penelitian
kebijakan bisa pendek dan panjang. Adapun penelitian kebijakan yang penulis
lakuan adalah penelitian kebijakan yang waktu pelaksanaannya adalah
pra-implementasi atau sebelum kebijakan tersebut ditetapkan (Ttlaar & Nugroho, 2009).
Pendekatan
yang dipergunakan ialah pendekatan empiris, evaluatif, dan normatif. Pendekatan
empiris dipergunakan agar memberikan penjelasan mengenai faktor penyebab serta
dampak kebijakan publik. Pendekatan evaluatif dipergunakan dalam menetapkan
nilai dari beberapa kebijakam. Pendekatan normatif� adalah agar mengakomodir pengusulan arah
tindakan yang mampu menyelesaikan permasalahan kebijakan (Dunn, 2000).
Gordon
dkk. (1993) dan Hill (2005) mempergunakan konsep analisis sebagai penyamaan
dari penelitian. Dikemukakan bahwasanya pada dasarnya analisis kebijakan dapat
dikelompokkan menjadi 2 yakni mengenai suatu kebijakan dan untuk merumuskan
suatu kebijakan.
Dari
penelitian kebijakan diatas, maka analisis kebijakan dibagi menjadi tiga, yakni
penelitian tentang isi, penelitian tentang keluaran, dan penelitian tentang
proses. Mengikuti pemikiran Gordon dkk. dan Hill, penelitian kebijakan ini
adalah penelitian tentang kebijakan, dengan kekhususan pada penelitian ini
mengenai isi kebijakan dan proses kebijakan.
Penelitian
mengenai proses kebijakan pendidikan adalah penelitian terkait cara menghindari
kebijakan tersebut melaksanakan proses secara kelembagaan mulai dari proses
merumuskan, menerapkan hingga lingkungan tempat kebijakan tersebut ditetapkan (Ttlaar & Nugroho, 2009).
Penelitian
terkait isi kebijakan pendidikan mencakup penilaian kebijakan berdasarkan aspek
isi dari kebijakan tersebut. Analisis isi dapat dijadikan sebagai metode yang
tepat untuk dipergunakan, baik bersifat kuantitatif, kualitatif hingga
komparatif (Dunn, 2000).
HASIL
DAN PEMBAHASAN
1.� Analisis Proses Rancangan Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) Tahun 2022
Sesuai
peraturan UU No 12 tahun 2011 junto UU No 15 tahun 2019 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, disebutkan bahwasanya �terdapat lima tahap
pembentukan undang-undang yaitu tahap perencanaan, tahap penyusunan, tahap
pembahasan, tahap pengesahan, dan tahap pengundangan�.
Saat
ini pembentukan RUU Sisdiknas berada pada tahapan pertama. Tahap berikutnya
dilaksanakan sesudah usulan RUU diterima sebagai prolegnas prioritas. Tahap
perencanaan mulai dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat seperti pakar
hukum, pakar pendidikan, dan lebih dari 90 lembaga sesuai UU 12/2011 dan
turunannya, keterlibatan publik akan terus dilaksanakan hingga tahap penyusunan
dan pembahasan.
Keterlibaran
publik diperlukan untuk memperoleh masukan lisan dan tertulis dari berbagai
pemangku kepentingan (Mouter et al., 2021; Ulibarri et al., 2019; Vit�li�ov� et al., 2021). Dalam prosesnya, pelibatan
publik dalam proses penyusunan RUU Sisdiknas 2022 oleh Kemendikbudristek,
penulis mencatat bahwasanya terdapat tujuh kali proses uji publik yang
dilakukan, yaitu: Uji publik 25 Januari 2022, uji publik 8 Februari 2022, uji
publik 10 Februari 2022, uji publik 14 Februari 2022, uji publik 14 Maret 2022,
uji publik 18 April 2022 dan uji publik 25 April 2022.
Sementara
itu, sejak wacana RUU Sisdiknas tahun 2022 di gulirkan ke publik oleh
kemendikbudristek berbagai kritik dan polemik pun mulai bermunculan dari aktor
kebijakan pendidikan yang lain seperti lembaga legislatif, akademisi, para ahli
di bidang pendidikan, organisasi masyarakat serta stake holder lainnya yang
mempunyai kepentingan yang sama mengenai wacana perubahan undang-undang sistem
pendidikan nasional.
Prof.
Dr. Azyumard azra bahkan mengkritik keras proses penyusunan rancangan
undang-undang sisdiknas tersebut. Menurutnya, proses legislasi belakangan ini,
boleh jadi termasuk RUU, sering menunjukkan kerjasama kepentingan eksekutif dan
legislatif, dan pihak yang berkaitan dengan oligarki politik dan bisnis (Smirnova et al., 2021).
Tidak
jarang terdapat pihak yang terlibat namun sudah dipilih pihak-pihak yang
mendukung adanya persekongkolan. Tidak jarang legislasi mempergunakan
keterlibatan pemangku kepentingan yang dianggap mampu mengkritik RUU tersebut.
Seharusnya
RUU tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan yang seharusnya agar RUU tersebut
dicermati dengan baik oleh publik karena berkaitan dengan pendidikan sebagai
penentu masa depan bangsa.
Undang-undang
yang dimaksud Prof. Dr. Azyumard azra adalah UU No. 12 tahun 2011 junto UU No.
15 tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan
bahwasanya �terdapat lima tahap pembentukan undang-undang yaitu tahap
perencanaan, tahap penyusunan, tahap pembahasan, tahap pengesahan, dan tahap
pengundangan�. Selain daripada itu, UU tersebut juga mengatur tentang
keterbukaan dan keterlibatan publik dimana kita akan menemukan banyak polemik
dari dua hal tersebut mengenai proses penyususnan RUU Sisdiknas tahun 2022.
Pandangan
senada juga disampaikan oleh Prof. Dr. Cecep Darmawan, pakar pendidikan
sekaligus guru besar bidang ilmu politik itu mengungkapkan bahwasanya semenjak
diajukannya RUU tersebut, masyarakat seharusnya terlibat, bukan hanya terlibat
secara mendadak. Masyarakat memiliki hak untuk memberi saran secara lisan
ataupun tulisan, ketika berlangsungnya rapat pendapat umum, kunjungan atau saat
melakukan diskusi. Sehingga apabila perihal tersebut tidak dijalankan maka
terindikasi adanya pelanggaran dalam penyusunan RUU tersebut.
Analis
kebijakan pendidikan Dr. Jejen Musfah, M.A., juga menyampaikan pandangan
kritisnya tentang proses penyusunan RUU Sisdiknas 2022 ini. Beliau menyampaikan
bahwasanya RUU sisdiknas memiliki kecacatan secara formal karena proses
penyusunannya dilaksanakan secara tertutup dan dan keterlibatan publik hanya
sebagai formalitas. Keterlibatan para ahli dan praktisi pendidikan dianggap
tidak efektif karena dilaksanakan secara singkat. Dialog yang dilaksanakan
hanya satu arah sehingga seakan-akan pemerintah tidak mau mendapatkan masukan
dari publik. Selain itu masyarakat juga semakin pesimis karena saran yang sudah
diberikan tidak di akomodir oleh pemerintah (Musfah, 2021).
Pemerintah
tidak seharusnya abai terhadap saran yang diberikan oleh publik karena
kebijakan yang baik merupakan kebijakan yang diciptakan oleh publik dan
ditujukan kepada publik. Undang-undang yang baik harus mampu menggambarkan
aspirasi masyarakat secara luas dan tidak hanya berdasarkan aspirasi segelintir
orang (Musfah, 2021).
Cacat
formal yang dimaksud Dr. Jejen Musfah itu juga dipertegas oleh pernyataan sikap
Koalisi Pendidikan Nasional (KPN) Melalui pengacara publik LBH Jakarta KPN
mencatat ada beberapa permasalahan yang ditimbulkan oleh RUU Sisdiknas.
Pertama, pemerintah tidak terbuka terhadap draf RUU Sisdiknas sehingga
melanggar UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No.12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Terutama
Pasal 88 ayat (1) berbunyi �Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah
sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-undang, pembahasan
Rancangan Undang-undang, hingga Pengundangan Undang-undang�. Sementara ayat (2)
berbunyi: �Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku
kepentingan�.
Selanjutnya
Pasal 171 Perpres No.87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mewajibkan
pemerintah membuka draf RUU kepada publik sejak awal. Perihal tersebut
menjadikan proses perencanaan dan penyusunan RUU Sisdiknas menjadi tidak
partisipatif dan berlawanan dengan UU.
Dari
polemik kecacatan formil proses penyusunan RUU Sisdiknas tahun 2022, Aliansi
Penyelenggara Pendidikan Berbasis Masyarakat meminta supaya menunda pembahasan
revisi UU Sisdiknas. Terlalu gegabah untuk merevisi UU Sisdiknas tanpa arah
yang jelas dapat menimbulkan bahaya bagi pendidikan. Uji publik dan hearing,
jika hanya sekedar formalitas, tanpa melaksanakan pengakajian pada permasalahan
substansial, akan memperburuk pendidikan nasional.
