Problematika Koordinat
Tanah Untuk Peralihan Hak Atas Tanah
Sri Harini Dwiyatmi1, Selvie Novitasari2, Clivio Rahardjo3, Devina Athalia Putri4,
Stevanus Andrian Dewangga5
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
[email protected], [email protected]
INFO
ARTIKEL |
ABSTRAK |
Kata Kunci: koordinat tanah; data tanah, sertifikat tanah Keywords: land
coordinates; land data, land
certificate |
Koordinat suatu bidang tanah sebagai penentu untuk pensertifikatan tanah, juga untuk peralihan hak. Koordinat tanah berinti pada data fisik tanah. Tanpa diketahui di mana letak dan batasnya maka titik koordinat
tanah tidak diketahui. Ketika tidak diketahui letak bidang tanah tersebut maka tidak memberikan kepastian hukum atas suatu obyek
sehingga menimbulkan keraguan bidang tanah tersebut di mana letaknya. Manfaat lebih lanjut koordinat tanah ini adalah
untuk menentukan nilai pajak suatu
bidang tanah. 10% lahan di desa penelitian koordinat tanahnya tidak bisa ditentukan karena para pemiliknya tidak mengetahui letak tanah yang dibelinya. Berakibat terjadi kemandekan atas bidang tanah
tersebut dari aspek ekonomi, tidak
bisa dialihkan, tidak bisa baliknama
meski telah bersertifikat. Akibat lebih lanjut tanah tersebut tidak terkelola, tidak bisa diberi tanda
batas tanah sebagai milik seseorang. ABSTRACT The coordinates of a plot of land are
used as a determinant for land certification, as well as for the transfer of
rights. Soil coordinates are based on physical land data. Without knowing
where the location and boundaries are, the ground coordinates are unknown.
When the location of the land parcel is not known, it does not provide legal
certainty regarding an object, thus giving rise to doubt as to where the land
parcel is located. A further benefit of these land coordinates is to
determine the tax value of a plot of land. For 10% of the land in the
research village, the coordinates of the land cannot be determined because
the owners do not know the location of the land they purchased. As a result,
there is stagnation in the land plot from an economic aspect, it cannot be
transferred, it cannot be renamed even though it has been certified. As a
further consequence, the land is not managed, the boundaries of the land
cannot be marked as someone's property. |
|
Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa data fisik adalah keterangan
mengenai letak, batas dan luas bidang, yang didaftar termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan
di atasnya (Rohmadi, 2024). Sedangkan pasal 1 angka 7 tentang data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah
yang di daftar pemegang haknya
dan hak pihak lain serta beban beban
lain yang ada di atas tanah
tersebut (Ibid, n.d.).
Koordinat dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bilangan yang dipakai untuk menunjukkan lokasi suatu titik dalam garis, permukaan, atau ruang. Adanya koordinat ini untuk memudahkan pihak kantor Pertanahan
maupun masyarakat bilamana terjadi peralihan hak atas tanah serta menguatkan
data kepemilikan tanah. Dengan koordinat tanah pada setiap bidang tanah akan
menghindari bidang tanah yang saling tumpang tindih pada setiap lokasi bagi
pemilik sertifikat.
Koordinat tanah baru berlaku kira-kira tiga tahun terakhir ini sebagaimana ketentuan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia nomor 16 tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri
Negara Agraria/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional nomor
3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 19A ayat
(2) menyatakan perlunya koordinat dalam pemasangan tanda batas, bahwa Koordinat tanah ini penentu untuk segala perbuatan hukum atas tanah. Sehingga demikian pentingnya fokus penelitian ini. Terpenuhinya koordinat pada setiap bidang tanah
akan dicantumkan pada buku tanah sehingga
data yuridis dan data fisik
dapat diperoleh secara tepat untuk masuk dalam sertifikat, untuk pemeliharaan data tanah yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah dapat tertata
secara baik akan sangat menolong tugas-tugas Kantor Pertanahan.
Koordinat dari suatu bidang
tanah yang sudah bersertifikat
juga akan meminimalkan adanya perselisihan dari tiap pemilik
bidang tanah yang berbatasan, serta menghindari tumpang tindih dari suatu objek
yang sama atau berbatasan, Koordinat pada bidang tanah yang belum bersertifikat, diharapkan memberikan kepastian hukum dari bidang tanah
tersebut sehingga di kemudian hari akan
memudahkan pihak pertanahan terkait dengan pengukuran bidang tanah.
Sekarang bagaimana dengan masyarakat yang mempunyai hak atas tanah dan sudah bersertifikat namun ketika akan mencantumkan
koordinat tidak bisa dilakukan hanya karena pemilik tanah tidak mengetahui
secara tepat di mana bidang tanah yang dimiliki karena peralihan hak atas tanah telah terjadi
pada masa lampau dan bidang
tanah yang dimilikinya tidak pernah dipelihara
atau dirawat sehingga adanya pembiaran tanah selama bertahun-tahun,
sedangkan kantor pertanahan setempat telah menerbitkan sertipikat dari tiap bidang tanah.
Titik lokasi yang tepat dari bidang
tanah tersebut akibat sekian tahun
tercantumnya koordinat
dalam memelihara dan merawat
tanah tersebut sehingga tidak muncul adanya pembiaran
tanah selama bertahun tahun dan tidak ada pengolahan
lahan kosong tersebut.
Koordinat tanah berbicara tentang data fisik sebidang tanah. Kesalahan data fisik maupun data yuridis dalam pendaftaran tanah akan menghilangkan
unsur kepastian hukum hak atas tanah, sehingga orang yang berhak terhadap tanah tersebut akan dirugikan. Kesalahan juga akan berakibat terjadinya informasi yang salah di kantor pertanahan sebagai alat kelengkapan negara, yang akibatnya akan menciptakan administrasi pertanahan yang tidak tertib.
Sebelum titik koordinat tanah berlaku penentuan
letak tanah dilakukan dengan pengecekan langsung dan pengukuran ulang atas sebidang tanah yang hendak dilakukan perbuatan hukum. Sehingga segala perbuatan atas tanah tidak akan terhenti
seperti saat ini dengan acuan
koordinat tanah. Negara
harus memiliki jalan keluar, dengan demikian negara hadir dalam permasalahan Masyarakat. Yang terjadi
adalah terdapat suatu lokasi di desa Plesungan, karena dibangunnya jalan lingkar terjadi
perubahan letak dan batas tanah di bidang-bidang tanah di desa ini.
Menjadikan titik kordinat berubah. Akibat lebih lanjut
tanah-tanah di desa ini tidak bisa disertifikatkan serta tidak bisa dilakukan peralihan hak berhubung
titik koordinat yang sudah berbeda atau bergeser.
Kondisi ini tentu sangat merugikan para pemilik tanah di desa ini. Hal ini
sebagai alasan penelitian ini dilakukan. Tulisan ini hendak menguraikan seberapa penting koordinat tanah ini sehingga menjadikan
terhentinya/tidak bisa dilakukannya perbuatan hukum atas bidang-bidang tanah ini. Menimbulkan
tanya lebih lanjut tanggungjawab siapa penentuan koordinat tanah ini.
METODE PENELITIAN
Tulisan
ini dibuat berdasarkan suatu penelitian. Penelitiannya merupakan penelitian hukum empiris adalah
suatu penelitian hukum yang menggunakan fakta-fakta
empiris yang diambil dari perilaku manusia,
baik perilaku verbal yang didapat dari wawancara
maupun perilaku nyata yang dilakukan melalui pengamatan langsung. Penelitian empiris juga
digunakan untuk mengamati
hasil dari perilaku manusia yang berupa peninggalan fisik maupun arsip (Wulan et al., 2020). Dua macam
data digunakan secara proporsional yaitu data sekunder berupa peraturan terkait koordinat tanah dan data primer
yang diperoleh dari wawancara denga key informan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah
Koordinat Tanah
Sebelum titik koordinat tanah berlaku penentuan
letak tanah dilakukan dengan pengecekan
langsung dan pengukuran
ulang atas sebidang tanah
yang hendak dilakukan perbuatan hukum. Sehingga segala perbuatan atas tanah tidak akan
terhenti seperti saat ini dengan
acuan koordinat tanah. Negara harus memiliki jalan keluar, dengan
demikian negara hadir dalam
permasalahan Masyarakat. Yang terjadi
adalah terdapat suatu lokasi di desa Plesungan, karena dibangunnya jalan lingkar terjadi
perubahan letak dan batas tanah di bidang-bidang tanah di desa ini.
