Teologi Liberalisme
Salah Satu Teologi Kontemporer
Suatu Kajian Analisis Bagi
Pendidikan Agama Kristen
Ventje Albert Talumepa
Fakultas Teologi
UKIT
INFO
ARTIKEL |
ABSTRAK |
Kata Kunci: Teologi, Teologi Liberalisme,
Teologi Kontemporer, Alkitab, PAK Keywords: |
Di dalam pendidikan teologi, terdapat keinginan yang mendalam untuk memahami apa yang dimaksud dengan teologi secara menyeluruh. Pemahaman ini menjadi hal
yang utama, bahkan lebih dari pengetahuan
tambahan yang mendukung teologi. Banyak ahli teologi yang telah menghasilkan berbagai buku guna memenuhi
kebutuhan akan pemahaman ini, termasuk buku-buku tentang teologi liberalisme. Artikel ini berfokus pada isu-isu seputar teologi liberalisme dalam konteks Pendidikan Agama Kristen (PAK) bagi siswa beragama
Kristen. Pertanyaan utamanya
adalah apa yang melatarbelakangi munculnya teologi liberalisme, yang menitikberatkan pada akal atau logika dan cenderung mengesampingkan Alkitab sebagai sumber utama teologi Kristen. Artikel ini
juga mempertanyakan pandangan
yang mendukung teologi liberalisme dan kaitannya dengan Pendidikan Agama Kristen, khususnya
dalam peran guru dan pengaruhnya terhadap siswa. Untuk menjawab persoalan ini, artikel akan menganalisis tradisi gereja melalui teks-teks Alkitab yang relevan dan menempatkannya dalam konteks teologi kontemporer. Metode yang digunakan
adalah penelitian kualitatif dengan mengumpulkan data dari sumber-sumber literatur seperti buku dan jurnal. Dalam penelitian dan analisis ini, penulis berupaya memberikan perspektif baru bagi pengajaran
PAK, dengan tujuan membangun fondasi yang kuat bagi para guru dan siswa berdasarkan Alkitab sebagai acuan utama pendidikan
Kristen. Artikel ini menekankan
bahwa Alkitab, sebagai Firman Tuhan, adalah standar utama dalam pengajaran
Kristen, bukan sekadar pemikiran rasional. Pada bagian akhir, artikel ini akan
menyajikan kesimpulan dari seluruh pembahasan. ABSTRACT In
theological education, there is a deep desire to understand what theology is
all about. This understanding is paramount, even more so than the additional
knowledge that supports theology. Many theologians have produced books to
fulfill this need, including books on liberal theology. This article focuses
on the issues surrounding liberal theology in the context of Christian
Religious Education for Christian students. The main question is what is
behind the emergence of liberal theology, which emphasizes reason or logic
and tends to override the Bible as the main source of Christian theology.
This article also questions the views that support liberalism theology and
its relation to Christian Religious Education, especially in the role of
teachers and its influence on students. To answer this issue, the article
will analyze the church tradition through relevant biblical texts and place
it in the context of contemporary theology. The method used is qualitative
research by collecting data from literature sources such as books and
journals. In this research and analysis, the author attempts to provide a new
perspective for PAK teaching, with the aim of building a strong foundation
for teachers and students based on the Bible as the main reference for
Christian education. The article emphasizes that the Bible, as the Word of
God, is the ultimate standard in Christian teaching, not just rational
thinking. In the final section, the article will present the conclusion of
the whole discussion. |
Theology,
Theology of Liberalism, Contemporary Theology. Bible, PAK |
Dalam lingkungan akademik
di fakultas atau perguruan tinggi teologi, pencarian utama adalah pemahaman
mendalam tentang Allah yang
dipelopori oleh para pemikir
terkemuka dari berbagai penjuru dunia (Eom et al., 2021; Fidelis et al., 2024). Pemikiran teologi
Barat diakui memiliki pengaruh besar dalam pendidikan teologi di Indonesia.
Hal ini tidak berarti bahwa pemikir lokal
kurang penting, namun arah pemikiran
mereka kerap dipengaruhi oleh gagasan Barat.
Seiring waktu, pendidikan teologi mengalami perkembangan signifikan, tercatat dalam sejarah. Bahkan perdebatan di antara tokoh-tokoh teologi menarik minat untuk dikaji, terutama oleh mahasiswa di berbagai perguruan tinggi, baik di dalam maupun luar negeri. Terdapat banyak teori dalam teologi, seperti teologi Alkitab, teologi reformasi, teologi misi, teologi
biblikal, teologi konfesional ortodoks, teologi tradisional, teologi tanah, teologi injili, teologi kontekstual, teologi naturalis, teologi praktis, teologi pluralisme, teologi pastoral, teologi
liberal, dan berbagai bentuk
teologi kontemporer lainnya. Di antara semua ini, teologi liberalisme
merupakan salah satu teori yang menarik untuk dianalisis lebih mendalam.
Adapun pembahasan mengenai Teologi Liberalisme, Ridha Aida dalam bukunya �Liberalisme dan Komunitarisme: Konsep tentang Individu� menggarisbawahi bagaimana Liberalisme dan sosialisme berbeda dalam nilai-nilai inti mereka. Liberalisme berfokus pada kebebasan individu tanpa gangguan eksternal, sementara sosialisme mengutamakan kesetaraan sosial. Menurut pandangan Liberalisme, yang didukung oleh pemikiran John Locke, individu seharusnya memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak lain. Aida menjelaskan bahwa kebebasan yang menjadi inti dari Liberalisme berarti tidak adanya campur tangan dari pihak luar terhadap aktivitas individu. Liberalisme memandang kebebasan sebagai hak individu yang harus dihormati, tetapi menyadari bahwa kebebasan tidak dapat berlangsung tanpa batas. Untuk menjaga kebebasan setiap orang, terkadang perlu ada batasan yang mencegah tindakan satu individu mengganggu kebebasan individu lainnya.