Majelis
Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) menyatakan bahwasanya revisi UU sisdiknas
harus dilakukan penundaan karena adanya permasalahan yang mengarah pada
ideologi neoliberal yang mengesampingkan keadilan sosial. Supaya sistem
pendidikan kita betul-betul mengutamakan keadilan sosial dan menjunjung
kesejahteraan masyarakat.
Di
pihak lain, Kemendikbudristek menyebutkan penyusunan RUU Sisdiknas dilaksanakan
agar menguatkan pendidikan Indonesia. Hingga kini, BPHN dan Kemendikbudristek
sudah dan akan terus mengundang beberapa pemangku kepentingan agar melaksanakan
uji publik RUU Sisdiknas beserta naskah akademik sesuai undang-udang.
Meski
demikian, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (PPG) yang diwakil dewan pakarnya
Rakhmat Hidayat menyebut proses penyusunan RUU Sisdiknas 2022 minim melibatkan
stakeholders pendidikan. PPG mencontohkan, uji publik pada Februari 2022
terlihat hanya formalitas. Karena organisasi yang diundang hanya memperoleh
waktu 5 menit untuk mengutarakan sarannya. Kemendikbud ristek semestinya
mengetahui bahwasanya partisipasi publik yang dilaksanakan untuk menghasilkan
undang-undang merupakan partisipasi bermakna yang harus mendengarkan pendapat
yang disampaikan oleh publik untuk dipertimbangkan dan memperoleh penjelasan
atau jawaban dari pendapat yang sudah disampaikan.
Muhammadiyah
juga memberikan kritik yang sama terhadap proses penyusunan RUU Sisdiknas 2022
ini, melalui pernyataan Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Prof. Dr.
Abdul Mu�ti M.E.D, RUU Sisdiknas yang diusulkan Kemendikbudritek itu belum
memenuhi ketentuan UU No. 12 tahun 2011 dan UU No. 15 tahun 2019. Terdapat
berbagai aspek terkait perayaratan-persyaratan dalam UU tersebut yang belum
dipenuhi RUU Sisdiknas.
Selain
dari para ahli, ormas, aliansi, dan stakeholders pendidikan lainnya, kritikan
juga datang dari institusi negara yaitu lembaga legislatif DPR RI Khususnya
dari komisi X DPR RI. Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf menganggap
penyusunan RUU Sisdiknas masih membutuhkan kejelasan. Menurutnya, banyak
persiapan yang diperlukan untuk menyusun RUU Sisdiknas.
Beberapa
masukan penting yang catatan Komisi X DPR RI dalam RDPU sebelumnya, adanya
masukan untuk membentuk tim pokja nasional revisi UU Sisdiknas dari berbagai
organisasi, revisi UU Sisdiknas membutuhkan tambahan substansi keberpihakan
yang seimbang dari negara, pemerintah terhadap satuan pendidikan yang
diselenggarakan.
Kemudian,
PGRI, IGI dan Forum Pengelola Lembaga Kursus dan Pelatihan memaksa pemerintah
agar menunda pengajuan RUU sisdiknas hingga komunikasi dengan pemangku
kepentingan pendidikan terselesaikan.
Selain
komisi X DPR RI, anggota Baleg DPR RI�
Bukhori Yusuf meminta supaya RUU Sisdiknas ditarik pemerintah dari
Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2023. RUU Sisdiknas sudah menyebabkan berbagai
permasalahan serta ditolak banyak stakeholder Pendidikan.
Sebelum
menyampaikan usulan RUU Sisdiknas dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2023,
pemerintah perlu menerima saran masyarakat luas dan menyertakan seluruh
pemangku kepentingan pendidikan nasional dalam menyusun Naskah Akademik dan
draf RUU Sisdiknas. RUU ini tidak boleh disusun dengan tergesa-gesa, harus
memperhatikan prinsip kehati-hatian, partisipasi masyarakat, serta ketelitian,
agar menghasilkan RUU Sisdiknas yang lebih komprehensif dan mendukung
tercapainya pendidikan nasional yang lebih baik.
Artinya
bahwasanya RUU Sisdiknas tahun 2022 yang diusulkan Kemendikbudristek RI
berstatus dikeluarkan dari Badan Legislasi Nasional DPR RI yang sebelumnya
sudah masuk Badan Legislasi Nasional Prioritas. Dikeluarkannya RUU Sisdiknas
2022 dari Badan Legislasi Nasional tentu berkat polemik yang ditimbulkannya
sejak proses penyususnan RUU tersebut. Faktor dominan lainnya tentu karena
respon publik yang kritis serta deras sehingga menghentikan proses legislasi
yang bermasalah sejak dalam proses pembuatannya.
Dari
data-data yang dikumpulkan penulis melalui studi dokumen ini, penulis
menyimpulkan analisis proses penyusunan sebuah kebijakan publik mengenai RUU
sisdiknas 2022 ini bahwasanya itikad baik pemerintah melalui Kemendikbudristek
dalam upayanya untuk mengubah undang-undang sistem pendidikan nasional juga
harus dengan cara dan proses yang baik pula sesuai undang-undang.
Ketergesa-gesaan
pemerintah dalam proses penyusunan RUU Sisdiknas tahun 2022 tidak bisa
dibenarkan walaupun dalam alibinya adalah untuk efisiensi waktu. Untuk sebuah
kebijakan publik khususnya kebijakan pendidikan yang akan berdampak luas kepada
seluruh rakyat Indonesia yang diperlukan bukan hanya soal efisiensi waktu
melainkan kemaslahatan bersama agar kebijakan pendidikan yang dibentuk
komprehensif, demokratis serta memenuhi asas keadilan untuk seluruh rakyat
Indonesia yang berkaitan dengan pendidikan Nasional.
2.� Analisis Isi Rancangan Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) Tahun 2022
RUU
Sisdiknas tahun 2022 adalah rancangan undang-undang yang diinisiasi oleh Kemendikbudristek
pada tahun 2022 yang terdiri dari 16 Bab dan 150 pasal. Sementara Naskah
akademik dari RUU Sisdiknas disusun pada tahun yang sama oleh tim dari
Kemendikbudristek yaitu Kepala badan standar, kurikulum, dan asesmen
pendidikan, Bapak Anindito Aditomo, S.Psi., M.Phil., Ph. D, selaku pejabat
Kemendikbudristek yang menandatangani naskah akademik RUU Sisdiknas tahun 2022.
Setelah
naskah akademik RUU Sisdiknas selesai disusun, Kemendikbudristek harus
melakukan penyelarasan kepada Mentri hukum dan hak asasi manusia melalui kepala
badan pembinaan hukum nasional Bapak Prof. Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H.,
M.Hum,. Menteri Hukum dan HAM, melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional sebagai
unit yang bertanggung jawab dalam penyelarasan naskah akademik di Kemenkumham,
penyelarasan naskah akademik sesuai permohonan dari Mendikbudristek No.
26875/MPK.A/HK.01.01/2022. Tindakan ini merupakan amanat dari Pasal 9 PP No. 87
Tahun 2014 mengenai Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Penyelarasan naskah akademik RUU Sisdiknas
dilaksanakan oleh Tim sesuai Keputusan Menkumham Nomor PHN.15-HN.02.04 Tahun 2022.
Tim ini bertugas untuk menyelaraskan sistematika dan materi naskah akademik
sesuai dengan teknik penyusunan naskah akademik yang diatur dalam Lampiran I UU
No. 12 Tahun 2011, dengan melibatkan pemangku kepentingan.
Dalam
naskah akademik RUU Sisdiknas yang disusun oleh Kemenristekdikti pada tahun
2022 menyebutkan bahwasanya saat ini terdapat tiga undang-undang yang mendasari
pengaturan terkait pendidikan, yakni UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, dan UU
Dikti. Ketiga undang-undang tersebut perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan
tuntutan perkembangan pendidikan nasional.
Selain
itu, penulis juga mengumpulkan data dari berbagai dokumen yang dikumpulkan
peneliti baik itu dari naskah akademik RUU Sisdiknas 2022, draf RUU Sisdiknas
versi Agustus 2022 dan draf sosialisasi RUU Sisdiknas 2022, penulis menemukan
isu-isu penting yang melatar belakangi Kemenristekdikti dalam upayanya mengubah
sistem pendidikan nasional, secara garis besar dapat kami jelaskan berikut ini:
a.� Urgensi Dimulainya pembentukan RUU Sisdiknas
Tahun 2022
1) Kemenristekdikti menilai ada urgensi untuk
mengubah UU Sikdiknas yang sekarang berlaku dengan UU Sikdiknas yang baru. Di
mana kondisi UU Sikdiknas saat ini menurut Kemenristekdikti yaitu:
2) Satu sistem pendidikan namun diatur dalam tiga
Undang-undang sehingga memunculkan potensi ketidakselarasan. Contoh: Standar
Nasional Pendidikan dalam UU Sisdiknas dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi
dalam UU Pendidikan Tinggi.