Menjadikan titik kordinat berubah. Akibat lebih lanjut
tanah-tanah di desa ini tidak bisa disertifikatkan serta tidak bisa dilakukan peralihan hak berhubung
titik koordinat yang sudah berbeda atau bergeser.
Kondisi ini tentu sangat merugikan para pemilik tanah di desa ini. Hal ini
sebagai alasan penelitian ini dilakukan. Seberapa penting koordinat tanah ini sehingga
menjadikan terhentinya/tidak bisa dilakukannya perbuatan hukum atas bidang-bidang tanah ini. Menimbulkan tanya lebih lanjut
tanggungjawab siapa penentuan
koordinat tanah ini.
Koordinat tanah ini terkait dengan data fisik, untuk pemeliharaan data pertanahan yang sangat dibutuhkan oleh kantor pertanahan, untuk pembuatan bukti kepemilikan hak atas tanah, untuk peralihan hak. Dan ujung-ujungnya adalah untuk kepastian hukum dan tertib pertanahan yang akan dituangkan dalam pembukuan tanah yang salinan dari buku tanah ini disebut sebagai sertipikat. Pembukuan hak atas tanah di atur pada pasal 29 dan pasal 30, kemudian diteruskan dari pasal 31 sampai pasal PP No. 24 tahun 1997. Dalam pembukuan hak atas tanah memerlukan akurasi data sebidang tanah melalui pengukuran. Pengukuran tanah ini sekarang menggunakan sistem koordinat.
Perihal koordinat tanah, memiliki akar yang sangat panjang yang berkaitan erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pemetaan dan survei. Titik Awal pengukuran tanah menggunakan sistem koordinat dimulai dengan pengembangan sistem koordinat geografis oleh para ahli matematika dan astronom kuno. Salah satu contoh yang terkenal adalah sistem koordinat geografis yang dikembangkan oleh Ptolemaeus pada abad ke-2 Masehi. Lalu ada Pengembangan Sistem Koordinat Kartesius. Pada abad ke-17, matematikawan dan filsuf Prancis René Descartes mengembangkan sistem koordinat kartesius, yang memungkinkan pengukuran dan pemetaan tanah menggunakan koordinat x dan y. Sistem koordinat kartesius ini memberikan landasan bagi pengembangan sistem koordinat yang lebih kompleks. Di abad ke-18 Pengukuran Tanah dengan Metode Trigonometri, metode trigonometri mulai digunakan dalam pengukuran tanah. Metode ini memanfaatkan prinsip-prinsip trigonometri untuk mengukur jarak dan sudut antara titik-titik di permukaan tanah. Dengan menggunakan trigonometri, pengukuran tanah dapat dilakukan secara lebih akurat dan presisi.
Penggunaan koordinat tanah untuk pengukuran tanah di Indonesia memiliki perkembangan yang unik dan terkait erat dengan kolonialisme, perjuangan kemerdekaan, dan pembangunan negara.
a.
Era Kolonial Belanda (Abad
Ke-19 Hingga Awal Abad Ke-20)
Pengembangan sistem koordinat di
Indonesia dimulai pada masa penjajahan
Belanda. Pada awal abad
ke-19, Belanda melakukan survei
dan pemetaan wilayah Indonesia untuk kepentingan administrasi dan ekonomi kolonial. Mereka menggunakan sistem koordinat geografis dan metode trigonometri dalam pengukuran tanah. Pada periode ini, banyak
peta dan atlas dibuat dengan menggunakan sistem koordinat geografis (Chi et al., 2022; D. H. Nguyen et al.,
2022).
b.
Pemetaan oleh Badan Ukur Kolonial Belanda (1901-1942)
Pada awal abad
ke-20, Belanda membentuk Badan Ukur
(Topografische Dienst) di Hindia
Belanda yang bertanggung jawab
atas survei dan pemetaan di
wilayah tersebut. Badan ini
melakukan pemetaan yang lebih komprehensif dengan menggunakan sistem koordinat geodetik berdasarkan ellipsoid Bessel dan metode
pengukuran trigonometri.
Hasil dari pemetaan ini adalah peta
topografi yang detail dan akurat
untuk wilayah-wilayah tertentu di Indonesia.
c.
Periode Kemerdekaan (1945-1949)
Setelah proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia pada tahun 1945, pemerintah Indonesia mengambil alih administrasi tanah dari pemerintah
kolonial Belanda. Pada periode
ini, beberapa survei dan pemetaan dilakukan untuk keperluan administrasi pemerintahan dan pembangunan nasional. Namun, sistem koordinat
yang digunakan masih mengacu pada sistem yang telah ada pada masa kolonial Belanda.
d.
Pembentukan Sistem Koordinat
Nasional Indonesia (SKNI) (1969-1974)
Pada tahun 1969, pemerintah
Indonesia melalui Badan Koordinasi
Survei dan Pemetaan
Nasional (Bakosurtanal) memulai
upaya untuk mengembangkan sistem koordinat nasional yang lebih modern.
Setelah melalui serangkaian
penelitian dan pengujian,
pada tahun 1974, pemerintah
Indonesia secara resmi mengeluarkan Keputusan Presiden
No. 34 Tahun 1974 tentang penetapan Sistem Koordinat Nasional Indonesia (SKNI) atau
Indonesian National Grid (ING). SKNI menggunakan sistem
koordinat kartesius dengan titik acuan
di Pulau Bangka dan Bangka Belitung (Ruiz et al., 2020; Saing et al., 2021).
Seiring dengan perkembangan teknologi, pengukuran tanah menggunakan sistem koordinat di Indonesia semakin mengadopsi teknologi modern. Penggunaan
Global Positioning System (GPS) dan sistem informasi geografis (SIG) menjadi lebih umum
dalam pemetaan dan survei.
GPS memungkinkan pengukuran
posisi yang lebih akurat dan presisi, sementara SIG memungkinkan pengintegrasian data geospasial
yang lebih mudah. pemerintah Indonesia sedang berusaha untuk mengintegrasikan sistem koordinat nasional (SKNI) dengan sistem koordinat global yang lebih luas, seperti
World Geodetic System 1984 (WGS84). Hal ini bertujuan untuk memudahkan pertukaran data geospasial dengan negara lain dan memungkinkan
interoperabilitas antara sistem koordinat yang berbeda.
Sistem hak eigendom (hak milik
atau kepemilikan tanah) memiliki peran penting dalam sejarah pengukuran tanah menggunakan sistem koordinat di Indonesia. Sistem hak eigendom adalah
salah satu hasil dari pengukuran dan pemetaan tanah yang dilakukan pada masa kolonial Belanda dan memiliki hubungan erat dengan
sistem koordinat yang digunakan (Sumarja & Eka, 2022). Berikut adalah beberapa bukti di mana hak eigendom memperkuat sejarah pengukuran tanah menggunakan sistem koordinat di Indonesia. Pendaftaran Kepemilikan
Tanah yang Tercatat, Pengukuran
tanah menggunakan sistem koordinat pada masa kolonial
Belanda menyebabkan pembentukan
catatan kepemilikan tanah yang terstruktur. Data koordinat digunakan untuk mencatat kepemilikan tanah secara detail dalam land
register atau buku tanah. Hal ini menciptakan dasar hukum yang kuat untuk hak egendom, yang berarti pemilik tanah memiliki
bukti yang sah tentang kepemilikan mereka berdasarkan data koordinat.