Stefanus Kristianto, dalam jurnalnya �Kekristenan dan Liberalisme�, mengutip pandangan J. Gresham Machen yang memperingatkan umat Kristen bahwa Liberalisme adalah sistem keagamaan yang sepenuhnya berbeda dari kekristenan (Vlachov� & Hamplov�, 2023). Menurut Machen, kaum liberal tidak layak disebut sebagai orang Kristen, karena Liberalisme telah mengorbankan elemen-elemen esensial dari kekristenan, seperti pentingnya hubungan dengan Allah dan ajaran-ajaran pokok tentang sifat Allah. Doktrin Liberalisme yang mengajarkan tentang �kebapaan Allah yang universal� dianggap tidak sesuai dengan Alkitab, begitu pula pandangannya terhadap konsep gereja (eklesiologi) dan akhir zaman (eskatologi).
Sementara Farid Khoeroni, dalam karyanya �Ideologi Liberalisme Sebagai Dasar Konsep Pendidikan Integratif�, berpendapat bahwa pendekatan pendidikan liberalisme tidak hanya mengajarkan
materi, tetapi juga berusaha mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan peserta didik untuk
mengelola tantangan hidup secara mandiri.
Pendidikan liberalisme bertujuan
untuk memberdayakan siswa dalam menghadapi
berbagai situasi melalui pemecahan masalah yang konstruktif. Sehingga, pendidikan liberalisme memiliki kesamaan dengan pendidikan integratif, yang menggabungkan berbagai aspek untuk menghasilkan
pemahaman menyeluruh, menekankan pembentukan individu yang mandiri dan berdaya.
Berdasarkan pandangan para ahli tersebut, penulis setuju bahwa Liberalisme memang mengedepankan kebebasan yang berbasis pada rasionalitas di berbagai bidang, termasuk dalam aspek individu,
masyarakat, negara, dan khususnya
pendidikan. Namun, penulis berpandangan bahwa kebebasan dalam liberalisme tetap memerlukan pengawasan dan kontrol, terutama dalam Pendidikan Agama
Kristen yang harus berpegang
pada Alkitab sebagai sumber utama ajaran.
Jika kebebasan individu dalam pendidikan Kristen dibiarkan tanpa batasan dan lebih mengutamakan rasio atau logika, hal
ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian dalam doktrin Kristen, misalnya pada konsep Trinitas, ajaran tentang gereja (eklesiologi), dan akhir zaman (eskatologi).
Oleh karena itu, perlu ada
usaha yang terstruktur dari gereja dan institusi pendidikan teologi untuk menciptakan
generasi teolog yang mampu melindungi siswa Kristen agar tidak terjebak dalam konsep liberalisme yang dapat menggeser dasar-dasar iman Kristen.
Upaya para tokoh teologi dapat dianggap sebagai 'jembatan' yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, serta menjembatani antara generasi tua dan muda, pemikir teologi di masa lampau dan pemikir teologi zaman sekarang. Melalui pemikiran mereka, para teolog di setiap era memberikan pencerahan tentang �bagaimana memahami Tuhan�, �untuk siapa Tuhan hadir�, dan �tujuan kehadiran Tuhan di dunia�. Para teolog selalu dituntut untuk dapat menjawab tantangan dan pertanyaan yang muncul, terutama yang berkaitan dengan ajaran gereja dan dogma-dogma gereja. �Bagaimana kita bisa bebas memahami realitas hidup tanpa melibatkan Allah? Ataukah Allah itu benar-benar ada?� �Jika Allah ada, mengapa kita, sebagai manusia, masih mengalami penderitaan, sakit, dan kesulitan lainnya?� Kebenaran Allah adalah kebenaran yang mutlak dan tak terbantahkan, karena Allah memiliki kebebasan yang sempurna, kebebasan yang kekal dan abadi untuk mengatur kehidupan manusia. Kebebasan yang dimiliki oleh Allah berbeda jauh dengan kebebasan manusia. Kebebasan manusia bersifat terbatas dan sementara. Oleh karena itu, kebebasan dalam berpikir dan berteori perlu dilakukan dengan kehati-hatian dan harus dianalisis dengan cermat.
Teologi Liberalisme perlu mendapat perhatian sebagai salah satu aliran teologi modern, mengutamakan pemikiran rasional dan logis dalam memahami konsep-konsep ketuhanan dan kemanusiaan (Beaumont, 2022;
Goddard et al., 2021; Saada, 2023). Aliran ini lebih menekankan
pada kemampuan akal manusia untuk memahami
realitas, tanpa terlalu mengacu pada ajaran atau wahyu
Ilahi yang diterima dalam tradisi agama. Dalam pandangan ini, keimanan kepada
Allah dan pemahaman tentang-Nya
lebih bersifat subyektif dan berdasarkan penalaran manusia, bukan pada wahyu atau kebenaran yang diterima melalui iman (Ahmed, 2024;
Pidduck et al., 2024; Singer, 2022).
Hal ini menjadi alasan mengapa teori Teologi
Liberal penting untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan agar gereja dan pemimpin gereja tidak terjebak
dalam kebebasan berpikir yang tidak terkendali, yang bisa menyebabkan gereja melepaskan diri dari prinsip-prinsip yang mengikatnya dalam menjalankan misi yang berfokus pada Misio Dei (Misi
Allah). Penelitian ini tidak hanya berfokus
pada pemahaman teologi, tetapi juga bertujuan untuk memperkuat Pendidikan Agama
Kristen (PAK), yang akan membentuk
generasi gereja yang siap menjalankan misi tersebut, baik melalui pendidikan
formal di sekolah maupun melalui kegiatan non-formal dalam kehidupan gereja.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka,
di mana penulis mengumpulkan data melalui
kajian terhadap berbagai buku dan jurnal yang relevan dengan topik yang diteliti (Hennink & Kaiser, 2022; Strijker et al., 2020). Fokus penelitian
ini adalah untuk memahami dan menganalisis Teologi Liberal dengan mengandalkan sumber-sumber tertulis yang ada. Metode penelitian kualitatif, sebagaimana dijelaskan oleh J.R.