3) Beberapa pengaturan terlalu mengunci sehingga
menimbulkan permasalahan dalam implementasinya dan tidak dapat mengikuti
perkembangan jaman. Contoh: kewajiban 24 jam mengajar,
bentuk-bentuk/nomenklatur satuan pendidikan, nomenklatur pendidik.
4) Telah ada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi
yang mengubah materi UU. Contoh: putusan MK yang membatalkan sekolah bertaraf
internasional, putusan MK yang memasukkan kembali gaji guru ke dalam 20% APBN�.
Dari
kondisi UU Sisdiknas saat ini, maka Kemendikbudristek menawarkan
perbaikan-perbaikan melalui RUU Sisdiknas ini, perbaikan yang ditawarkan yaitu:
1) Integrasi UU Guru dan Dosen, UU Dikti, dan UU
Sisdiknas dalam satu UU untuk melaksanakan amanah UUD 1945 tentang satu sistem
pendidikan, lebih sederhana, dan tidak tumpang tindih.
2) Untuk merespon perkembangan yang cepat,
undang-undang ini disusun lebih fleksibel, tidak terlalu rinci.
3) RUU Sisdiknas yang sedang direncanakan sudah
mengakomodasi semua putusan Mahkamah Konstitusi terkait tiga UU yang
diintegrasikan.
b.� Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan
Isu
penting yang ke dua dari wacana perubahan undang-undang sistem pendidikan
nasional ialah isu mengenai prinsip penyelenggaraan pendidikan. Di mana kondisi
saat ini dari prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah:
1) Demokratis, berkeadilan, serta tidak
diskriminatif
2) Satu kesatuan yang sistemik
3) Pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat.
4) Memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
5) Mengembangkan budaya membaca, menulis, dan
berhitung bagi segenap warga masyarakat.
6) Memberdayakan semua komponen masyarakat melalui
peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Dari
kondisi saat ini menyangkut prinsip penyelenggaraan pendidikan sesuai UU
Sisdiknas yang sekarang berlaku, kemenristekdikti menawarkan perbaikan atau
penyempurnaan dari prinsip penyelenggaraan pendidikan melalui RUU Sisdiknas
2022. Adapun perbaikan yang ditawarkan antara lain:
1) Memasukkan prinsip dari UU Pendidikan Tinggi
yaitu menjunjung tinggi kebenaran ilmiah
2) Menambahkan prinsip berorientasi pada pelajar
untuk menegaskan posisi pelajar sebagai subjek utama pendidikan (menggantikan
prinsip calistung).
3) Menambahkan prinsip inklusif untuk
menghilangkan hambatan dan menghargai keberagaman kebutuhan, kemampuan dan
karakteristik pelajar.
c.� Wajib Belajar
Isu
penting selanjutnya dalam wacan perubahan UU Sisdiknas oleh kemendikbudristek
2022 adalah mengenai program wajib belajar, dimana kemendikbudristek perlu ada
pengaturan ulang dari kondisi saat ini dengan perbaikan yang ditawarkan oleh
kemendikbudristek melalui RUU Sisdiknas 2022. Kondisi saat ini mengenai wajib
belajar yaitu:
1) Wajib belajar 9
tahun, yaitu pendidikan dasar meliputi sekolah dasar (SD)/sederajat 6 tahun dan
SMP/sederajat 3 tahun
2) Sekolah negeri
sering kali menghadapi masalah jika masyarakat berkontribusi.
Sedangkan
perbaikan yang ditawarkan oleh kemendikbudristek melalui usulan RUU Sisdiknas
2022 yaitu:
1) Wajib belajar 10 tahun, di mana cakupan
pendidikan dasar ditambah dengan kelas prasekolah sebelum kelas 1
2) Mempertegas perbedaan pendanaan pemerintah
untuk wajib belajar dan non wajib belajar.
d. Standar Nasional Pendidikan
Isu
selanjutnya dalam RUU Sisdiknas 2022 adalah mengenai Standar Nasional
Pendidikan (SNP). Kemendikbud merasa perlu ada perubahan dalam menetapkan
Standar Nasional Pendidikan di Indonesia, adapun kondisi saat ini mengenai
Standar Nasional Pendidikan (SNP) adalah:
1) Standar nasional pendidikan (SNP) diterapkan
secara seragam di seluruh Indonesia, tanpa melihat variasi kondisi dan
kebutuhan daerah.
2) Standar Nasional Pendidikan (SNP) diterapkan
secara seragam di semua jalur dan jenjang pendidikan, meski karakteristik tiap
jalur/jenjang berbeda-beda.
3) Standar Nasional Pendidikan (SNP) diatur secara
rinci ke dalam 8 standar sehingga peraturan turunannya terlalu mengikat dan
cenderung bersifat administratif.
Adapun
perbaikan yang ditawarkan oleh Kemendikbudristek mengenai SNP adalah:
1) Ada tahapan pemenuhan Standar Nasional
Pendidikan (SNP) yang diberlakukan secara bervariasi sesuai dengan kondisi tiap
daerah agar tiap pemerintah daerah termotivasi melakukan perbaikan yang
bermakna.
2) Tidak semua Standar Nasional Pendidikan (SNP)
diterapkan pada semua jalur pendidikan untuk memberi pengakuan keragaman
praktik yang kontekstual dan merancang intervensi yang lebih tepat.
3) Standar Nasional Pendidikan (SNP) dikelompokkan
dalam 3 standar (input, proses, dan capaian) sehingga lebih fleksibel dan
berorientasi pada mutu.
e.� Jalur, Jenis dan Jenjang Pendidikan
�Selanjutnya adalah mengenai jalur, jenis dan
jenjang pendidikan dimana kondisi saat ini adalah:
1) Ada variasi yang besar dalam jalur formal dan
nonformal, namun diatur dengan standar dan regulasi yang seragam.
2) Perbedaan antara pendidikan nonformal dengan
pendidikan informal tidak tergambar dengan jelas.
3) Hasil pendidikan nonformal dan informal dapat
diakui setara dengan pendidikan formal, secara implisit memberi kesan
bahwasanya pendidikan formal memiliki derajat lebih tinggi.
4) Tidak ada pengaturan eksplisit tentang
perpindahan antar jalur pendidikan.
Sementara
itu perbaikan yang ditawarkan mengenai jalur, jenis dan jenjang pendidikan
melalui RUU SISDIKNAS 2022 adalah:
1) Variasi pendidikan formal dan nonformal lebih
dimunculkan dengan mengakomodasi juga UU Pesantren dan bentuk pendidikan
keagamaan yang ada.
2) Penyesuaian definisi pendidikan nonformal dan
pembelajaran informal sesuai dengan definisi internasional. Dalam penjelasan,
penegasan sekolah rumah menjadi bagian pendidikan nonformal, sedangkan
pembelajaran tidak terstruktur di keluarga menjadi bagian pembelajaran
informal.
3) Konsep penyetaraan hasil pendidikan nonformal
dan informal dengan pendidikan formal diubah dengan: pemerintah melaksanakan
evaluasi yang bersifat opsional terhadap pelajar dari semua jalur pendidikan
yang ingin mendapatkan pengakuan hasil belajar.
4) Memperjelas pengaturan perpindahan antar jalur
pendidikan untuk memfasilitasi multi entry multi exit dan menjamin akses pada
pendidikan sepanjang hayat.
f. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Isu
lainnya yaitu mengenai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dimana kondisi saat
ini adalah:
1)�� PAUD dapat masuk jalur formal maupun
nonformal.
2)�� Dalam UU SISDIKNAS No. 20/2003 pembagian
layanan PAUD belum diatur, sehingga dalam penyelenggaraan PAUD masih bercampur
antar anak dengan berbagai kategori usia.
Sementara
itu perbaikan yang ditawarkan RUU SISDIKNAS 2022 adalah:
1) Layanan pengasuhan anak bagi anak usia 0 tahun
ke atas tetap pada jalur pendidikan nonformal.
2) Layanan kelompok bermain bagi anak usia 3- 5
tahun masuk ke jalur pendidikan formal.
3) Layanan prasekolah bagi anak usia 6 tahun
keluar dari cakupan PAUD dan menjadi kelas prasekolah dalam jenjang pendidikan
dasar. Kelas prasekolah masuk dalam cakupan wajib belajar 10 tahun.
4) UU tidak lagi
mengatur bentuk satuan pendidikan PAUD, melainkan mengatur jenis layanan PAUD.
Layanan PAUD dibedakan menjadi layanan pengasuhan anak dan layanan kelompok
bermain sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak.
g.� Pendidikan Dasar
dan Menengah
Isu
selanjutnya terkait Pendidikan dasar dan menengah, dimana kondisi saat ini
yaitu:
1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional tidak menyebutkan nilai-nilai Pancasila sebagai muatan wajib dalam
kurikulum.
2) Kurang eksplisit dalam memberi otoritas bagi
satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum operasional yang sesuai dengan
kebutuhan pelajar dan konteks kondisi dan kekhasan potensi daerah.