Dalam pengukuran tanah menggunakan sistem koordinat. Pengukuran tanah dan pemetaan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda bertujuan untuk mencatat dan mengatur kepemilikan tanah, untuk diberikan ha katas tanah. Data koordinat digunakan untuk menciptakan catatan kepemilikan yang terstruktur dan akurat, yang kemudian digunakan sebagai dasar hukum untuk kepemilikan hak atas tanah. Jadi, dalam konteks ini, "Hak Eigendom" sebenarnya merujuk pada "Hak
Milik" atau "Kepemilikan
Tanah" yang dibentuk oleh pengukuran
tanah menggunakan sistem koordinat pada masa kolonial
Belanda di Indonesia.
Pemetaan tanah yang lebih akurat dan jelas ditunjang oleh sistem koordinat. Hal ini juga dilakukan / digunakan di Eropa. Dengan demikian, batas-batas lahan dan luas tanah dapat
ditentukan dengan lebih tepat. Hal ini mengurangi potensi konflik atau sengketa lahan
yang sering terjadi ketika batas-batas lahan tidak teridentifikasi dengan baik. Pengelolaan
dan pemanfaatan tanah yang efisien, data pengukuran tanah dan sistem koordinat yang terstruktur membantu dalam pengelolaan tanah dan pemetaan sumber daya alam
yang efisien. Pemerintah
dan individu dapat merencanakan penggunaan lahan yang lebih baik, termasuk perencanaan pertanian, perkebunan, dan pengelolaan hutan.
Warisan Data Geospasial, catatan historis mengenai pengukuran tanah dan pemetaan yang mengandung data koordinat menjadi bagian dari warisan data geospasial di Indonesia. Data ini
memiliki nilai historis dan praktis yang besar. Mereka dapat
digunakan untuk verifikasi
batas-batas lahan, pembangunan
infrastruktur, dan pemantauan
perubahan lingkungan. Relevansi dalam Era Modern,Sistem
hak egendom yang didasarkan pada data koordinat
yang tercatat masih sangat relevan dalam pengelolaan tanah dan properti di Indonesia hingga saat ini.
Data ini digunakan dalam transaksi properti, perencanaan perkotaan, dan pengembangan infrastruktur. Penggunaan koordinat tanah di masa Hindia Belanda terwujudkan dalam pemetaan hak eigendom. Ini merupakan hasil dari upaya pemetaan yang dilakukan pada masa kolonial dan terus mempengaruhi pengelolaan tanah dan properti di negara ini hingga saat ini.
Problematika Penentuan Koordinat Tanah
a. Desa Plesungan sebelum dibangunnya jalan Lingkar Utara
Desa Plesungan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. dengan jumlah penduduk
8905 jiwa. Rata-rata penduduknya
pada jaman dulu bermata pencaharian sebagai petani. Melihat pada tata letak desa Plesungan
adalah desa yang berbatasan dengan desa atau wilayah kabupaten lain seperti pada bagian utara berbatasan
dengan desa Jeruksawit, kecamatan Gondangrejo, kabupaten Karanganyar ; pada sebelah barat berbatasan dengan desa Wonorejo, kecamatan Gondangrejo, kabupaten Karanganyar ; pada selatan berbatasan dengan kelurahan Mojosongo kota Surakarta; pada timur berbatasan dengan sungai bengawan
solo atau desa Sroyo, kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar, dengan batasan wilayah tersebut menunjukkan bahwa desa ini
akan mengalami perkembangan secara pesat dan cepat manakala di sekitar wilayah itu terjadi pembangunan wilayah.
Berdasarkan penulisan Siti Supeni
dan Lukman Al Hakim dikatakan bahwa
desa Plesungan dengan jumlah penduduk
8905 jiwa atau sejumlah 2705 Kepala Keluarga, berada dalam wilayah
yang mempunyai luasan
597,5195 Ha dengan berbagai
latar belakang pendidikan penduduk mulai Sekolah Dasar atau sederajat sampai dengan Sarjana Strata
Satu, Strata Dua dan Strata Tiga, menurut
beliau pada tahun 2019 tipologi desa Plesungan
adalah berupa persawahan, perladangan, perkebunan, peternakan, nelayan, pertambangan atau galian, kerajinan
dan industri kecil, industri sedang dan besar serta jasa
dan perdagangan dan ini menunjukkan adanya potensi keahlian masyarakat yang telah ditekuni selama ini, walaupun sebenarnya
dulu sebelum tahun itu masyarakatnya juga mengusahakan tanahnya dengan cara bertani (bercocok tanam) pada persawahan maupun pada perladangan (Supeni & Al Hakim, 2020).
Solo Pos dalam tajuk “Asale Desa Plesungan di Karanganyar”, desa Plesungan dulu merupakan Pusat Penggilingan padi masa Keraton Surakarta diambil dari filosofi
kata lesung yang merupakan alat tradisional yang digunakan untuk menumbuk padi menjadi beras
(D.
T. A. Nguyen & Hsu, 2022). Dijelaskan
pada era Keraton Surakarta, desa
Plesungan merupakan pusat penggilingan padi dari berbagai
daerah yang akan dikirimkan ke keraton dengan menggunakan alat lesungnya, padi bisa menjadi beras untuk melayani masyarakat di desanya sendiri ataupun memenuhi kebutuhan masyarakat dari desa lainnya.
Padi yang ditumbuk menjadi beras dengan menggunakan lesung, irama menabuh
lesung bisa menjadi nilai seni bagi
orang yang mendengarnya. Nama Plesungan
sampai sekarang masih digunakan dan jika melihat pada batasan letak desa Plesungan
dengan wilayah disekitarnya
menunjukkan bahwa desa ini sangat strategis dan mudah terjangkau dari berbagai arah dari
era dulu sampai era sekarang. Bercocok
tanam menjadi salah satu pokok mata
pencaharian masyarakat di daerah tersebut, di masa sekarang
walaupun telah beragam mata pencaharian
penduduknya ternyata masih ada masyarakat desa Plesungan yang mengolah lahan persawahan maupun ladangnya dengan menanami berbagai macam tanaman padi
maupun palawija, dari sini menunjukkan
bahwa adanya hubungan hukum masyarakat dengan tanahnya dengan cara mengolah/ mengerjakan lahan yang ada, begitu pula dengan adanya hubungan
hukum masyarakat dengan bumi (tanah)
yang di pijaknya.
b. Desa Plesungan pada saat ini
Pada menjelang tahun 1980 an kabar
akan ada pembangunan jalan lingkar yang merupakan jalan / jalur penghubung
antar kota maupun antar provinsi,
dan adanya jalan lingkar juga akan menghubungkan dengan jalan tol, pembangunan
jalan ini melewati desa Plesungan.
Akibat dibukanya pembangunan jalan lingkar tentu akan
memudahkan akses atau rute perjalanan
ke solo maupun kota lainnya. Pembangunan jalan lingkar juga diharapkan mampu mengurai kemacetan yang terjadi selama ini di kota
Solo. Tersiar kabar juga akan dibangunnya terminal baru, sebagai stasiun bus yang menyediakan sarana dan prasarana bagi transportasi antar kota baik dalam provinsi maupun dan jalur bus luar propinsi. Kabar pembangunan
terminal baru kota Solo di dekat
desa Plesungan dikarenakan terminal induk (Tirtonadi
Solo) yang sudah ada selama
ini tidak mampu mengurai kepadatan penumpang dan bus, ada kabar lain bahwa di desa Plesungan
akan diadakan pembangunan perumahan bersubsidi (perumnas).
Dengan akan dibangunnya tiga fasilitas tersebut pada sekitar desa Plesungan, serta adanya pertimbangan
tentang tata letak batas
wilayah desa Plesungan jika dibandingkan dengan daerah lainnya
serta adanya kemudahan akses pada desa tersebut, tentu ini membuat
desa Plesungan menjadi desa tujuan
yang dapat menarik banyak warga (orang) diluar desa Plesungan
untuk berinvestasi atau membeli lahan di wilayah ini. Begitu pula dengan warga (orang) Plesungan yang mempunyai lahan di wilayah tersebut juga mempunyai harapan ketika desa ini
menjadi terbuka / mudah diakses dari
berbagai sisi akan banyak pendatang
atau warga di luar desa berinvestasi
dengan membeli lahan di daerahnya maka nilai tanah
akan meningkat dan pemilik lahan akan
mendapatkan keuntungan harga bila tanah
tersebut dialihkan/ dijual.