Raco, adalah suatu pendekatan ilmiah yang melibatkan pengumpulan data serta menganalisisnya untuk memperoleh pemahaman dan pengertian yang lebih mendalam tentang topik, fenomena, atau isu tertentu.
Penelitian dengan menggunakan metode
kualitatif dilaksanakan secara terencana, terstruktur, dan sistematis, dengan tujuan yang jelas, baik itu tujuan praktis maupun teoritis. Metode ini digunakan untuk mengkaji berbagai literatur yang terkait dengan topik pembahasan,
baik dalam bentuk buku maupun artikel.
Penulis mendalami pemikiran-pemikiran
para teolog Teologi Liberalisme dengan menggali informasi dari berbagai sumber
seperti buku dan jurnal teologi. Penelitian ini mengembangkan pemahaman tentang teori-teori yang berkaitan dengan Teologi, Teologi Liberalisme, dan Pendidikan Agama Kristen. Berdasarkan analisis yang dilakukan, penulis kemudian mengkaji dan mengidentifikasi relevansi pemikiran tersebut terhadap Pendidikan
Agama Kristen.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Konsep Teologi
Teologi yang dibahas memuat batasan, yakni merujuk pada teologi Kristen, yang merupakan cabang pemikiran dan studi mengenai Tuhan dalam agama Kristen. Setiap agama
memiliki teologinya sendiri, dengan dogma, ajaran, dan pandangannya
masing-masing tentang Allah. Bagi orang Kristen, teologi pada dasarnya adalah upaya untuk
memahami dan berpikir tentang Allah serta mengekspresikan pemikiran tersebut dalam cara yang terstruktur dan
sistematis1. Ketika berbicara mengenai Allah, terdapat beragam pendapat yang muncul dari berbagai
kalangan, baik dari teolog, mahasiswa,
maupun masyarakat umum. Hal ini menjadi
sangat rumit dan tidak pernah ada habisnya,
terutama karena perspektif mengenai Allah sangat beragam. Apabila pemahaman tentang Allah bersifat pribadi, yang didasari oleh agama dan keyakinan
individu, maka hal tersebut akan
terkait erat dengan dogma tertentu dan menjadi sangat subyektif.
Kata "teologi" berasal dari bahasa Yunani, yaitu "theos" yang berarti Allah, dan "logos" yang berarti pernyataan atau penjelasan rasional. Dengan demikian, teologi dapat diartikan sebagai interpretasi rasional tentang iman keagamaan2. Teologi dianggap sebagai ilmu ketika digunakan untuk membahas atau memahami Allah, serta untuk mencari tahu apa yang Allah kehendaki, khususnya yang diungkapkan melalui Yesus Kristus. Seperti yang diungkapkan oleh Dr. J.L. Ch. Abineno, istilah "theologia" terbentuk dari kata "theos" (Allah) dan "logos" (kata atau uraian), yang menjadikan teologi sebagai ilmu pengetahuan atau uraian sistematis tentang Allah3. Menurut Dr. J.L. Abineno, teologi, sebagai ilmu, layak untuk dipelajari dan dimasukkan dalam kurikulum perguruan tinggi teologi. Abineno menyatakan bahwa tantangan utama bagi para ahli teologi adalah kenyataan bahwa Allah, yang diberitakan dalam Alkitab, tidak dapat diselidiki sepenuhnya hakekat-Nya. Allah adalah Tuhan yang hidup, yang bertindak dan berperan aktif, serta menyatakan diri-Nya melalui tindakan dan perbuatan-Nya. Tanpa tindakan tersebut, Allah tidak dapat dikenali4. Interpretasi atau penafsiran tentang Allah yang demikian inilah yang kemudian memunculkan berbagai pandangan dan pemikiran dari para pengamat teologi. Istilah "Theos" dan "Logos," yang merujuk pada Allah dan Firman (teologi), telah digunakan oleh orang Yunani jauh sebelum terbentuknya gereja Kristen untuk menyebut ilmu yang mempelajari hal-hal ilahi. Bahkan hingga saat ini, kata "teologi" dapat digunakan dengan makna yang lebih umum dan luas5. Oleh karena itu, teologi tidak hanya berkembang dalam konteks agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan, tetapi juga dalam agama-agama lainnya. Pada awalnya, di kalangan orang Kristen, teologi hanya mencakup pembahasan tentang ajaran mengenai Allah. Namun, seiring berjalannya waktu, makna teologi berkembang lebih luas untuk mencakup seluruh ajaran dan praktik kehidupan Kristen6. Teologi adalah studi tentang Allah dan segala sesuatu yang terkait dengan-Nya, termasuk gereja dan tugas-tugasnya. Mengingat Allah adalah Tuhan yang tak terbatas dan kekal, membahas-Nya menjadi sebuah kajian yang terus berkembang tanpa batas. Begitu juga dengan gereja, yang tidak hanya dipanggil untuk menjalani kehidupan bersekutu satu sama lain, bersaksi tentang firman Tuhan, dan melayani sesama, namun juga untuk memahami dengan lebih mendalam siapa Allah itu dan bagaimana seharusnya hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Karena itu, pembahasan teologi adalah sebuah proses yang terus berlangsung sepanjang waktu, melibatkan banyak pemikir dan ahli di berbagai era.