3) Kurikulum belum mengakomodasi penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sedangkan
perbaikan yang ditawarkan mengenai pendidikan dasar dan menengah dalam RUU
SISDIKNAS 2022 adalah:
1) Untuk memperkuat karakter Pancasila,
nasionalisme, dan budi pekerti, kurikulum wajib mencakup mata pelajaran
pendidikan agama dan budi pekerti, pendidikan Pancasila, dan Bahasa Indonesia
dan muatan wajib matematika, IPA, IPS, seni budaya, pendidikan jasmani dan
olahraga, keterampilan/kecakapan hidup, dan muatan lokal.
2) Muatan wajib tidak harus dalam bentuk mata
pelajaran masing-masing dan diorganisasikan secara fleksibel, relevan, dan
kontekstual.
3) Lebih tegas memberi kemerdekaan satuan
pendidikan dalam mengembangkan kurikulum dengan prinsip diferensiasi sesuai
konteks dan tahap perkembangan usia dan kemampuan pelajar.
4) Bagi pelajar penghayat kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, mata pelajaran pendidikan agama dilaksanakan dengan muatan
yang sesuai dengan kepercayaannya (sesuai Amar Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 97/PUU-XIV/2016).
h.�� Pendidikan Tinggi
Isu
selanjutnya dalam wacana perubahan RUU SISDIKNAS adalah mengenai perguruan
tinggi, dimana kondisi saat ini adalah:
1) Tridarma perguruan tinggi (pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) diterapkan secara seragam pada
semua perguruan tinggi.
2) Perguruan Tinggi Negeri memiliki tingkat
otonomi berbeda-beda (Badan Hukum, Badan Layanan Umum, dan satuan kerja).
3) Dengan kombinasi UU Sisdiknas dan UU Dikti,
Standar Nasional Dikti berjumlah 24 (8 SNP pada masing-masing darma dari
tridarma perguruan tinggi).
Sedangkan
perbaikan yang ditawarkan mengenai perguruan tinggi dalam RUU SISDIKNAS 2022
adalah:
1) Masing-masing perguruan tinggi dapat menentukan
proporsi pelaksanaan tridarma sesuai visi, misi, dan mandat perguruan tinggi
tersebut.
2) Perguruan tinggi negeri berbentuk PTN Badan
Hukum untuk mengakselerasi transformasi. Tanpa mengurangi dukungan pembiayaan
dari pemerintah. Dengan tetap memberlakukan standar biaya pemerintah dan
afirmasi terhadap calon mahasiswa dari keluarga tidak mampu.
3) Perguruan tinggi swasta memiliki pengurus yang
berbeda dan pengelolaan keuangan yang terpisah dengan badan penyelenggara.
4) Standar Nasional yang berlaku pada pendidikan
tinggi lebih sederhana menjadi 9 (3 SNP pada masing-masing darma dari tridarma
perguruan tinggi).
i.�� Pelajar Dengan Kondisi Khusus
Wacana
perubahan RUU SISDIKNAS juga memuat isu tentang Pelajar dengan Kondisi Khusus,
dimana kondisi saat ini adalah:
1) Pelajar penyandang disabilitas dan pelajar
dengan kecerdasan dan bakat istimewa diatur dalam kategori yang sama.
2) Definisi pelajar penyandang disabilitas yang
sempit dan belum selaras dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas.
3) Belum ada pengaturan yang jelas mengenai
penyelenggaraan dan pemenuhan layanan pendidikan bagi pelajar penyandang
disabilitas.
4) Belum ada pengaturan jelas mengenai hak untuk
mendapatkan pendidikan bagi pelajar dengan kondisi khusus.
Sedangkan
perbaikan yang ditawarkan mengenai Pelajar Dengan Kondisi Khusus melalui RUU
SISDIKNAS 2022 adalah sebagai berikut:
1) Pengaturan yang lebih responsif dan adaptif
agar setiap pelajar mendapatkan layanan pendidikan sesuai kondisi dan
kebutuhannya.
2) Memperluas definisi pelajar penyandang
disabilitas agar mengakomodasi segala bentuk disabilitas sebagaimana yang
dimaksud dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
3) Pengaturan penyelenggaraan dan pemenuhan
layanan pendidikan bagi pelajar penyandang disabilitas menyesuaikan dengan UU
Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
4) Pengaturan pendidikan khusus dan pendidikan
layanan khusus diubah menjadi berorientasi pada pelajar dengan memperluas
definisi pelajar dalam kondisi khusus, termasuk pelajar terlantar, pelajar usia
anak yang berhadapan dengan hukum, pelajar yang mengalami bencana, pelajar
pencari suaka, pelajar pengungsi, pelajar tanpa kewarganegaraan.
j.�� Pendidik Dan Tenaga Kependidikan
Isu
yang terakhir adalah mengenai pendidik dan tenaga kependidikan, dimana
kondisinya saat ini adalah:
1) Banyak kategori pendidik yang menjalankan tugas
seperti guru namun tidak diakui sebagai guru, contohnya: konselor, pamong
belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator.
2) Besaran tunjangan guru diatur di tingkat
undang-undang.
3) Guru wajib memiliki kualifikasi akademik
S1/D-IV.
4) Belum adanya kode etik guru yang berlaku secara
nasional, sehingga guru yang melanggar kode etik di satu organisasi bisa pindah
ke sekolah dan organisasi yang lain.
Sedangkan
perbaikan yang ditawarkan soal pendidik dan tenaga kependidikan dalam RUU
SISDIKNAS 2022 adalah:
1) Pendidik terdiri atas guru, dosen, instruktur,
dan pendidik keagamaan.
2) Dengan penyederhanaan kategori pendidik,
individu yang menjalankan tugas selayaknya guru dan memenuhi persyaratan untuk
menjadi guru dapat diakui sebagai guru, termasuk pendidik PAUD 3-5 tahun,
pendidik dalam satuan pendidikan kesetaraan, dan pendidik dalam pesantren
formal.
3) Akan tetapi, dengan perluasan definisi guru,
besaran tunjangan guru tidak lagi diatur di tingkat undang-undang.
4) Penegasan bahwasanya setiap orang yang akan
berprofesi sebagai guru wajib lulus dari Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Pemutihan bagi guru yang sudah mengajar saat UU terbit.
5) Guru wajib memenuhi kode etik guru, dimana Kode
etik guru nasional disusun oleh organisasi profesi guru di bawah koordinasi
kementerian dan ditetapkan oleh menteri, serta Kode etik guru di tingkat
organisasi profesi guru ditetapkan oleh organisasi masing-masing dan paling
sedikit memuat kode etik nasional.
Dari
sepuluh isu-isu besar di atas yang menjadi fokus utama mengenai RUU Sisdiknas
2022, penulis juga mengumpulkan dokumen yang berisi data tentang gagasan,
pandangan, persepsi serta kritik dari semua lini stake holder dibidang
pendidikan. Data ini kemudian penulis rangkum untuk melakukan analisis
kebijakan pendidikan tentang rancangan undang-undang sistem pendidikan nasional
2022.
Prof.
Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE., menganalisis isi dari RUU Sisdiknas yang
diinisiasi oleh kemendikbudristek tahun 2022, beliau bahkan mempertanyakan
ulang substansi dari RUU yang diajukan tersebut. RUU Sisdiknas tentang
Sisdiknas agaknya dipersiapkan menjadi seperti omnibus law? RUU atau �hukum
omnibus�, yang artinya �untuk semua� atau meliputi semua.� Atau �satu undang-undang yang mengatur
berbagai hal� atau �menyatukan satu bidang atau objek terdapat dalam berbagai
UU menjadi satu regulasi�. Jika benar sebagai �omnibus�, RUU Sisdiknas tidak
sekedar berupaya merevisi UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, tetapi juga
konon menyinkronisasi sebanyakr 23 UU yang terkait Pendidikan.
Meski
Kemendikbudristek tidak resmi menyebut RUU Sisdiknas sebagai �RUU Sisdiknas
Omnibus�, namun dipersiapkan untuk memadukan beberapa kebijakan pendidikan
dalam berbagai UU. Saat ini terdapat 3 UU yang disatukan sebagaimana dinyatakan
dalam draf RUU Sisdiknas bagian �Menimbang� huruf d yang menyatakan �RUU
Sisdiknas menghapus UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; dan
UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; dan UU No 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi�.
Tidak
dapat dipastikan apakah RUU Sisdiknas sebagai �Omnibus Law� juga menyasar
beberapa regulasi pendidikan lain. Banyak beredar naskah RUU Sisdiknas berisi
19 Bab, 21 Bagian dengan 155 pasal. Bisa saja terdapat draf lain dengan isi
yang tidak sama. Penulis tidak memperoleh naskah akademik yang menjelaskan
alasan pengubahan UU No. 20 Tahun 2003. Jika ternyata terdapat naskah akademik
secara lengkap, maka pihak BSKAP sebaiknya membukanya agar dapat diakses
masyarakat.
BSKAP
menyelenggarakan FGD dan menampilkan serta menyampaikan isi power points. Power
points tersebut menginformasikan secara ringkas beberapa kondisi pendidikan
saat ini, yang berlawanan dengan tujuan yang hendak diraih melalui RUU
Sisdiknas. Tetapi, tetap tidak ada bagian atau pasal mana saja yang diubah dan
maksud pengubahan tersebut.