Pilihan investasi lahan
pada desa Plesungan sangat menjanjikan, karena dengan investasi tanah terjadi peningkatan
nilai harga tanah dari tahun
ke tahun tanpa harus dikelola atau diolah,
adanya ketersediaan lahan dengan luas
wilayah desa Plesungan membuat
warga (orang) diluar desa Plesungan berniat untuk berinvestasi tanah di wilayah tersebut. Kabar dibangunnya jalan lingkar di wilayah Solo Utara yang akan
melewati sebagian wilayah desa Plesungan, berdampak multiplayer baik bagi calon pembeli
maupun bagi masyarakat yang ada, harapan warga desa
Plesungan menjadi desa
akan semakin maju dan berkembang (terbukanya) informasi antara desa Plesungan
dengan desa lainnya, dampak lainnya adalah terbukanya peluang usaha yang bisa meningkatkan peningkatan pendapatan atau penghasilan masyarakatnya.
Bersamaan dengan itu muncul banyak spekulan - spekulan yang ingin mencari keberuntungan dengan memiliki lahan di desa Plesungan
untuk kemudian bisa di tawarkan
pada calon pembeli lain di luar desa Plesungan,
berbagai tawaran menarik diberikan pada pemilik tanah di desa Plesungan agar dapat melepas dan / atau mengalihkan bidang tanahnya (lahannya) pada pihak
lain (dalam hal ini spekulan). Harga tanah yang murah, terjangkau serta adanya kemudahan cara pembelian serta adanya keuntungan
atau kelebihan yang akan di dapat nya
di kemudian hari, membuat banyak orang berinvestasi (membeli tanah) di desa Plesungan, begitu pula dengan adanya peningkatan
nilai ekonomi dari tanah yang akan dibeli pada kemudian hari serta
adanya harapan calon pembeli pada saat itu bisa mendapatkan ganti rugi yang besar bilamana telah memiliki tanah di desa tersebut dan kelak bilamana kabar pembangunannya terealisasi.
Berkaitan dengan bidang tanah yang akan dialihkan, pada awalnya telah ada kesepakatan
harga transaksi jual beli di antara mereka (pemilik lahan dan spekulan atau pembeli), spekulan atau pembeli
telah mengetahui secara pasti keberadaan
bidang dan batas tanah yang
akan dijual oleh pemilik lahan, demikian juga telah diketahui data yuridis maupun data fisik bidang tanah disertai
dengan penunjukan titik pastinya lokasi bidang tanah
yang akan dijualnya.
Setelah terjadi kesepakatan
untuk jual beli bidang tanah antara pemilik
lahan dengan para spekulan, kemudian spekulan ini memecah-mecah
tanahnya menjadi bagian luasan yang kecil kecil atau
di kavling yang kemudian ditawarkan pada pada pihak lain diluar desa Plesungan.
Bapak Ignatius Bambang adalah salah satu pembeli tanah
di desa Plesungan, menyatakan awalnya membeli tanah di Plesungan ni karena
ditawari oleh salah satu perangkat desa Plesungan. Pada saat itu penunjukan lokasi juga dilakukan oleh perangkat desa yang diketahui oleh Bp
Ignatius Bambang selaku calon
pembeli. Atas dasar niat hati berinvestasi
maka akhirnya sepakat untuk melakukan jual beli dengan cara membeli tanah
kavling seluas 160 m2 (seratus enam puluh
meter persegi) secara mengangsur dengan batas waktu tertentu hingga akhirnya lunas pembayarannya maka terbitlah sertifikat atas nama Bapak
Ignatius Bambang. Demikian juga dengan
yang dialami oleh Bapak Sigit
Astono yang ditawari membeli tanah oleh teman beliau pada tahun sekitar tahun 1986. Pada awal pembelian lahan (tanah) beliau
juga dipertemukan dengan pemilik lahan, tetangga yang berbatasan, serta penunjukan lokasi oleh pemilik tanah dengan luas
320 m2 (tigaratus duapuluh
meter persegi) sampai pada akhirnya terjadi jual beli antara pemilik lahan dengan
bapak Astono Sigit, dengan pembayaran
secara tunai dan terbitlah sertifikat dengan / menjadi atas nama Bapak Sigit Astono.
Bayan Desa bernama Bapak
Joko
mengatakan bahwa tanah-tanah kavling tersebut pada awalnya adalah tanah tegalan
yang luas dan tempat untuk menggembalakan ternak hingga akhirnya tanah tersebut dijual oleh pemilik tanah pada spekulan dan kemudian dijual lagi pada para pembeli di luar Plesungan pada luasan lahan kecil kecil.Terhadap
lahan (baca tanah kavling) yang dialihkan tersebut adalah pada luasan tanah kavling luas
160 m2 (seratus enam puluh meter persegi), luasan 320 m2 (tigaratus duapuluh meter persegi) , luasan 640 m2 (enam ratus empat puluh meter persegi), dan luasan 960 m2 (sembilan ratus enam puluh meter persegi) yang berada dalam satu hamparan yang menyatu (tidak terpisah), menurut beliau bila dihitung
dalam pecahan lahan (pecahan tanah kavling)
terdapat sejumlah 1063 kavling yang kesemuanya telah bersertifikat atas nama orang perorangan dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan
Karanganyar.
Pada awal transaksi para pembeli tanah dari spekulan
itu membeli dan membayar lahan / kavling sebagaimana cara yang disepakati diantara mereka baik secara
tunai/cash maupun secara mengangsur pada jangka waktu tertentu.
Sampai batas waktu tertentu pembelian tanah tersebut lunas dan tanah kavling tersebut muncul bukti kepemilikan
hak (sertifikat) atas nama pembeli dengan
luasan tertentu dan disertai letak/blok lokasi kavling
yang dibelinya. Namun bila melihat pada kondisi di lapangan pada saat ini, lahan
yang semula hanya untuk investasi (menabung) dengan terjadinya pembangunan pada masa sekarang justru
menyulitkan para pemiliknya.
Kesulitan dengan tidak ditemukan titik lokasi secara
tepat dan benar. Hal ini bisa terjadi karena :
1. pemiliknya bukan berasal dari desa Plesungan
2. pada saat jual beli tidak ditunjukkan / tidak mengetahui lokasi dan
batas tanahnya
3. pemiliknya tidak menguasai secara fisik dan tidak diberi tanda
batas/ IK / patok
Tiga hal di atas kepemilikan oleh orang di luar wilayah desa Plesungan membawa dampak lahan (tanah kavling) menjadi dan tidak pernah dirawat (kelola) selama bertahun tahun hingga ketika dibutuhkan data fisik terkait letak, batas dan luasan lahan (tanah) mengalami kesulitan untuk diketahui secara pasti dimanakah lahan (tanah) masing-masing, sebagaimana tertulis dalam sertifikat yang ada dari para pemilik lahan (tanah). Sesungguhnya dengan munculnya sertifikat atas nama pembeli dari lahan (tanah kavling) juga muncul adanya bukti Pajak Bumi Bangunan (PBB tahunan) dari Kantor Dinas Pendapatan dan Kekayaan Daerah Kabupaten Karanganyar dan selama kepemilikannya para pemilik tanah (lahan kavling) membayar kewajiban setiap tahun, namun demikian hal ini tidak menjamin secara pasti tentang letak tanah dan titik koordinatnya diketahui oleh masing-masing pemiliknya.