Berbicara tentang Allah tidak dapat dipisahkan
dari pembahasan tentang iman, karena
iman adalah keyakinan yang berkaitan erat dengan agama (de Andrade
Alvarenga et al., 2021; de Vries et al., 2022). Ketika kita berbicara tentang iman, agama, dan keyakinan, kita sebenarnya membahas hal-hal yang hadir dalam kehidupan
manusia di setiap zaman dan
tempat di dunia ini. Jika kita memahami teologi
sebagai sebuah ilmu, maka teologi
menjadi cerminan dari kehidupan manusia di dunia, yang mencakup cara manusia berkomunikasi
dengan sesama 7. Teologi Kristen memandang Allah bukan hanya sebagai Tuhan yang terlibat secara pribadi dalam kehidupan umat-Nya, tetapi juga sebagai Tuhan yang merentang secara universal, hadir di seluruh dunia. Dalam teologi Kristen,
Alkitab dianggap sebagai wahyu Tuhan yang menyaksikan siapa Allah itu dan bagaimana
Dia berinteraksi dengan
dunia. Oleh karena itu, Alkitab
dipandang bukan sebagai hasil karya manusia semata, tetapi sebagai Firman yang berasal langsung dari Allah 8. Sebagai umat
yang percaya, gereja bertugas untuk mewartakan kebenaran yang berasal dari Alkitab.
Yohanes Calvin menegaskan bahwa
Alkitab tidak perlu diuji atau
diperdebatkan karena dirinya sendiri sudah membuktikan kebenarannya melalui kesaksian dan pengaruhnya yang mendalam dalam kehidupan umat (CASE, n.d.). Kewibawaan Alkitab
mencerminkan kewibawaan
Allah sebagai Sang Pengilhami,
yang menjadikan Alkitab lebih dari sekadar
buku biasa. Alkitab memberikan petunjuk yang tepat dan benar mengenai makna hidup manusia,
dan bukan hanya untuk dipelajari, tetapi juga untuk dijadikan panduan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, ketika kita
berbicara tentang Allah, kita juga berbicara tentang manusia sebagai ciptaan-Nya yang diciptakan menurut gambar-Nya. Keunikan teologi Kristen terletak pada kemampuannya untuk diterima dan dipraktikkan di tengah berbagai keyakinan agama yang ada10. Kehadiran
teologi dalam konteks kemajemukan menunjukkan bahwa gereja tidak berpihak
hanya pada kepentingannya sendiri, tetapi gereja harus mempraktikkan
kehadiran Allah bagi semua orang di dunia ini. Kehadiran gereja di dunia ini adalah wujud
nyata dari iman gereja terhadap
kehendak Allah. Gereja yang
bertindak sesuai dengan teladan Kristus menjadi gambaran gereja yang sejati. Inilah tantangan teologi, karena akan sia-sia
jika teologi hanya dipahami sebagai ilmu semata;
jika itu terjadi, maka teologi
tidak lebih dari sekadar disiplin
ilmu biasa seperti ilmu lainnya.
Teologi Kristen melihat keberagaman sebagai hal yang positif dan berharga, mendukung pluralisme agama dan keyakinan sebagai bagian dari kehidupan manusia11 (Andreoni et al., 2016; Brink-Danan, 2015; Preston & Baimel, 2021). Teladan Yesus Kristus, yang melayani semua orang tanpa memandang latar belakang mereka, menjadi dasar sikap gereja dalam menerima dan menghormati keberagaman. Gereja, yang mengikuti pola hidup Yesus, seharusnya tidak hanya menerima perbedaan tetapi juga merayakannya, menjadikannya sebagai kesempatan untuk saling memperkaya dan hidup bersama dalam damai. Keberagaman agama, suku, bahasa, tradisi, budaya, dan adat istiadat seharusnya menjadi sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan bagi gereja.
Teologi, sebagai ilmu, berhubungan dengan upaya pembuktian-pembuktian. Teologi Kristen memandang Alkitab sebagai sumber utama untuk membuktikan keberadaan dan karya Allah. Para pemikir liberal, yang cenderung mengedepankan metode ilmiah, mengkritik penggunaan Alkitab sebagai bukti teologis karena dianggap tidak sesuai dengan metodologi ilmiah yang umum diterima12. Namun, bagi umat Kristen, Alkitab bukan hanya sebuah teks biasa, melainkan kitab yang mengandung wahyu Allah tentang penciptaan, pembebasan, dan keselamatan umat manusia (Hoffman et al., 2018; Thrash, 2021). Alkitab dianggap lebih dari sekadar buku sejarah atau filsafat, karena di dalamnya terkandung wahyu ilahi yang mengungkapkan keagungan Allah yang dinyatakan melalui Yesus Kristus dan Roh Kudus, yang menjadi dasar ajaran dan kehidupan iman Kristen.
Berteologi berarti berusaha memahami
Tuhan dan karya-Nya, yang memerlukan
kajian teologi yang terus berkembang untuk mengikuti zaman dan tantangan
baru. Teologi kontemporer,
yang muncul di abad modern,
memfokuskan pada pendekatan
ilmiah dalam mempelajari ajaran Kristen 13. Don Schweitzer mengemukakan
bahwa inti dari teologi Kristen adalah Kristologi yakni pemahaman tentang Yesus Kristus sebagai
pusat iman Kristen. Menurut Schweitzer, gereja sepanjang sejarah telah berusaha mengungkapkan dan menghidupi iman kepada Yesus
sebagai Juruselamat, dan ini menjadi dogma yang tidak bisa diganggu gugat dalam iman Kristen14.