Pendapat
lain juga disampaikan oleh Dr. Jejen Musfah, M.A; mengenai analisis isi dari
RUU sisdiknas 2022, dalam tulisannya Dr Jejen Musfah menerangkan bahwasanya
undang-undang yang baik harus merepresentasikan aspirasi masyarakat. RUU
omnibus law pendidikan ini, dianggap mempunyai beberapa kelemahan. Secara
materiel, RUU ini memadukan UU Guru dan Dosen, UU Perguruan Tinggi, dan UU
Sisdiknas, namun justru bagian krusial tidak terakomodasi (Musfah, 2021).
Pertama,
pengaturan lembaga pendidikan swasta. Lembaga pendidikan swasta berkontribusi
besar untuk negara. Sebelum Indonesia merdeka hingga saat ini, lembaga
pendidikan swasta ikut berpartisipasi meningkatkan kualitas SDM Indonesia.
Sehingga pemerintah harus menganggap lembaga pendidikan swasta sebagai mitra
strategis untuk meningkatkan kualitas SDM dengan membantu melalui berbagai
jenis program. Perihal tersebut merupakan sesuatu yang penting sehingga gagasan
untuk menarik BOS dan guru diperbantukan di sekolah swasta tidak terulang Jejen
Musfah: 2022).
Kedua,
pengaturan fakultas keguruan. Fakultas keguruan berperan untuk mempersiapkan
calon guru profesional. Negara memberikan jaminan ketersediaan fakultas
keguruan yang berkualitas agar mampu mencetak dengan profesionalisme tinggi.
Reformasi fakultas keguruan harus diawali dari input dan proses. Fakultas
keguruan harus memiliki fasilitas seperti laboratorium dan asrama. Begitu pula
dengan kualifikasi tenaga pendidik yang juga harus berkualitas. Karena meskipun
mahasiswa memiliki kualitas yang baik namun jika dosen yang mengajar tidak
memiliki kompetensi serta kualitas yang mumpuni, maka tidak akan dapat mencetak
calon tenaga pendidik yang professional.
Ketiga,
pengaturan digitalisasi satuan pendidikan. Pemerintah seharusnya mempercepat
digitalisasi pendidikan dengan pemerataan internet dan komputer. Kesulitan
dalam menjangkau internet dan komputer menjadi faktor terbesar rendahnya hasil
belajar siswa selama berlangsungnya pembelajaran online. Jika pandemi berakhir
maka dunia pendidikan tetap memerlukan adanya dua fasilitas tersebut karena
saat ini kita berada di era digital. Pembelajaran online merupakan model
pembelajaran di era global saat ini dan di masa yang akan datang. Jika hal
tersebut tidak dilaksanakan maka Indonesia akan kesulitan untuk memperbaiki
kualitas pendidikan dan menyetarakan diri dengan negara-negara lain. Ketiga hal
tersebut merupakan isu yang tidak terdapat dalam RUU sisdiknas.
Sementara
terdapat berbagai isu lain yang juga harus ditambahkan dalam RUU ini, seperti
standar gaji guru dan 20% dana pendidikan dari APBN dan APBD. Selain itu
terdapat beberapa pasal yang harus dikritik contohnya, perguruan tinggi negeri
berbadan hukum yang akan mengkomersialisasi Pendidikan.
Pernyataan
sikap Koalisi Pendidikan Nasional yang diwakili oleh M. Charlie Meidino
Albajili juga mengkritik isi dari draf RUU sisdiknas 2022 yang diusulkan
Kemendikbudristek, menurut pandangan Koalisi Pendidikan Nasional (KPN), draf
RUU Sisdiknas yang diusung pemerintah tak selaras dengan prinsip pemenuhan hak
atas pendidikan sesuai standar UNESCO. KPN menolak RUU yang diusulkan
Kemendikbudristek sejak awal 2022 lalu.
Aliansi
Penyelenggara Pendidikan Berbasis Masyarakat menganggap revisi UU Sisdiknas
sangat dibutuhkan, tapi membutuhkan kajian yang lebih dalam, partisipasi
masyarakat luas dan beragam jenis kebijakan yang beririsan. Dibutuhkan kearifan
untuk membahas perihal tersebut secara lebih dalam dan komprehensif karena
pendidikan merupakan hak yang dimiliki oleh seluruh masyarakat. Keberagaman dan
kompleksitas permasalahan pendidikan di Indonesia tidak mendukung adanya kajian
secara mendalam yang dilakukan secara cepat dengan minimnya keterlibatan
masyarakat.
Ketua
Umum Pengurus Besar PGRI, Unifah Rosyidi, mengatakan, �persoalan tata kelola
guru sangat terfragmentasi terlihat dari banyak UU yang mengatur dari rekrutmen
sampai pensiun. Revisi yang hanya mengintegrasikan UU Sisdiknas, UU Guru dan
Dosen, serta UU Pendidikan Tinggi dia sebut tidak akan menyelesaikan masalah
tata kelola guru yang saat ini karut marut. Selain itu, martabat dan harkat
guru harus ditempatkan secara khusus dan istimewa sebagai profesi yang luhur�.
Sekretaris
Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Alpha Amirrachman, mengatakan, �dampak
pandemi Covid-19 pada sekolah-sekolah, terutama sekolah swasta di lapangan
sangat berat. Sebagian besar orang tua, kelas menengah ke bawah, kehilangan
sumber penghasilan sehingga berdampak pada pendidikan anak-anak. Karena itu,
Kemendikbudristek seharusnya fokus pada pemulihan pendidikan yang
multidimensional ini, bukan mengutak-atik perubahan UU Sisdiknas�.
Menurut
ketua umum Majelis Pendidikan Kristen (MPK) di Indonesia, David Tjandra,
kompleksitas permasalahan pendidikan di Indonesia menjadikan revisi UU
Sisdiknas membutuhkan kajian secara lebih dalam. Sehingga membutuhkan
keterlibatan setiap pemangku kepentingan khususnya penyelenggara pendidikan
berbasis masyarakat.
Sedangkan
ketua Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) Mbula Darmin, menyebutkan,
dibutuhkan penundaan revisi UU Sisdiknas karena adanya permasalahan yang
mengarah pada ideologi neoliberal yang mengesampingkan keadilan sosial. Maka
dari itu dalam pembahasannya dibutuhkan kajian holistik dan komprehensif supaya
pendidikan kita benar-benar berorientasi pada keadilan sosial serta
kesejahteraan masyarakat.
Mengenai
kritik tentang isi dari RUU Sisdiknas 2022 yang diusulkan Kemendikbudristek,
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (PPG) juga merinci catatan kritis dan
rekomendasi PPG terkait RUU Sisdiknas apabila memang perlu dan harus UU
Sisdiknas yang sekarang berlaku diganti dengan RUU Sisdiknas 2022 yang
diusulkan Kemendikbudristek.
Pertama,
sejumlah undang-undang terkait pendidikan belum dimasukkan. PPG juga menanyakan
mengapa UU lain yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional tidak
disertakan, karena RUU sifatnya omnibus. Menurut PPG, terdapat lebih dari 10 UU
terkait sistem pendidikan nasional. Jika Kemdikbudristek berkeinginan membentuk
satu sistem pendidikan nasional, kenapa hanya menambahkan 3 UU pendidikan saja,
padahal masih terdapat berbagai UU pendidikan seperti UU Pesantren. Apakah
Pesantren tidak termasuk sistem pendidikan nasional?, perihal tersebut
memperlihatkan omnibus law ini tidak sepenuh hati.
Kedua,
jangan bernasib sama seperti UU IKN dan UU Omnibuslaw. PPG mengkhawatirkan
pembahasan RUU Sisdiknas akan senasib dengan UU IKN dan UU Cipta kerja yang
disahkan dengan terburu-buru. Pengesahan yang dilakukan secara terburu-buru
sangat mengkhawatirkan adanya prosesi yang tidak sesuai persyaratan. Kami
mengkhawatirkan pembahasan RUU tersebut dilakukan secara paksa dan dibahas
secara singkat agar dapat segera disahkan.
Ketiga,
PPG menilai Kemdikbudristek memerlukan Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN)
terlebih dahulu, yang berisi rancangan besar rencana dan pengelolaan pendidikan
nasional Indonesia. Maka dari itu RUU Sisdiknas pada dasarnya hanya
dilaksanakan untuk meraih tujuan negara. PJPN menjadi induk, dan UU Sisdiknas
menjadi bagiannya.
Keempat,
masih terdapat berbagai permasalahan pendidikan yang harus diperbaiki oleh
Kemdibudristek dibanding pembuatan UU Omnibus ini. Menurut PPG, Asesmen
Kompetensi Minimum (2021) memperlihatkan 50% siswa Indonesia belum meraih
kompetensi minimum dalam literasi. Selain itu 2 dari 3 siswa belum meraih
kompetensi minimum dalam numerasi.