Hal ini membawa dampak lebih lanjut ketika pemilik lahan (tanah kavling) akan mengusahakan tanahnya, demikian juga bilamana terjadi peralihan kepemilikan ke anak keturunannya / secara warisan, ataupun hendak dijual, yang mensyaratkan adanya koordinat tanah yang harus diketahui untuk dicantumkan pada sertifikat. Koordinat sebagai syarat utama ini tidak diketahui bukan hanya oleh anak keturunan, pemilik tanah kavling sendiri juga tidak mengetahui titik sebenarnya letak tanah itu. Ke semuanya ini berakibat proses peralihan tidak bisa dilakukan / dilanjutkan, sebab letak bidang tanahnya tidak diketahui.
Sudah terjadi tanah kavling yang telah menjadi tanah warisan, proses alih nama dari pewaris kepada ahli waris / keturunannya menjadi tidak bisa dilaksanakan / terhambat oleh ketiadaan koordinat tanah. Dipersyaratkan adanya titik koordinat tanah sebagai data yang akan dicantumkan / dimuat dalam sertipikat hak atas tanah dengan kondisi seperti ini sertipikat atas nama pewaris ataupun anak keturunannya menjadi tidak ada manfaatnya, dengan tidak diketahuinya koordinat tanah. Sementara koordinat tanah ini demikian pentingnya untuk :
1. peristiwa pewarisan sebagai dasar beralihnya hak milik atas tanah ke para ahli warisnya tidak bisa terlaksana
2. bila tanah-tanah hendak dijual juga tidak bisa terlaksana
3. tanah tidak bisa dijaminkan untuk pinjaman Bank
4. tanahnya tidak bisa diusahakan
sehingga menjadi tanah terlantar selamanya
5. sertifikat tanah kehilangan fungsi sebagai bukti hak atas tanah
6. segi ekonomis dari tanah
di desa Plesungan menjadi hilang menjadikan peluang investasi menjadi tertutup.
Ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia nomor 16 tahun 2001 tentang perubahan ketiga atas peraturan Menteri Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 3 tahun 1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah pada pasal 19 A angka (2) menyatakan bahwa tanda batas yang terpasang dengan dilengkapi keterangan lokasi, koordinat atau geotagging (geotagging adalah teknologi yang digunakan keakuratan data lokasi yang diterapkan pada lokasi tentang data lokasi untuk menentukan bujur dan lintang) dengan kondisi desa Plesungan saat ini tidak bisa diwujudkan.
Upaya pemilik lahan (tanah kavling) selama ini telah dicoba diusahakan diantaranya ketika lahan kavling tersebut tidak ditemukan, merteka mendatangi Kantor Desa setempat dengan meminta informasi tanah tentang letaknya, namun hal ini tidak bisa menjamin kepastian titik tanah secara benar sebab perangkat desa sekarang dan pada awal transaksi jual beli sudah berganti orang, sedangkan peristiwa lahan kavling terjadi sekitar tahun 1980 an dimana letak lahan sudah berubah baik karena perkembangan pembangunan maupun akibat peristiwa alam seperti terkikis atau bergesernya tanah akibat tidak di beri batas tanah ketika ada hujan lebat. Peristiwa carut marutnya lahan kavling disamping lahan yang tidak dikuasai pemilik mengakibatkan warga sekitar yang melepaskan ternak di area tersebut dan menggunakan patok/ ika yang ada sebagai pengikat ternak, hingga akhirnya patok tersebut bergeser atau bahkan hilang. Peristiwa lainnya adanya sebagian lahan tanahnya yang dieksploitasi dengan cara di ambil tanahnya dan di jual secara tidak bertanggungjawab, terhadap peristiwa ini maka bukanlah jaminan ketika perangkat desa dapat menunjukkan titik lahan tanah secara benar dan pasti.
Upaya lain dari pemilik tanah kavling ada yang mendatangi perangkat desa dan berdasar wawancara dengan bapak Joko bahwa ada pemilik lahan kavling yang menanyakan keberadaan letak lahan secara pastinya kepada beliau maka beliau menelusur ke belakang terhadap kepemilikan awal dari buku C (buku desanya) untuk kemudian bilamana ada ahli waris yang masih ada diminta untuk menunjukkan lokasi dan batas luar tanah pada awalnya dan di beri tanda batas (patok) lalu bidang tanah tersebut di cari koordinatnya, dengan demikian akan muncul lokasi pemetaan bidangnya, dari sini barulah dibagi sesuai jumlah pecahan kavling yang pernah terjadi sebanyak berapakah dan kemudian dilakukan pencocokan dengan sketsa /gambar kavling yang pernah dibuat pada awal pembagiannya. Kegiatan ini sudah dilakukan Bapak Joko ketika ada pemilik lahan kavling ingin benar benar mengetahui lahannya dengan dibantu pihak lain yang ahli dalam geospasial melalui peralatan yang dimilikinya dan hasilnya bisa diketahui letak pasti dari lahan kavlingnya namun ketika di sodorkan kepada Kantor Pertanahan belum dapat ditindaklanjuti pada saat itu.
Terhadap pemilik lahan kavling juga telah mengupayakan dengan menghimpun para pemilik lahan kavling yang ada dan saat ini hanya berjumlah 150 orang yang berdomisili dari berbagai daerah, dan upaya datang ke Kantor Pertanahan Karanganyar, ataupun berkirim surat, bahkan mengadakan rapat antara 150 orang pemilik lahan kavling dengan pihak Kanator Pertanaham Karanganyar namun hal ini belum menunjukkan adanya upaya berarti Pemerintah (dalam hal ini Kantor Pertanahan Karanganyar) untuk menata ulang lahan tanah kavling di desa Plesungan tersebut.
Dikendaki oleh pihak Kantor Pertanahan Karanganyar agar semua pemilik tanah tersebut terkumpul semua baru bisa dilakukan penataan ulang tanda batas untuk kemudian ditentukan koordinat satu persatu bidang tanah dengan pencocokan pada sertipikat yang ada, hal ini menjadi sesuatu yang sulit bilamana harus mengumpulkan selurh pemilik lahan kavling karena sudah tersebar di seluruh wilayah indonesia bahkan bisa diluar negeri sebab para pemilik tanah tersebut sebagian tentunya telah meninggal dunia dan hanya ada ahli warisnya saja.
Betapa pentingnya pencantuman koordinat tanah pada sertipikat, agar dapat tertib legalitas dan administrasi tanah pada Kantor Pertanahan dengan letak tanah yang ada di suatu wilayah, oleh karena itu sesungguhnya hubungan koordinat tanah dengan Kantor Pertanahan setempat akan menimbulkan hubungan seperti dibawah ini :
1.
Berkaitan dengan pendaftaran tanah bahwa koordinat
tanah akan mengidentifikasi lokasi tanah dengan tepat
2. Akta kepemilikan bahwa dengan pencantuman informasi koordinat tanah akan memberikan
gambaran tentang lokasi dan batas-batas dari properti sehingga akan membantu terhindarnya
perselisihan lahan atau tumpang tindihnya
lahan.
3. Perubahan data tanah bahwa bilamana ada perubahan
status kepemilikan lahan atau batas batas tanah, maka kantor
Pertanahan dapat memastikan perubahan tersebut secara sah dan akurat
4. Penetapan nilai tanah berkaitan dengan tujuan perpajakan atau transaksi lainnya
5. Penanganan sengketa tanah bahwa dalam kasus perselisihan tanah, koordinat tanah dapat digunakan untuk mengklasifikasi lokasi dan batas tanah secara obyektif
6. Perencanaan tata ruang bahwa dapat dimanfaatkannya koordinat tanah untuk pengelolaan penggunaan lahan dan menghindari adanya konflik terkait tumpang tindih
7. pemantauan aset publik bahwa berkaitan dengan tata kelola aset publik seperti
jalan, gedung dan fasilitas umum
8. Akses data publik bahwa Kantor Pertanahan dapat menyediakan data koordinat kepada masyarakat umum, pengembang ataupun lembaga lain terkait informasi geospasial.