Teologi Liberal, Liberalisme
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, "liberal" berarti bebas atau terbuka. Dalam bahasa Latin, kata "liberal" berasal dari "Liber," yang berarti bebas atau tidak diperbudak, yaitu suatu keadaan di mana seseorang tidak dimiliki oleh orang lain. Istilah liberal kemudian berkembang menjadi sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang berfokus pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang paling penting. Sejak awal kemunculannya, liberalisme sering dikaitkan dengan pernyataan kebebasan individu dalam berbagai aspek kehidupan, dengan tujuan untuk memberikan jaminan terhadap hak asasi manusia15. Apa yang dimaksudkan di sini adalah kebebasan individu, bukan kebebasan kelompok. Menurut pandangan ini, kebebasan individu dianggap sebagai sesuatu yang mengikat setiap pribadi dalam rangka melindungi hak asasi manusia.
Teologi liberal memiliki akar sejarah dalam perkembangan ide-ide kebebasan politik dan pembatasan kekuasaan pemerintah. Salah satu tonggak awal liberalisme terjadi pada tahun 1215 ketika Raja John menandatangani Magna Charta, yang memberikan hak-hak kepada bangsawan dan membatasi kekuasaannya sendiri. Magna Charta dianggap sebagai langkah awal menuju sistem yang lebih menghargai kebebasan individu16. Kemudian, pada tahun 1688, Revolusi Glorious menggulingkan Raja James II dan menggantinya dengan William II dan Mary II, sebuah perubahan yang semakin menegaskan pentingnya pembatasan kekuasaan monarki. Setelah revolusi ini, Bill of Rights disetujui, yang memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar warga negara dan memperkuat prinsip-prinsip kebebasan individu dalam masyarakat Inggris17.
Liberalisme menandai perkembangan teologi yang berakar dari rasionalisme dan empirisme yang dikembangkan oleh filsuf dan para ahli 18. Gerakan ini berusaha menafsirkan dan mereformasi ajaran Kristen dengan mempertimbangkan pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan etika modern. Teologi liberal menganggap ilmu pengetahuan sebagai alat yang mampu mengetahui segala sesuatu. Dalam pandangan ini, Alkitab dipandang sebagai sebuah buku yang penuh dengan dongeng dan kesalahan. Kaum liberal mengajarkan bahwa Alkitab tidak diilhamkan oleh Allah dan mengandung kesalahan-kesalahan. Mereka lebih mengutamakan pemikiran manusia dan pengetahuan, di mana segala hal yang tidak dapat dijelaskan oleh nalar dan ilmu pengetahuan harus ditolak. Sebagai akibatnya, liberalisme menolak doktrin-doktrin sejarah iman Kristen yang berhubungan dengan mujizat dan hal-hal supernatural, seperti Inkarnasi Kristus dan Kebangkitan Tubuh Kristus19. Ajaran teologi liberal yang meragukan inspirasi ilahi Alkitab bertentangan dengan ajaran Alkitab itu sendiri, seperti yang tertulis dalam 2 Timotius 3:16-17. Ayat ini menegaskan bahwa Alkitab adalah firman yang diilhamkan oleh Allah dan memiliki banyak manfaat, termasuk untuk pengajaran, peringatan terhadap kesalahan, pembentukan moral, dan pendidikan dalam kebenaran. Gereja mengakui bahwa Alkitab adalah petunjuk hidup yang diberikan oleh Allah, yang berfungsi seperti "lampu lalu lintas" untuk menunjukkan jalan yang benar dan menghindarkan gereja dari penyimpangan atau godaan duniawi. Dalam pengertian ini, Alkitab bukan hanya sebuah buku sejarah atau moral, tetapi merupakan pedoman hidup yang diatur oleh ketetapan Allah, yang harus diikuti oleh gereja agar tetap berada dalam kehendak-Nya.
Paham Liberalisme yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Locke, Montesquieu, dan Tocqueville menilai bahwa agama Kristen adalah kekuatan utama yang mendukung prinsip-prinsip dasar seperti kebebasan, kesetaraan, martabat manusia, dan penghargaan terhadap perbedaan. Mereka melihat agama Kristen sebagai dasar untuk
kebebasan individu20. Namun,
pandangan ini bisa dianggap sebagai
hasil dari spekulasi atau pemikiran yang muncul untuk merespon tantangan dan tuntutan zaman. Namun, pandangan ini bisa dianggap
sebagai hasil dari spekulasi atau pemikiran yang muncul untuk merespon
tantangan dan tuntutan
zaman. Walaupun alasan-alasan
tentang martabat, kebebasan, dan kesetaraan bisa digunakan sebagai dasar pemikiran
untuk mendukung kebebasan, kenyataannya, kebebasan ini menjadi
alat untuk membuka cakrawala berpikir dalam konteks masalah kemanusiaan dan agama (Kristen). Meskipun
ajaran liberalisme sering kali dianggap bertentangan dengan ajaran Kristen, penting bagi teolog untuk
mengembangkan argumen yang bisa diterima oleh semua pihak dalam
menyelesaikan masalah kemanusiaan dan keagamaan. Dalam hal ini, liberalisme
dan agama Kristen dapat berdialog
untuk mencari solusi atas isu-isu
yang ada.
Ajaran kaum liberal memiliki beberapa pandangan yang sangat berbeda dari ajaran tradisional Kristen, di antaranya21:
1. Ajaran mengenai
kelahiran Yesus dari perawan Maria dianggap sebagai kepercayaan yang salah dan lebih mirip dengan mitos.
2. Menolak kebangkitan
Yesus dari kematian sebagai sebuah peristiwa nyata.
3.
Yesus
dianggap sebagai seorang guru moral yang baik, namun para pengikut-Nya dianggap telah mengubah kisah hidup-Nya sebagaimana yang tercatat dalam Alkitab, tanpa adanya mujizat
atau peristiwa
supranatural.