Sedangkan
menurut Bank Dunia (2020) pengetahuan guru dalam bahasa Indonesia dan
matematika "rendah", dan pedagogi "sangat rendah". Hasil
Uji Kompetensi Guru (UKG) juga < 60. Perihal tersebut seharusnya menjadi
prioritas Kemdikbudristek, dan RUU Sisdiknas sebaiknya ditunda.
Kelima,
RUU Sisdiknas juga belum belum memberikan solusi atas permasalahan guru
honorer, guru swasta, dan guru PPPK. Keberlangsungan proses pembelajaran di
sekolah ditopang oleh guru honorer yang hanya memperoleh gaji seikhlasnya
bahkan tidak layak, seharusnya RUU sisdiknas memberikan penyelesaian untuk
permasalahan tersebut karena terdapat ratusan ribu guru honorer yang
mendapatkan upah tidak layak. Tidak ada satupun pasal yang membahas upah
minimum guru non ASN meskipun perihal tersebut sangatlah diharapkan oleh banyak
guru honorer.
Melalui
rekrutmen Guru PPPK, Pemerintah baru mampu menyerap 293.000 guru PPPK, dan
banyak diantaranya yang lulus passing grade tes PPPK namun tidak segera
memperoleh formasi. Sedangkan terdapat guru yang sudah memperoleh SK Guru PPPK,
namun tidak memperoleh gaji selama berbulan-bulan lamanya. Bahkan tidak sedikit
yang sudah dipecat oleh yayasan, berhenti mengajar, tetapi nasibnya masih belum
jelas.
Pandangan
kritis mengenai isi RUU Sisdiknas 2022 juga datang dari ormas islam
Muhammadiyah melalu sekretaris jenderal Muhammadiyah Prof. Dr. Abdul Mu�ti,
M.E.D., Muhammadiyah menilai banyaknya pertentangan. Khususnya UU ini
mengkombinasikan 3 UU yang sudah ada. Padahal saat ini ada UU Pesantren, yang
seharusnya tidak dapat terpisahkan dari RUU sisdiknas. RUU tersebut beririsan
dengan UU Pemerintah Daerah, sebab berkaitan dengan kewenangan penyelenggaraan
pendidikan oleh pemerintah daerah dan kewenangan UU ASN.
Para
tokoh Muhammadiyah sudah menyampaikan kritik terkait RUU Sisdiknas 2022.� Pertama, Muhammadiyah mempermasalahkan tidak
ada penyebutan madrasah, padahal di UU No. 20 tahun 2003, madrasah disebutkan
secara eksplisit. Kedua, UU No. 20 Tahun 2003 menurutnya sudah menjamin
madrasah sebagai bagian sistem pendidikan nasional. Sehingga, saat ini
kurikulum madrasah itu 100% kurikulum sekolah ditambah kurikulum madrasah.
Selanjutnya akreditasi dan ujian nasional juga 100% sama, sehingga pengakuan
madrasah menjadi lebih kuat.
Beliau
juga menyampaikan bahwasanya perihal tersebut sudah pernah ditulis di salah
satu media. Setelah melakukan penulisan tersebut beliau memperoleh telepon dari
Dirjen yang menyampaikan bahwasanya Madrasah juga disertakan dalam penjelasan.
Namun saat dibaca penjelasannya hanya memuat tiga hal yakni menjelaskan Istilah
asing yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia sehingga dimungkinkan
adanya kesalahan dalam menafsirkan. Yang kedua yakni pasal krusial yang
membutuhkan penjelasan. Ketiga penjelasan tersebut tidak berkaitan dengan norma
dan turunan dari UU tersebut.
Jadi
menyertakan Madrasah di dalam penjelasan sama halnya dengan menghapus madrasah,
yang tidak mengerti bisa menyatakan bahwasanya Madrasah sudah termasuk di
penjelasan. Namun pada dasarnya adanya madrasah sama seperti tidak ada madrasah
yang pada akhirnya Madrasah tidak lagi diurus. Dalam perihal ini Muhammadiyah
memiliki Madrasah dengan jumlah yang sedikit justru sangat bersemangat untuk
menyuarakan perihal tersebut, berbeda dengan yang memiliki Madrasah lebih
banyak.
Kritik
mengenai isi dari RUU sisdiknas 2022 juga disampaikan oleh Persatuan Guru
Nahdlatul Ulama (PERGUNU) melalui Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Ahmad Zuhri.
PERGUNU menyesalkan draf� RUU Sisdiknas
yang menghapuskan pasal tentang Tunjangan Profesi Guru (TPG).
Jika
terdapat upaya untuk menghapus skema TPG, maka sama seperti memiskinkan guru,
sehingga dengan tegas Pergunu menolak wacana tersebut. Dalam draf RUU Sisdiknas
Pasal 105 huruf a-h, tidak terdapat klausul �hak guru mendapatkan Tunjang
Profesi Guru�. Pasal tersebut hanya berisi klausul �hak penghasilan atau
pengupahan dan jaminan sosial�. Perihal tersebut berlawanan dengan UU Guru dan
Dosen. Dalam UU Guru dan Dosen terdapat pasal mengenai TPG, yaitu pasal 16 ayat
satu, dua, dan tiga yakni �Guru dan dosen harus dilindungi dan diperlakukan
secara khusus sebagai profesi yang mulia dan memiliki keuniusus (keunikan)�.
Asas penafsiran hukum menyatakan bahwasanya hukum yang bersifat khusus
mengesampingkan hukum yang sifatnya umum.
Semenjak
adanya Pergunu pada tahun 1952 di Surabaya, NU dan Pergunu senantiasa berupaya
agar guru memperoleh kesejahteraan dan kemuliaan, dengan cara meningkatkan
kesejahteraan guru. Sejarah mencatat bahwasanya kemiskinan pada guru berasal
dari dunia pendidikan yang tertinggal dan hancurnya sebuah bangsa, maka saat
era Presiden Gus Dur, kesejahteraan guru menjadi prioritas. Zuhri menegaskan
�Kami kira begitulah harusnya cara pemerintah berterima kasih kepada peran dan
fungsi guru dan dosen, kami berharap kesejahteraan guru tidak menjadi 'kambing
hitam' atas ketidakmampuan anggaran negara�.
Jika
pemerintah beralasan sulitnya memeratakan kesejahteraan antara guru
tersertifikasi dan yang masih belum, tidak mengartikan bahwasanya upaya
pemerataan tersebut harus ditiadakan. Pemerintah harus memiliki transparansi
serta kejujuran saat menyalurkan dana APBN sebanyak 20% untuk pendidikan. RUU
sisdiknas seharusnya dapat memastikan bahwasanya dana APBN tersebut
dipergunakan untuk mensejahterakan guru yang saat ini seharusnya termuat dalam
draft RUU sisdiknas. Guru mengemban tugas yang sangat mulia dan sangat
berdedikasi bagi bangsa sehingga mereka harus Memperoleh jaminan kesejahteraan.
Sangat tidak dapat dibayangkan jika generasi penerus bangsa tidak ada yang
tertarik untuk berprofesi sebagai guru karena dianggap tidak akan sejahtera.
Pimpinan
Komisi X DPR RI Saiful Huda menegaskan bahwasanya DPR akan secepat mungkin
membahas RUU sisdiknas dengan anggaran 20% pendidikan dari APBN diperuntukan
bagi kesejahteraan guru. Menurutnya anggaran tersebut memang harus diberikan
untuk memberi kesejahteraan bagi guru. Permasalahan tersebut harus segera
memperoleh tindak lanjut karena kesejahteraan bagi guru harus dapat diwujudkan
agar mampu mencetak generasi penerus yang unggul. Kami sangat setuju 20%
anggaran pendidikan tersebut diperuntukkan bagi guru karena perihal tersebut
merupakan amanat yang harus dijalankan.
Menurut
Danang Hidayatullah menyampaikan bahwasanya RUU sisdiknas juga berisi hal-hal
yang berkaitan dengan karir guru, tetapi dibutuhkan adanya regulasi lebih
lanjut. Beliau menuturkan dalam naskah akademik RUU sisdiknas memperlihatkan
keinginan pemerintah untuk memisahkan pengaturan sertifikasi dan penghasilan
guru. Tetapi hal tersebut tidak terdapat dalam batang tubuh RUU sisdiknas
sehingga menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan guru misalnya mengenai
dihapuskannya klausal tentang TPG.
Ikatan
Guru Indonesia (IGI) merupakan organisasi profesi guru yang sudah mengkaji
naskah akademik dan naskah RUU sisdiknas terutama pasal 104-112. Mereka
menemukan bahwasanya terdapat beberapa perihal positif yang menjadi energi baru
untuk guru seperti karir guru. Namun Sangat disayangkan tidak menambahkan TPG
dalam RUU Sisdiknas.
Menurut
hasil telaah yang dilaksanakan IGI, terdapat beberapa saran supaya RUU
Sisdiknas layak menjadi dasar hukum dalam memanuhi hak dan kewajiban guru di
Indonesia. IGI menganggap penyederhanaan istilah dalam RUU ini menjadikan
beberapa pasal membutuhkan penjelasan dan/ atau ayat tambahan agar semakin
jelas. Kiranya masukan IGI, dapat dijadikan masukan konstruktif sebagai upaya
memajukan pendidikan di Indonesia.