Sistem Perlindungan
dan Relevansi Koordinat
Tanah
a. Sistem Perlindungan Atas Kepemilikan Hak
Atas Tanah /Data Tanah
Sistem Perlindungan Atas Kepemilikan Hak
Atas Tanah
Sistem Perlindungan atas kepemilikan
hak atas tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) beserta peraturan pelaksanaannya. Pendaftaran tanah
merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk memberikan jaminan hukum kepada
pemilik tanah, seperti yang tercantum dalam
Pasal 19 UUPA, yaitu (Muchtar, 2023):
1.
Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan
– ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.
Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a. Pengukuran perpetaan dan pembukuan
tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
3. Pendaftaran tanah diselenggarakandengan mengingat keadaan Negara dan masyarakan, keperluan lalu lintas sosial ekonomi
serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
Pengertian pendaftaran tanah terdapat pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi : "Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya;"
Sementara tujuan pendaftaran Tanah terdapat pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan bahwa Pendaftaran tanah bertujuan:
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan
rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
b.
Untuk menyediakan
informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan
dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar, untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.
Pasal 4 memberikan tambahan untuk pasal 3, “demi memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana yang tercantum pada pasal 3 huruf a maka kepada
pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.”
Ketersediaan
data fisik dan data yuridis
dari bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk umum.
Dengan ketersediaan data tersebut fungsi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b (3) berjalan, yang berkonsekuensi mencapai
tertib administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, setiap bidang tanah
dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas
bidang tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun wajib didaftar.
Sertifikat adalah ujung atau hasil
akhir dari suatu proses. Proses Itu dimulai dari adanya data fisik dan data yuridis. Data fisik meliputi letak dan batas suatu bidang tanah sebagai
bahan dasar dan utama untuk dapat
diketahuinya koordinat tanah. koordinat tanah dan data yuridis digunakan untuk penerbitan sertifikat.
Peraturan yang mengatur mengenai
pemeliharaan data kepemilikan
tanah adalah Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Pasal 41 PERMEN tersebut menjelaskan mengenai tanggung jawab pemeliharaan peta pendaftaran, gambar ukur dan data ukur terkait dengan
tanah, sebagai berikut:
1. Pemeliharaan peta pendaftaran, Gambar Ukur dan data ukur terkait merupakan tanggung jawab Kepala Kantor Pertanahan.
2. Dalam hal terdapat peta
pendaftaran, Gambar Ukur,
dan data ukur terkait yang rusak atau hilang,
Kepala Kantor Pertanahan diwajibkan memperbaiki atau mengembalikan data informasi tersebut.
3. Dalam hal pengukuran untuk pembuatan peta pendaftaran dan Gambar Ukur terdapat kesalahan teknis data ukuran, maka Kepala Kantor Pertanahan dapat memperbaiki kesalahan tersebut.
4. Dalam hal pembuatan peta
pendaftaran yang dilaksanakan
dengan menggunakan metode Fotogrametri, terdapat kekeliruan yaitu bidang tanah yang dipetakan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan maka berdasarkan pengukuran di lapangan Kepala Kantor Pertanahan dapat memperbaiki peta pendaftaran tersebut.
5.
Dalam hal suatu bidang
tanah yang diukur ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) sudah diterbitkan Sertifikat, selain dilakukan perubahan pada Gambar Ukur dan peta pendaftaran juga dilakukan perubahan pada surat ukurnya.
6. Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Ayat (3) dan ayat (4) dibuatkan Berita Acara.
b. Pengaturan Mengenai Koordinat Tanah di Indonesia Kini
Pengaturan tentang koordinat tanah di Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai peraturan dan undang-undang terkait pemetaan, survei, dan administrasi properti. Beberapa peraturan yang relevan termasuk:
Undang-Undang No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial: Undang-Undang ini mengatur tentang
pengumpulan, pengelolaan,
dan pemanfaatan data geospasial,
termasuk koordinat dan pemetaan tanah. Undang-undang ini juga mendirikan Badan Informasi Geospasial
(BIG) sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas informasi geospasial di
Indonesia.
Peraturan Presiden No. 34 Tahun 2012 tentang Peta Dasar: Peraturan ini mengatur tentang
pembuatan, penggunaan, dan penyebaran peta dasar serta informasi
geospasial lainnya, termasuk tentang penggunaan sistem koordinat.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 4 Tahun 2016 tentang Sistem Informasi Pertanahan: Peraturan ini mengatur
tentang pengelolaan sistem informasi pertanahan, yang mencakup aspek pemetaan, pendaftaran, dan koordinat tanah.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 1 Tahun 2020 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pembangunan
Infrastruktur Data Geospasial:
Peraturan ini menjelaskan tentang pembangunan infrastruktur data geospasial, termasuk penentuan koordinat dan pemetaan.
Pedoman Teknis Penyusunan Peta Dasar Indonesia: Dokumen
ini diterbitkan oleh Badan
Informasi Geospasial (BIG) dan memuat
pedoman teknis terkait penyusunan peta dasar Indonesia, termasuk penggunaan koordinat.
Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2018 tentang Peta Rencana Tata Ruang
Nasional: Instruksi Presiden
ini menetapkan pedoman untuk penyusunan dan penentuan peta rencana tata ruang nasional, yang melibatkan informasi geospasial termasuk koordinat.
Peraturan-peraturan ini memberikan dasar hukum dan pedoman teknis terkait penggunaan koordinat tanah dan informasi geospasial di
Indonesia. Namun, penting
untuk mengacu langsung pada
teks peraturan yang berlaku dan mendapatkan informasi terkini dari sumber resmi
seperti situs web Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/BPN dan Badan Informasi Geospasial
(BIG).
Berbicara tentang perlindungan hukum pada focus tulisan ini nampak bahwa perlindungan
hukum telah tertuang dalam peraturan perundangandi mana jika seseorang memilikan sebidang tanah agar terjadi kepastian hukum haruslah mngikuti mekanismenyang telah ditenukan yang ujungnya adalah pemilikan sertifikat, yang didalamnya memuat data fisikdan data juridis dari obyekdan subyek
bidang tanah yang dimaksud. Di desa penelitian secaran normsatif telah diikuti sehingga para pemilik tanahnya memiliki sertifikat
di tahun 1986. Ini masa sebelum
jalan lingkar utara tersebut di bangun. Setelah jalan lingkar utara di bangun situasi lapangan berubah menjadikan para pemilik tanah ini tidak
lagi mengetahui letak tanahnya. Masalah menjadi melebar karena pemilikan tanah ada yang telah beralih karena
pewarisan, untuk membuat sertifikat baru karena situasi di lapangan berubah maka untuk menentukan koordinat tanah menjadi tidak
bisa. Karena pemilik tidak mengetahui lagi letak tanahnya sehingga data fisik tanah tidak
bisa diperoleh.
Secara system perlindungan atas hak tanah tersebut telah jelas tetapi
secara riil, system yang diletakkan atau aturan ini menjadi
tidak bisa silaksanakan karena situasi lapangan berubah. Sehingga bisa dikatakan perlindungan hukum ini menjadi tidak
jelas karena tidak bisa lagi diperoleh bukti nyata pemilikan
setelah adanya peralihan hak.
c.
Relevansi Koordinat Tanah
Relevansi atau pentingnya bahkan sangat penting data fisik tentang suatu bidang
tanah, berupa letak, batas sebagaimana sudah diuraikan di atas untuk menentukan
koordinat tanah dalam rangka pembuatan
sertifikat juga peralihan hak. Tanpa data koordinat tanah ini segala proses peralihan dan pensertifikatan tanah tidak bisa
dilakukan.
Peran serta Negara dalam hal ini Kantor Pertanahan sangatlah penting atas kejadian
di desa Plesungan saat ini. Pasal 2 angka (2c) Undang Undang Pokok Agraria
nomor 5 tahun 1960 tentang hak menguasai
negara menentukan Negara mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang perorangan dengan bumi, air dan ruang angkasa. Pasal ini mengatur bahwa
negara memiliki kewajiban untuk memberikan keputusan dalam rupa suatu hak
atas tanah yang bisa dimiliki oleh seseorang yang selanjutnya harus dilakukan pendaftaran tanah atas bidang-bidang tanah tersebut.