4. Neraka dianggap
tidak ada. Manusia tidak dianggap
terjerat dalam dosa, dan mereka
bisa menyelamatkan diri mereka sendiri. Pengorbanan Yesus di kayu salib dianggap
tidak diperlukan, karena Allah yang penuh kasih tidak akan
mengirimkan siapa pun ke neraka,
dan manusia tidak dilahirkan dalam keadaan dosa.
5.
Banyak dari penulis Alkitab yang sebenarnya bukanlah orang-orang yang selama ini diyakini sebagai
penulis, termasuk penulis lima kitab pertama dalam Alkitab.
6.
Penekanan bahwa hal yang
paling penting bagi manusia adalah mengasihi sesama. Namun, yang dianggap sebagai tindakan kasih tidak didasarkan
pada ajaran Alkitab, melainkan pada keputusan para teolog liberal. Bagi kaum
liberal, Alkitab dipandang hanya sebagai buku
biasa yang ditulis oleh manusia, dan isinya harus dikritisi dan dianalisis dengan pendekatan rasional.
Ajaran
kaum liberalisme telah menyadarkan gereja yang sebelumnya merasa aman dan terlindungi dari tantangan luar, padahal tantangan terbesar justru datang dari dalam gereja itu sendiri. Kaum liberalisme mengajukan kritik terhadap ajaran gereja, yang mengharuskan gereja untuk membuktikan bahwa ajarannya tidak salah. Gereja akan menjadi
keliru jika ajarannya hanya berfokus pada aspek spiritual dan
emosional tanpa mendorong jemaat untuk berpikir kritis dan mengambil tindakan yang relevan terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi di masyarakat.
Beberapa pemikir utama
dalam teologi liberalisme:
1. Albrecht Benjamin Ritschl, yang lahir di
Berlin pada tahun 1822, adalah
seorang pemikir teologi yang sangat berpengaruh. Ayahnya, Georg Carl Benjamin Ritschl, adalah
seorang pendeta. Dalam pemikirannya, Ritschl menekankan bahwa manusia hanya
bisa menerima pembenaran
dan pendamaian melalui
Tuhan jika ia menjadi bagian dari komunitas orang-orang percaya
yang dibentuk oleh Kristus.
Dengan demikian, seseorang tidak dapat mencapai pembenaran tersebut jika ia merasa
terpisah atau asing dalam persekutuan iman. Menurut Ritschl, Kerajaan
Allah terlihat melalui tindakan dan karya orang-orang
Kristen. Pemikirannya ini merupakan kritik tajam terhadap teologi protestan yang terlalu menekankan aspek iman secara
berlebihan, tanpa memperhatikan pentingnya
komunitas dan tindakan bersama
dalam iman Kristen22.
2. John Locke
(1632-1704) adalah seorang filsuf Inggris yang terkenal sebagai tokoh utama dalam
aliran empirisme, dan ia juga dikenal karena pembelaannya terhadap toleransi beragama23. Pemikirannya menekankan bahwa manusia memiliki
kemampuan dasar yang sama, terutama akal budi, yang menunjukkan bahwa manusia tidak tergantung
pada satu sama lain secara ontologis, tetapi bergantung pada penciptanya dan memiliki kedudukan yang setara24. Locke mengajukan
gagasan bahwa manusia diciptakan sama dan memiliki hak yang setara, yang kemudian menjadi dasar teori persamaan
dalam liberalisme. Mengutamakan akal budi, Locke percaya bahwa segala sesuatu
harus didasarkan pada logika dan rasio yang dapat diterima, bukan pada hal-hal yang abstrak atau tidak
masuk akal, seperti yang sering diajarkan oleh gereja. Locke juga
berpendapat bahwa individu yang rasional harus hidup sesuai
dengan prinsip-prinsip rasional, dan masyarakat yang rasional harus diorganisir dengan cara yang efisien dan berbasis pada prinsip-prinsip seperti industri, perusahaan, energi, disiplin diri, dan pengakuan terhadap kesetaraan antar sesama25. John Locke juga mengajarkan bahwa setiap individu
dilahirkan dengan hak-hak dasar yang tidak dapat diambil
oleh siapapun. Hak-hak ini mencakup hak
untuk memiliki properti, kebebasan untuk mengemukakan pendapat, beragama, dan berbicara26.
Pandangan Locke ini menunjukkan bahwa manusia tidak seharusnya
dibatasi oleh ajaran agama tertentu. Keinginan Locke dalam pandangannya ini adalah agar setiap orang memiliki kebebasan penuh dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kebebasan untuk berpikir, menilai, dan memilih agama serta keyakinan mereka sendiri.
3. J.J. Rousseau memiliki pemikiran yang sangat berpengaruh, baik terhadap Revolusi Perancis, teori-teori Liberal dan Sosialis, maupun berkembangnya nasionalisme27. Baginya, manusia dianugerahi kemampuan akal budi yang utuh, yang memungkinkan mereka untuk memahami dan mengendalikan dunia alamiah serta sosial, berpikir secara kritis, dan melakukan refleksi diri. Akal budi ini menurut Rousseau adalah kemampuan yang sangat berharga, yang tidak mengarah pada penindasan atau pembatasan, melainkan menjadi ukuran untuk mempertanyakan diri sendiri dan menghindari pemikiran yang terlalu rasional atau mekanistik28. Selain itu, Rousseau memandang agama sebagai dasar kehidupan sosial yang penting. Agama, baginya, harus menjadi pilar moralitas, bebas dari unsur-unsur mistis yang tidak dapat dipahami. Ia juga berpendapat bahwa agama Kristen adalah agama yang benar, meskipun ia melihatnya memiliki dimensi yang kontemplatif, mistis, dogmatis, dan asketis. Rousseau berargumen bahwa agama Kristen seharusnya diterjemahkan dalam bentuk yang lebih intelektual dan masuk akal secara moral, yang membuat pandangan Liberalismenya cenderung konservatif29. ousseau berpendapat bahwa agama Kristen, dalam bentuknya yang dogmatis, lebih banyak berfokus pada aturan-aturan yang kaku dan tidak rasional, yang menurutnya tidak membantu dalam menciptakan kebebasan individu atau perubahan sosial yang berarti. Dalam pandangannya, suatu ajaran agama atau sistem moral yang rasional adalah yang dapat mengubah cara berpikir dan bertindak masyarakat, serta mempengaruhi perilaku para pemimpin untuk lebih memperhatikan kebaikan umum dan moralitas yang lebih logis.