Ikatan
Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) mengemukakan pendapatnya, ICMI mendorong
supaya RUU Sisdiknas senantiasa terus memegang teguh misi pendidikan untuk
memperkuat karakter bangsa. Selain itu, diperlukan penguatan ketaqwaan dan
internalisasi Pancasila sebagai pondasi untuk karakter bangsa.
RUU
Sisdiknas harus selalu didukung untuk memeratakan pendidikan wajib belajar 12
tahun. Jika sudah disahkan sebagai Undang-undang tetantunya akan senakib
mengutamakan profesi guru. Maka dari itu, ICMI sebagai insitusi sudah membentuk
Tim Perumus untuk memberi masukan agar dapat disahkan sebagai Undang-undang.
Selain itu juga berupaya memberikan saran pikiran yang jernih, independen dan
obyektif dengan semangat kebangsaan. Tim dari ICMI sudah beberapa kali membahas
draf RUU ini, semoga formulasi masukan ICMI yang disarankan segera disampaikan
ke pemerintah dan DPR.
Sedangkan
Mendikbudristek menyampaikan bahwasanya RUU Sisdiknas menjawab berbagai keluhan
guru kepada Kemendikbudristek. Selama beberapa tahun kebelakang,
Mendikbudristek dan jajarannya berusaha menemukan alternatif untuk
menyelesaikan permasalahan para guru selama bertahun-tahun menunggu tunjangan
profesi, namun masih harus antre hingga sama sekali tidak mendapatkan haknya.
Pada
dasarnya RUU sisdiknas merupakan kabar yang baik untuk seluruh guru karena
berpotensi untuk memberikan kesejahteraan bagi guru. Ada dua terobosan yakni
RUU sisdiknas akan memberikan jaminan bagi guru yang sudah memperoleh tunjangan
profesi dan akan tetap mendapatkan tunjangan tersebut hingga pensiun. Kini
terdapat 1,3 juta guru yang memperoleh tunjangan tersebut sehingga guru akan
memperoleh jaminan tunjangan profesi hingga pensiun. Perihal tersebut diatur
dalam dalam Pasal 145 ayat (1) RUU Sisdiknas.
Selain
itu terdapat 1,6 juta guru yang masih belum sertifikasi sehingga tidak
mendapatkan tunjangan profesi. Jika RUU tersebut disahkan mereka akan langsung
mendapatkan tunjangan tanpa melalui proses sertifikasi dan tanpa mengantri.
Perihal
selanjutnya yang ingin diraih oleh RUU tersebut yakni pengakuan sebagai guru
untuk para guru PAUD, Pendidikan kesetaraan dan Pesantren formal. Mekanisme
tunjangan yang diberikan setelah sertifikasi tidak dapat diterapkan dengan
mudah karena keterbatasan PPG. Sebanyak 60.000 hingga 70.000 guru yang
mengikuti program PPG per tahun. Selain itu juga harus dibagi menjadi dua untuk
guru baru dan guru yang sudah mengantri lama untuk sertifikasi.
Jika
mekanisme tunjangan akan didapatkan setelah sertifikasi tetap dilaksanakan maka
akan semakin banyak guru yang tidak akan mendapatkan haknya hingga pensiun.
Jika kita tetap diam dan tetap taat pada peraturan sebelumnya maka mereka harus
menunggu hingga 20 tahun atau lebih.
Dilain
pihak, kritik tentang isi dari RUU sisdiknas 2022 juga disampaikan dari lembaga
legislatif Republik Indonesia. Wakil ketua komisi X DPR RI Dede Yusuf bahkan
mempertanyakan ulang apa dari urgensi pemerintah dalam mengubah undang-undang
sistem pendidikan nasional. Dede Yusuf menuturkan �RUU Sisdiknas itu kan ingin
mengadopsi Undang-undang guru, dosen, dan sebagainya dimasukkan jadi satu.
Sebaiknya jangan dulu, jadi based-nya apa? Dasarnya apa? Beda negara kepulauan
dengan negara kontinental, kita negara kepulauan infrastruktur susah, teknik
apa yang kita lakukan?. Perlu adanya penyusunan roadmap atau peta jalan
pendidikan sebelum pengesahan RUU Sisdiknas. Peta jalan tersebut digunakan
sebagai pondasi di mana pendidikan berpijak, apa yang diperbuat untuk
memperkuat pendidikan di Indonesia?�.
Diperlukan
adanya peta Jalan sebelum mengesahkan RUU sisdiknas agar dapat menjadi landasan
bagi pendidikan untuk menguatkan pendidikan di Indonesia. Dede Yusuf
menyampaikan �Negara kita akan menguatkan (pendidikan) dari sisi apa? Karena
ini menyangkut kemampuan siswa kita, mau vokasi atau mau pendidikan umum?
Apakah target kita ingin disebut sebagai high learning? Akademik atau semuanya
siap untuk masuk bursa kerja? Ini harus kita pikirkan. Itu namanya peta jalan
pendidikan� .
Selain
itu, Komisi X DPR RI juga mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama
Ketua DPRD Kota Samarinda, Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Guru Madrasah
Nasional Indonesia (PGMNI) dan Ketua Forum Dewan Pendidikan Indonesia. Dalam
pandangannya, Komisi X DPR RI meyakini bahwasanya permasalahan tersebut dapat
diselesaikan apabila Indonesia mempunyai peta Jalan Pendidikan supaya
pendidikan di Indonesia dapat berlangsung sesuai peta yang dipersiapkan tanpa
adanya hambatan karena adanya transisi pemerintahan .
Sementara
itu, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) itu juga memberikan catatan supaya RUU
Sisdiknas tetap mengakomodasi tunjangan profesi untuk guru. Sebaiknya tunjangan
profesi guru tidak dihapus karena akan merugikan guru. Dengan dihilangkannya
tunjangan profesi guru maka para guru akan semakin tidak sejahtera sehingga
tunjangan tersebut harus tetap dipertahankan atau sebaiknya ditingkatkan.
Selain
itu, Baleg DPR RI selain mengusulkan agar RUU sisdiknas 2022 yang diusulkan
Kemendikbudristek agar dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
juga menegaskan RUU sisdiknas usulan pemerintah yang akan menggabungkan dan
mencabut 3 UU sekaligus yaitu UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, serta UU Dikti
merupakan RUU yang strategis dan vital, sehingga membutuhkan pembahasan secara
hati-hati dan komprehensif .
RUU
ini harus mengingat bahwasanya masyarakat berhak memperoleh pendidikan dan guru
menjadi tulang punggung pendidikan nasional, maka Fraksi PKS mengingatkan dan
menekankan bahwasanya RUU Sisdiknas yang diusulkan pemerintah terlihat
terburu-buru, mengesampingkan prinsip kehati-hatian, partisipasi masyarakat,
serta ketelitian untuk mencapai pendidikan nasional yang lebih baik.
Dari
uraian diatas, mengenai analisis isi dari Rancangan Undang-undang (RUU
Sisdiknas) 2022 yang diusulkan Kemendikbudristek penulis menyimpulkan
bahwasanya isi dari RUU Sisdiknas 2022 masih banyak kekurangan dan perlu banyak
perbaikan. Walaupun RUU sisdiknas 2022 sudah dikeluarkan dari program legislasi
nasional (Prolegnas) prioritas 2023, namun kemungkinan besar RUU ini kembali
dibahas dan diajukan Kemendikbudristek untuk segera disahkan menjadi
undang-undang, maka perbaikan, kritik konstruktif, muatan yang holistik serta
masukan dari semua kalangan harus tetap diberikan agar ada perbaikan dan
perubahan yang lebih baik dari sistem pendidikan nasional kita.
KESIMPULAN
Berdasarkan
Berdasarkan temuan penelitian diatas jika dikorelasikan dengan teori penelitian
tentang proses kebijakan pendidikan yang dikemukakan Nugroho, maka dapat kita
temukan data-data terkait cara suatu kebijakan pendidikan berpropes secara
kelembagaan, dimana kita temukan data-data tentang bagaimana proses perumusuan
RUU Sisdiknas tahun 2022, rumusan dari RUU Sisdiknas tahun 2022, implementasi
dan kinerja yang dicapai selama proses pembentukan RUU Sisdiknas tahun 2022,
serta lingkungan dimana kebijakan pendidikan itu dibuat yaitu di lingkungan
Kemendikbudristek RI bersama dengan tim.
Maka
daripada itu, penulis kemudian mengerucutkan pokok-pokok pembahasan dari
analisis kebijakan pendidikan tentang RUU Sisdiknas tahun 2022 yang diusulkan
oleh Kemendikbud RI pada beberapa isu-isu pokok pembahasan dengan menggunakan
analisis proses kebijakan pendidikan dan analisis isi kebijakan pendidikan,
yaitu:
1.� Polemik Proses Penyususnan RUU Sisdiknas Tahun
2022
Sesuai
dengan peraturan UU No. 12 tahun 2011 junto UU No. 15 tahun 2019 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan bahwasanya terdapat lima
tahap pembentukan undang-undang yaitu tahap perencanaan, tahap penyusunan,
tahap pembahasan, tahap pengesahan, dan tahap pengundangan. Kini pembentukan
RUU Sisdiknas berada dalam tahap perencanaan.