Peraturan Menteri Agraria
dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia nomor 16 tahun 2001 tentang perubahan ketiga atas peraturan Menteri Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 3 tahun 1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah pada pasal 19 A menyatakan:
1. Pemasangan tanda batas dilakukan oleh pemohon setelah mendapat persetujuan pemilik yang berbatasan
2. Dalam rangka pemasangan tanda batas sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan pemotretan terhadap tanda batas yang terpasang dengan dilengkapi keterangan lokasi, koordinat atau geotagging
3. Pemeliharaan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemeliharaannya menjadi tanggung jawab pemohon
4. Pemasangan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan pada Surat pernyataan Pemasangan Tanda Batas dan Persetujuan pemilik yang berbatasan
5. Hasil pemotretan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan surat pernyataan pemasangan Tanda Batas dan persetujuan pemilik yang berbatasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) menjadi syarat kelengkapan berkas permohonan.
6. Surat persetujuan Pemasangan Tanda batas dan persetujuan pemilik yang berbatasan dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam lampiran 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan menteri ini.
Uraian di atas sebagai ketentuan dalam tertib administratif melindungi apa yang menjadi hak dari
kepemilikan bagi
perorangan juga badan hukum.
Koordinat Tanah sebagai informasi dari sebidang tanah yang dimiliki oleh seseorang, memerlukan kejelasan / keberadaan tanda batas untuk bisa
diketahui pemilik tanah dan pihak lain bilamana ada peralihan
hak, sehingga tercipta tertib administrasi. Jikalau tanda batas tidak diketahui akan menyulitkan kantor Pertanahan dalam menginventarisir
bidang tanah yang ada untuk selanjutnya diproses pendaftaran tanah.
Para pemegang sertifikat
tanah di Desa Plesungan hak kepemilikan mereka karena pada sertifikat mereka tidak tercantum titik koordinat dari bidang tanah
yang ada karena pensertipikatan tersebut dilakukan sebelum diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pnedaftaran Tanah diberlakukan sehingga dalam ketentuan yang
sekarang mensyaratkan adanya
pencantuman titik koordinat dari setiap bidang tanah
yang ada, ketentuan Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia nomor 16 tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan
Nasional nomor 3 tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah Pasal 19 A ayat (2) menyatakan
perlunya koordinat dalam pemasangan tanda batas, bahwa Koordinat tanah ini penentu
untuk segala perbuatan hukum atas tanah. Sehingga demikian pentingnya fokus penelitian ini.
Terpenuhinya koordinat pada setiap bidang tanah akan
dicantumkan pada buku tanah sehingga data yuridis dan data fisik dapat diperoleh secara tepat untuk masuk / dicantumkan dalam sertifikat, untuk pemeliharaan
data tanah yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah sehingga dapat tertata secara baik akan sangat menolong tugas-tugas Kantor Pertanahan untuk tertib administrasi pertanahan juga
dalam rangka sebagai pembuktian. Secara lengkap demikian:
(1)keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi
hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut
berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang
kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik,
dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
(2)Dalam hal tidak atau
tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan
berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau
lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan syarat :
a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik
dan secara terbuka oleh
yang bersangkutan sebagai
yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.
b. Penguasaan tersebut baik sebelum
maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
Terhadap sertipikat hilang segera diterbitkan sertipikat pengganti, demikian juga sertipikat yang rusak. Sertipikat dengan blangko lama dapat juga dimintakan sertipikat pengganti.
Apabila pemegang hak, atau
penerima hak sudah meninggal dunia, permohonan sertifikat pengganti dapat diajukan oleh ahli warisnya dengan
menyerahkan surat tanda bukti sebagai
ahli waris (Andrew et al., 2023; Grover, 2022; M. Li et al., 2021; Machado &
Westphall, 2021). Penggantian sertipikat
dicatat pada buku tanah yang bersangkutan. Sertipikat yang hilang bila ditemukan harus dimusnahkan untuk menghindari penyalahgunaan.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah, mengatur mengenai permohonan pada Pasal 137 mengatur,
1. Permohonan penerbitan sertipikat pengganti karena rusak atau karena
masih menggunakan blangko sertipikat lama dapat diajukan oleh yang berkepentingan
dengan melampirkan sertifikat atau sisa sertipikat yang bersangkutan
2. Sertifikat dianggap rusak apabila ada bagian
yang tidak terbaca atau ada halaman
yang robek atau terlepas, akan tetapi masih tersisa
bagian sertifikat yang cukup untuk mengidentifikasi adanya sertifikat tersebut.
3. Penerbitan sertipikat karena masih menggunakan blangko lama meliputi juga penggantian sertipikat hak atas tanah dalam rangka pembaharuan atau perubahan hak yang menggunakan sertifikat lama dengan mencoret ciri-ciri hak lama dan menggantinya dengan ciri-ciri hak baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat
(3).
Sesuai dengan pasal
137 PERMEN Agraria diatas, dapat menjadi arahan
untuk membantu permasalahan
di Desa Plesungan terkait dengan tidak adanya
NIB pada sertifikat tanah milik mereka.
Peristiwa yang terjadi di desa Plesungan menunjukkan seolah negara membiarkan kondisi berlarut larut sehingga tanah-tanah di desa ini menjadi terlantar,
karena para pemiliknya tidak mengetahui letak tanahnya, berakibat tidak mengetahui batas tanahnya, untuk keperluan penentuan koordinat tanah. Upaya yang pernah dilakukan sebagian kecil para pemilik lahan kavling
tidak mendapatkan respon secara cepat
oleh yang berwenang. Upaya sebagian
kecil para pemilik tanah itu adalah mengajukan ke Kantor Pertanahan
untuk meminta bantuan atas kepastian tanah yang mereka miliki agar dapat ditemukan secara pasti titik
lokasi dengan sertifikat yang telah dimiliki dan dipegang para pemohon. Memang merupakan kesulitan tersendiri bagi kantor pertanahan setempat untuk menghimpn ribuan pemilik tanah tersebut dengan domsili yang berpencar. Tetapi benarkan tidak ada jalan keluar?
Bila melihat kembali pengaturan di Pasal 30 PP No. 24 Tahun
1997 jika terdapat masalah dengan data fisik atau data yuridis, dimana data fisik ini sebagai
bahan utama pembuatan koordinat tanah maka ada
beberapa hal yang dinyatakan dalam pasal ini secara prinsip
menyatakan bahwa ketiadaan data fisik memungkinkan pembukuan atas sebidang tanah dengan diberi catatan dalam buku tanah tersebut
namun sertifikat belum dapat diterbitkan. Dalam kenyataan bila seseorang memperoleh hak atas sebidang tanah dengan cara membeli, mewaris tukar menukar, bila letak dan batas tanahnya belum / tidak jelas tentulah
tidak akan bersedia data fisik sebagai bahan utama
koordinat tanah.
Terlepas dari hal di atas jika melihat kembali pengaturan di Pasal 30 PP No. 24 Tahun
1997 bila terdapat masalah dengan data fisik atau data yuridis, dimana data fisik ini sebagai bahan
utama pembuatan koordinat tanah maka ada beberapa
hal yang dinyatakan dalam pasal ini sebagaimana sudah diuraikan di
atas yang secara prinsip menyatakan bahwa ketiadaan data fisik memungkinkan pembukuan atas sebidang tanah dengan diberi catatan dalam buku tanah tersebut
namun sertifikat belum dapat diterbitkan. Dalam kenyataan bila seseorang memperoleh hak atas sebidang tanah dengan cara membeli, mewaris tukar menukar, bila letak dan batas tanahnya belum / tidak jelas tentulah
tidak akan bersedia data fisik sebagai bahan utama
koordinat tanah.