4. Nicholas F. Gier, seorang akademisi dari Universitas Idaho, memiliki pandangan tentang Liberalisme Amerika Serikat yang menekankan beberapa hal. Pertama, ia percaya pada Tuhan, tetapi bukan Tuhan dalam konteks kepercayaan Kristen Ortodoks. Kedua, ia memisahkan antara doktrin Kristen dan Etika Kristen, yang berarti orang atheis pun dapat memiliki moralitas. Ketiga, selain percaya pada Tuhan, ia juga percaya akan keabadian jiwa. Keempat, menurutnya, Tuhan dan agama Kristen tidak seharusnya tercantum dalam undang-undang. Kelima, ia percaya sepenuhnya pada kebebasan dan toleransi beragama30. Pandangan-pandangannya ini menunjukkan bahwa teologi liberalisme tidak lagi menempatkan Tuhan sebagai pengatur segala hal, dan tidak menganggap Tuhan sebagai pencipta serta pemelihara hidup manusia. Bagi Gier, masalah agama bukanlah yang utama, melainkan kebutuhan dan kebebasan individu yang harus menjadi prioritas.
Membahas Teologi Liberalisme
sangatlah menarik. Melalui membaca berbagai buku dan jurnal sebagai referensi, wawasan penulis mengenai teologi, khususnya teologi Liberalisme, semakin berkembang. Penulis menyadari bahwa diskusi tentang teologi itu sangat luas dan melibatkan banyak peminat, tidak hanya mereka yang berlatar belakang teologi, tetapi juga orang-orang dari berbagai disiplin
ilmu lainnya, seperti hukum, ekonomi, kedokteran, dan masyarakat umum. Negara-negara maju, terutama di Eropa, telah melahirkan
banyak pemikir hebat dan cemerlang di berbagai bidang, terutama dalam teologi. Saya terus bertanya-tanya tentang asal-usul lahirnya Teologi Liberalisme ini. �Mengapa pemikir teologi liberal lebih menekankan pentingnya akal budi dan pemikiran
rasional?� �Mengapa mereka menentang tradisi gereja terkait ajaran Alkitab?� Dan �bagaimana respons gereja terhadap hal ini?�
Dari aktivitas membaca dan menganalisis teologi liberal, dapat dipahami bahwa teologi ini muncul sebagai respons terhadap tuntutan kesetaraan dan kritik terhadap gereja yang lebih menekankan dogma dan iman, sementara mengabaikan hak hidup, keadilan, dan persamaan hak. Menurut pandangan teologi liberal, ajaran gereja dianggap menyimpang dan tidak rasional, serta tidak sesuai dengan logika. Oleh karena itu, ajaran gereja yang lebih menekankan aspek spiritualitas dan dogma dianggap tidak mencerminkan kebutuhan nyata umat. Dalam hal ini, keadilan harus menjadi dasar ajaran gereja, yang juga harus dijadikan pedoman oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya. Gereja harus memberikan perhatian dan solusi terhadap kebutuhan dasar jemaatnya dan turut bertanggung jawab atas permasalahan yang dihadapi oleh mereka. Bagi penulis, itulah sesungguhnya esensi teologi yang benar. Kita hanya dapat memahami teologi jika kita mengerti maksud Allah yang memberi kehidupan kepada kita melalui Alkitab. Pemahaman ini sangat penting bagi Pendidikan Agama Kristen, terutama dalam membentuk mental dan spiritual anak-anak sebagai generasi penerus. Pendidikan Agama Kristen harus menjadi salah satu sarana utama dalam membekali generasi gereja untuk menghadapi berbagai tantangan, godaan, dan situasi yang dapat menggoyahkan iman mereka, yang seringkali didasarkan pada dogma gereja. Guru Pendidikan Agama Kristen perlu terus dilengkapi dengan ilmu teologi, terutama teologi kontemporer yang terus berkembang, termasuk teologi liberal, yang bisa diperoleh melalui buku-buku teologi. Ini menjadi perhatian penting bagi para pengamat Pendidikan Agama Kristen untuk memastikan bahwa pengajaran gereja disampaikan dengan baik dan tidak terlepas dari bingkai dogma gereja, yang tetap menjadi panduan dalam pengajaran.
KESIMPULAN
Para teolog lahir di zaman yang berbeda-beda,
di mana setiap perubahan
zaman, perkembangan ilmu pengetahuan, dan pergeseran sosial memengaruhi sejarah teologi. Perkembangan ini tidak bisa diabaikan karena memengaruhi arah pemikiran teologi. Sejarah mencatat karya-karya pemikiran jenius dari para teolog yang mampu menghubungkan kondisi zamannya dengan kebutuhan manusia, yang menuntut keadilan, pemerataan hak, dan kelangsungan hidup. Kehadiran para pemikir teologi menekankan pentingnya berpikir tentang Allah yang hadir, yang hidup, dan yang bertindak. Tuhan memberikan akal budi kepada manusia,
bukan untuk sekadar menyusun teori-teori teologi, tetapi untuk mengajak manusia berpartisipasi dalam misi Allah
di dunia. Akal budi adalah anugerah dari Tuhan, diberikan kepada manusia sebagai ciptaan-Nya yang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya, menjadikan manusia sebagai rekan kerja-Nya. Akal budi dan rasionalitas ada dalam diri manusia agar manusia tidak hanya berpikir
dengan logika, tetapi juga dengan iman, yang dapat diterima sebagai bagian dari keyakinan
agama.