Melalui
studi dokumen ini, penulis menyimpulkan analisis proses penyusunan sebuah
kebijakan publik mengenai RUU sisdiknas 2022 ini bahwasanya itikad baik
pemerintah melalui Kemendikbudristek dalam upayanya untuk mengubah
undang-undang sistem pendidikan nasional juga harus dengan cara dan proses yang
baik pula sesuai undang-undang.
Ketergesa-gesaan
pemerintah dalam proses penyusunan RUU Sisdiknas tahun 2022 tidak bisa
dibenarkan walaupun dalam alibinya adalah untuk efisiensi waktu. Untuk sebuah
kebijakan publik khususnya kebijakan pendidikan yang akan berdampak luas kepada
seluruh rakyat Indonesia yang diperlukan bukan hanya soal efisiensi waktu
melainkan kemaslahatan bersama agar kebijakan pendidikan yang dibentuk
komprehensif, demokratis serta memenuhi asas keadilan untuk seluruh rakyat
Indonesia yang berkaitan dengan pendidikan Nasional.
2.� Wacana
Undang-undang Omnibuslaw Sistem Pendidikan Nasional
Polemik
wacana penggabungan undang-undang yang berkaitan dengan maslah pendidikan di
Indonesia menjadi satu undang-undang Omnibuslaw sistem pendidikan nasional yang
dimaksudkan Kemendikbudristek bertujuan untuk merampingkan perundangan agar
terintegrasi.
Namun,
konsep omnibuslaw yang ditawarkan Kemendikbudristek dinilai tidak sesuai dengan
keinginan publik karena tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akademik,
ditambah lagi konsep yang ditawarkan terkesan setengah hati dan tidak
komprehensif mengingat ada banyak lagi undang-undang yang berkaitan dengan
dunia pendidikan tapi diabaikan padahal memiliki peran penting dalam sistem
pendidikan Indonesia.
3.� Buta Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN)
Dari
uraian dan pendapat para ahli pendidikan, akademisi, pemerhati pendidikan, dan
stakeholder pendidikan yang diuraikan pada pemgahasan diatas, penulis mengambil
kesimpulan dan memahami betapa pentingnya peta jalan pendidikan nasional (PJPN)
untuk di susun terlebih dahulu sebagai panduan untuk membangun jalan yang
berbentuk sistem pendidikan nasional menuju tujuannya yaitu amanat UUD 1945
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta dapat menyongsong Indonesia Emas 2045
dengan sumber daya manusia yang unggul.
4.� Hilangnya Tunjangan
Profesi Guru (TPG) Dalam RUU
Bukan
sebuah rahasia umum bahwasanya nasib guru di Republik Indonesia termasuk
kedalam golongan pra sejahtera, bahkan banyak yang masuk kedalam golongan
miskin. Ini tentu saja disebabkan oleh sistem pendidikan nasional kita yang
belum mampu mengangkat harkat dan martabat guru sebagai sebuah profesi mulia.
Dengan adanya RUU Sisdiknas tahun 2022 yang diusulkan Kemendikbudristek,
alih-alih untuk menaikkan taraf hidup guru dan dosen tapi malah sebaliknya.
Tunjangan Profesi Guru (TPG) yang sangat diharapkan para guru karena bisa
membantu perekonomian mereka malah dihilangkan dalam RUU Sisdiknas tahun 2022
tersebut.
Cerita-cerita
tentang nasib guru di Republik Indonesia memang selalu menyedihkan sekaligus
mengharukan, apalagi cerita tentang guru-guru honorer. Fakta tentang mirisnya
nasib guru ini menjadi tanggung jawab kita sebagai anak bangsa untuk sama-sama
mendorong agar para pembuat kebijakan pendidikan mampu memberi perlindungan dan
kesejahteraan terhadap nasib guru dan dosen secara keseluruhan.
5.� Hilangnya Frasa Madrasah Dalam Batang Tubuh
RUU
Dalam
RUU Sisdiknas tahun 2022 yang diusulkan oleh Kemendikbudristek diketahui tidak
ditemukannya frasa madrasah dalam batang tubuh RUU Sisdiknas tahun 2022. Hal
ini tentunya menimbulkan banyak polemik dan penolakan publik. Terang saja
bahwasanya kita ketahui bahwasanya madrasah dan sekolah swasta adalah bagian
dari sejarah pendidikan nasional kita.
Polemik
mengenai frasa madrasah yang tidak disebutkan dalam batang tubuh RUU sisdiknas
2022 tidak bisa di anggap sepele. Jika dimasa yang akan mendatang RUU Sisdiknas
tahun 2022 ini kembali dimunculkan di balegnas DPR RI, rakyat harus lebih
kritis lagi dalam mengawal madrasah agar tidak luput dari batang tubuh
kebijakan pendidikan yang nanti ditetapkan.
Pemerintah
dan pengambil kebijakan pendidikan harus memastikan komitmennya dalam memajukan
madrasah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.
Hal-hal yang sudah diatur mengenai madrasah dalam undang-undang sebelumnya yang
dianggap baik bagi kemajuan madrasah harus tetap dipertahankan bahkan harus
lebih ditingkatkan terus agar selalu sesuai dengan perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Beynaghi, A., Trencher, G., Moztarzadeh, F., Mozafari,
M., Maknoon, R., & Leal Filho, W. (2016). Future sustainability scenarios
for universities: Moving beyond the United Nations Decade of Education for
Sustainable Development. Journal of Cleaner Production, 112,
3464�3478.
Dunn, W. N. (2000). Pengantar analisis
kebijakan publik.
Fan, X., & Zhong, X. (2022). Artificial
intelligence-based creative thinking skill analysis model using human�computer
interaction in art design teaching. Computers and Electrical Engineering,
100, 107957.
Handayani, P. W., Hidayanto, A. N.,
Sandhyaduhita, P. I., & Ayuningtyas, D. (2015). Strategic hospital services
quality analysis in Indonesia. Expert Systems with Applications, 42(6),
3067�3078.
Khlaisang, J., & Likhitdamrongkiat, M.
(2015). E-learning system in blended learning environment to enhance cognitive
skills for learners in higher education. Procedia-Social and Behavioral
Sciences, 174, 759�767.
M�ki�-Marusik, E., Colombo, A. W., M�ki�,
J., & Pechmann, A. (2019). Concept and case study for teaching and learning
industrial digitalization. Procedia Manufacturing, 31, 97�102.
Mouter, N., Shortall, R. M., Spruit, S. L.,
& Itten, A. V. (2021). Including young people, cutting time and producing
useful outcomes: Participatory Value Evaluation as a new practice of public
participation in the Dutch energy transition. Energy Research & Social
Science, 75, 101965.
Musfah, J. (2016). Tips Menulis Karya
Ilmiah: Makalah, Penelitian, Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Prenada Media.
Musfah, J. (2021). Analisis kebijakan
pendidikan: Pendidikan di era revolusi industri 4.0. Prenada Media.
Pambudi, N. A., & Harjanto, B. (2020).
Vocational education in Indonesia: History, development, opportunities, and
challenges. Children and Youth Services Review, 115, 105092.
Prestridge, S. (2019). Categorising
teachers� use of social media for their professional learning: A
self-generating professional learning paradigm. Computers & Education,
129, 143�158.
Pucciarelli, F., & Kaplan, A. (2016).
Competition and strategy in higher education: Managing complexity and
uncertainty. Business Horizons, 59(3), 311�320.
Sholeh, M., Jannah, R., Khairunnisa, K.,
Kholis, N., & Tosson, G. (2021). Human resource management in improving the
quality of teachers in Indonesian Islamic primary education institutions. Al-Bidayah:
Jurnal Pendidikan Dasar Islam, 13(1), 21�36.
Smirnova, O., Strumsky, D., & Qualls,
A. C. (2021). Do federal regulations beget innovation? Legislative policy and
the role of executive orders. Energy Policy, 158, 112570.
Taylor, C. L., Madans, J. H., Chapman, N.
N., Woteki, C. E., Briefel, R. R., Dwyer, J. T., Merkel, J. M., Rothwell, C.
J., Klurfeld, D. M., & Seres, D. S. (2023). Critical data at the
crossroads: the National Health and Nutrition Examination Survey faces growing
challenges. The American Journal of Clinical Nutrition, 117(5),
847�858.
Ttlaar, H. A. R., & Nugroho, R. (2009).
Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan
Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ulibarri, N., Scott, T. A., &
Perez-Figueroa, O. (2019). How does stakeholder involvement affect
environmental impact assessment? Environmental Impact Assessment Review,
79, 106309.
Vit�li�ov�, K., Murray-Svidroňov�, M.,
& Jaku�-Muthov�, N. (2021). Stakeholder participation in local governance
as a key to local strategic development. Cities, 118, 103363.