Apabila mengacu pada pasal 41 ayat (2) Pasal 41 Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala
BPN Nomor 3 Tahun 1997,
juga pasal 94 dapat menjadi bahan perlindungan
hukum bagi para pemilik sertifikat tanah di Desa Plesungan terkait tidak adanya
NIB pada sertifikat tanah mereka. Semua hal terkait dengan pemeliharaan data sertifikat tanah merupakan tanggung jawab dari Kepala Kantor Pertanahan. Terkait dengan data yang hilang atau atau rusak
dalam sertifikat tanah, maka Kepala Kantor Pertanahan wajib memperbaiki dan mengembalikan
data tanah tersebut. Sesuai
dengan permasalahan di Desa
Plesungan, di mana titik koordinat tanah saat ini tidak
diketahui sehingga letak dan posisi tanah di lapangan/senyatanya tidak diketahui. Tetapi bukannya berdasar data yang ada pada saat jual
beli di tahun 1986 sertifikat
memuat data berbatasan dengan siapa, ini bisa sebagai bahan/ petunjuk awal.
Fakta bahwa para pemilik bidang tanah di desa Plesungan
memiliki sertifikat, namun tidak mengetahui
letak tanah beserta batas-batasnya. Hal demikian terjadi karena para pemilik bidang tanah saat
melakukan jual beli hak atas tanah tidak melihat ke lokasi di mana tanah terletak. Tidak melakukan pengukuran terkini. Hal ini berakibat para pemilik tidak mengetahui letak tanah miliknya
juga batas-batasnya. dalam sistem
pendaftaran tanah ini disebut sebagai
data fisik yang diperlukan
untuk pendaftaran tanah. Apabila data fisik ini tidak diketahui
/ tidak jelas maka koordinat tanah tidak dapat
ditentukan. Akibat lebih lanjut para pemilik tanah tidak
bisa mengalihkan hak atas tanahnya. Sementara dalam peralihan hak atas tanah penting untuk diketahui letak tanah dan batas-batasnya. Sehingga arti penting sertifikat hak atas tanah yang dimiliki menjadi tidak bermanfaat.
Di desa penelitian
tidak pernah ada penguasaan secara langsung dari setiap bidang
tanah, apalagi pemeliharaan tanah, tanah dibiarkan saja sejak pembelian
pertama kali sebelum jalan lingkar utara
tersebut ada, tanpa diolah atau
diusahakan (Cao et al., 2020; N. Li et al., 2022). Pada pasal
1 angka 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor
36 tahun 1998 tentang penertiban dan pendayagunaan tentang Tanah Terlantar, di jelaskan dalam angka 5 Peraturan Pemerintah ini, yang memberikan
pengertian tanah terlantar adalah tanah yg ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan pasal 2 pada Peraturan Pemerintah ini mengatakan bahwa : “ Peraturan pemerintah ini mengatur tanah terlantar yang dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai, tanah hak pengelolaan, dan tanah yang sudah
diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku “ ketentuan ini menjelaskan
status tanah dengan Hak milik juga diatur, dan terhadap status tanah hak milik bilamana
tidak dikelola dengan baik maka
bisa dianggap sebagai tanah terlantar. Jika tanah-tanah di desa Plesungan yang dimaksudkan ini akan dikategorikan
sebagai tanah terlantar agaknya tidak pada tempatnya.
KESIMPULAN
a. data tanah
yang meliputi data fisik
dan data juridis diperlukan
untuk kepastian hukum yang akan menjadi isi dari
sustau sertifikat
b. penentuan data fisik
tanah ini kini menggunakan model penentuan koordinat yang
memerlukan kejelasan lokasi dan batas sebidang tanah, karena dilokasi
bidang tanah itulah koordinat tanah bisa diperoleh
c. dengan tidak diketahui letak dan batas sebidang tanah, koordinat tanah tidak bisa dibuat,
inilah yang terjadi di desa penelitian setelah dibangunnya jalan lingkar utara
d. meski para pemilik
tanah di desa penelitian telah memiliki sertifikat dikala membeli di tahun 1986, kini data fisik atas tanah
yang sama tidak diketahui lagi. Dengan demikian sistem perlindungan hukum yang telah diatur tidak bisa
lagi melindungi para pemilik tanah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Andrew, J.,
Isravel, D. P., Sagayam, K. M., Bhushan, B., Sei, Y., & Eunice, J. (2023).
Blockchain for healthcare systems: Architecture, security challenges, trends
and future directions. Journal of Network and Computer Applications, 215,
103633.
Cao, H., Zhu, X., Heijman, W., & Zhao, K. (2020). The
impact of land transfer and farmers’ knowledge of farmland protection policy on
pro-environmental agricultural practices: The case of straw return to fields in
Ningxia, China. Journal of Cleaner Production, 277, 123701.
Chi, Y., Liu, D., Wang, C., Xing, W., & Gao, J. (2022).
Island development suitability evaluation for supporting the spatial planning
in archipelagic areas. Science of the Total Environment, 829,
154679.
Grover, J. (2022). Security of Vehicular Ad Hoc Networks
using blockchain: A comprehensive review. Vehicular Communications, 34,
100458.
Ibid, P. (n.d.). مياكرود دنع ةيعامتجلإا ةئشنتلا.
Li, M., Lal, C., Conti, M., & Hu, D. (2021). LEChain: A
blockchain-based lawful evidence management scheme for digital forensics. Future
Generation Computer Systems, 115, 406–420.
Li, N., Tang, L., Che, X., Shi, X., & Ma, X. (2022). Does
the democratization level of village governance affect perceptions of security
and integrity of land rights?-An analysis from the perspective of social
network abundance. Journal of Rural Studies, 94, 305–318.
Machado, C., & Westphall, C. M. (2021). Blockchain
incentivized data forwarding in MANETs: Strategies and challenges. Ad Hoc
Networks, 110, 102321.
Muchtar, A. (2023). Model Pengaturan Pungutan Negara Dalam
Pendaftaran Jual Beli Atas Tanah. Uns (Sebelas Maret University).
Nguyen, D. H., Ngo, T. D., Vu, V. D., & Du, Q. V. V.
(2022). Establishing distribution maps and structural analysis of seagrass
communities based on high-resolution remote sensing images and field surveys: a
case study at Nam Yet Island, Truong Sa Archipelago, Vietnam. Landscape and
Ecological Engineering, 18(3), 405–419.
Nguyen, D. T. A., & Hsu, L. (2022). Exploring visit
intention to India among Southeast Asian solo female travelers. Journal of
Destination Marketing & Management, 25, 100725.
Rohmadi, F. A. (2024). Analisis Yuridis Pelaksanaan
Pendaftaran Perubahan Hak Atas Tanah Dari Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Milik
(Studi di Kantor Pertanahan Kota Surakarta). JURNAL BEVINDING, 1(10),
50–68.
Ruiz, H. S., Sunarso, A., Ibrahim-Bathis, K., Murti, S. A.,
& Budiarto, I. (2020). GIS-AHP Multi Criteria Decision Analysis for the
optimal location of solar energy plants at Indonesia. Energy Reports, 6,
3249–3263.
Saing, Z., Djainal, H., & Deni, S. (2021). Land use
balance determination using satellite imagery and geographic information
system: case study in South Sulawesi Province, Indonesia. Geodesy and
Geodynamics, 12(2), 133–147.
Sumarja, F. X., & Eka, D. (2022). Laporan Penelitian
Pemula Fakultas Hukum Universitas Lampung Perspektif Hukum Potensi
Cryptocurrency Sebagai Obyek Pajak Penghasilan. Perspektif Hukum Potensi
Cryptocurrency Sebagai Obyek Pajak Penghasilan, 1–44.
Supeni, S., & Al Hakim, L. (2020). Mengenal Potensi
Desa Wisata Desa Plesungan Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar.
Unisri Press.
Wulan, S., Hasrul, M., & Arisaputra, M. I. (2020).
Tanggung Jawab Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah Atas Hilangnya Lembar Pertama
Akta. Widya Pranata Hukum, 4(1), 1–14.
© 2024 by the authors.
Submitted for possible open access publication under the terms
and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)