Pembuktian- pembuktian
dalam teks Alkitab adalah Final, manusia diberi akal budi
oleh Tuhan untuk mengkaji, memahami,
menginterpretasi dalam bentuk
hermeneutik Alkitab. Haruslah berani mengktirik pemikiran para tokoh teologi reformasi dengan formulasi ajarannya sebagai sesuatu yang sesat. Teori teologi leiberalisme hanya dapat diterima
sebagai pengetahuan yang lahir karena di zaman itu (terutama abad pertengahan)
terjadi gejolak ditengah masyarakat yang ingin hidup bebas
dari tekanan dan tindakan kaum bangsawan.
dari� teori� teologi� Liberalisme� dipandang� sebagai� kekayaan pengetahuan dari para pemikir Kristen diwaktu itu. Kegunaannya bagi Pendidikan Agama
Kristen antara lain untuk menstimulus
anak didik, generasi gereja didalam menghadapi berbagai tantangan zaman, perkembangan ilmu pengethuan termasuk lajunya perkembangkan teknologi informasi dan komunikasi yang sekarang ini tidak dapat dilepaskan
dari kalangan anak muda gereja.
Hal ini dimaksudkan supaya kebenaran Alkitab tidak diselewengkan,
diabaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, S. S. (2024). Exploring post-truth in Julian
Barnes�s The Sense of an Ending. Social Sciences & Humanities Open, 10,
101143.
Andreoni, J., Payne, A. A., Smith, J.,
& Karp, D. (2016). Diversity and donations: The effect of religious and
ethnic diversity on charitable giving. Journal of Economic Behavior &
Organization, 128, 47�58.
Beaumont, J. (2022). The enlightened city. Political
Geography, 97, 102616.
Brink-Danan, M. (2015). Value and meaning:
Paradoxes of religious diversity talk as globalized expertise. Language
& Communication, 44, 44�58.
Case, B. Y. C. S. (n.d.). The extraction
debate of 1911 by Case, Dewey, and Cryer.
de Andrade Alvarenga, W., Machado, J. R.,
Leite, A. C. A. B., Caldeira, S., Vieira, M., da Rocha, S. S., &
Nascimento, L. C. (2021). Spiritual needs of Brazilian children and adolescents
with chronic illnesses: A thematic analysis. Journal of Pediatric Nursing,
60, e39�e45.
de Vries, E. E., van der Pol, L. D.,
Toshkov, D. D., Groeneveld, M. G., & Mesman, J. (2022). Fathers, faith, and
family gender messages: Are religiosity and gender talk related to children�s
gender attitudes and preferences? Early Childhood Research Quarterly, 59,
21�31.
Eom, K., Tok, T. Q. H., Saad, C. S., &
Kim, H. S. (2021). Religion, environmental guilt, and pro-environmental
support: The opposing pathways of stewardship belief and belief in a
controlling god. Journal of Environmental Psychology, 78, 101717.
Fidelis, A., Moreira, A. C., & Vit�ria,
A. (2024). Multiple perspectives of spiritual intelligence: A systematic
literature review. Social Sciences & Humanities Open, 9,
100879.
Goddard, E., Grant, R., Tatman, L.,
Baltzly, D., de la Barra, B. L., & Black, R. (2021). Women in Philosophy,
Engineering & Theology: Gendered disciplines and projects of critical
re-imagination. Women�s Studies International Forum, 86, 102479.
Hennink, M., & Kaiser, B. N. (2022).
Sample sizes for saturation in qualitative research: A systematic review of
empirical tests. Social Science & Medicine, 292, 114523.
Hoffman, M. A., Cointet, J.-P., Brandt, P.,
Key, N., & Bearman, P. (2018). The (Protestant) Bible, the (printed)
sermon, and the word (s): The semantic structure of the Conformist and
Dissenting Bible, 1660�1780. Poetics, 68, 89�103.
Pidduck, R. J., Townsend, D. M., &
Busenitz, L. W. (2024). Non-probabilistic reasoning in navigating
entrepreneurial uncertainty: A psychology of religious faith lens. Journal
of Business Venturing, 39(4), 106392.
Preston, J. L., & Baimel, A. (2021).
Towards a psychology of religion and the environment. Current Opinion in
Psychology, 40, 145�149.
Saada, N. (2023). Educating for global
citizenship in religious education: Islamic perspective. International
Journal of Educational Development, 103, 102894.
Singer, J. A. (2022). �O�er the hilltops is
the word of God��Abraham Joshua Heschel�s prototypical self-defining memory and
its relationship to his vision of the good life. Journal of Research in
Personality, 101, 104287.
Strijker, D., Bosworth, G., & Bouter,
G. (2020). Research methods in rural studies: Qualitative, quantitative and
mixed methods. Journal of Rural Studies, 78, 262�270.
Thrash, T. M. (2021). The creation and
curation of all things worthy: Inspiration as vital force in persons and
cultures. In Advances in motivation science (Vol. 8, pp. 181�244).
Elsevier.
Vlachov�, K., & Hamplov�, D. (2023).
The importance of christianity, customs, and traditions in the national
identities of European countries. Social Science Research, 112,
102801.