Pembelajaran Bahasa Jerman pada Mahasiswa Disabilitas Netra melalui Audiobook Cerita Jerman

 

Adam Firdyansyah1, Novia Anjani Dewi2, Irma Permatawati3

Universitas Pendidikan Indonesia

Email: [email protected] [email protected], [email protected]

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Kata Kunci: mahasiswa disabilitas netra, bahasa Jerman, audiobook, inklusivitas

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

Tantangan terbesar yang dihadapi mahasiswa disabilitas netra dalam mempelajari bahasa Jerman saat ini adalah kurangnya media pembelajaran yang mendukung. Untuk memberikan solusi atas masalah ini, diperlukan adanya eksplorasi media yang efektif sehingga audiobook dipilih sebagai media pembelajaran inklusif yang sesuai dengan akses kebutuhannya. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan studi kasus kualitatif terhadap mahasiswa disabilitas netra di Program Studi Pendidikan Bahasa Jerman, Universitas Pendidikan Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan berbagai hambatan yang mahasiswa disabilitas netra alami, seperti keterbatasan sumber belajar yang aksesibel, kesulitan dalam menghadapi pembelajaran dan ujian berbasis visual. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa audiobook ini tidak hanya meningkatkan perbendaharaan kosakata dan pelafalan bahasa Jerman, tetapi juga menumbuhkan ketertarikan terhadap sastra Jerman. Hasil penelitian ini ditujukan untuk memberikan kontribusi dalam advokasi peningkatan akses dan inklusivitas di pendidikan tinggi, mendukung kemandirian dan keterlibatan mahasiswa disabilitas netra dalam mempelajari bahasa asing. Manfaat dari penelitian ini juga terbukti signifikan dalam mendukung pemahaman bahasa Jerman mahasiswa disabilitas netra tersebut, yang terdiri dari tiga poin utama yaitu memudahkan aksesibilitas, meningkatkan kemampuan bahasa, dan menambah literasi sastra.

 

ABSTRACT

The biggest challenge that visually impaired students face in learning German today is the lack of supportive learning media. To provide a solution to this problem, effective media exploration is needed so that audiobooks are chosen as an inclusive learning media that suits their access needs. The research method used is a qualitative case study approach to students with visual disabilities in the German Language Education Study Program, Universitas Pendidikan Indonesia. The results showed various obstacles that students with visual disabilities experience, such as limited accessible learning resources, difficulties in dealing with visual-based learning and examinations. The findings in this study show that this audiobook not only improves German vocabulary and pronunciation, but also fosters interest in German literature. The results of this study are intended to contribute to advocacy for increased access and inclusiveness in higher education, supporting the independence and engagement of students with visual impairments in learning foreign languages. The benefits of this research also prove to be significant in supporting the understanding of the German language of students with visual disabilities, which consists of three main points, namely facilitating accessibility, improving language skills, and increasing literary literacy

blind students, German, audiobooks, inclusivity.

 

 

PENDAHULUAN

Bahasa adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi setiap manusia sehingga sudah menjadi bagian untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Kebutuhan bahasa antara lain adalah untuk menyerap informasi dan menyampaikan informasi (Putrayasa, 2017). Pengguna bahasa tidak terbatas pada satu golongan saja melainkan semua manusia dapat menggunakan dan mempelajari bahasa dalam hidupnya termasuk orang-orang penyandang disabilitas. Kebutuhan-kebutuhan serta media pembelajaran juga harus menyesuaikan dengan para penyandang disabilitas sesuai dengan kebutuhan masing-masing (Rahmah, 2019).

Pasal 9 CRPD (Convention On The Rights of Persons With Disabilities) menyebutkan bahwa agar disabilitas dapat hidup mandiri dan berpartisipasi penuh dalam semua aspek kehidupan, maka negara harus memenuhi akses serta kebutuhan disabilitas dengan membuat kebijakan-kebijakan yang sesuai (Mikropoulos & Iatraki, 2023). Termasuk dalam penyediaan akses informasi dan teknologi bagi disabilitas. Pasal 9 CRPD kemudian diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dalam Undang-undang No. 19 tahun 2011 dengan isi yang sama yaitu menegaskan kewajiban negara yaitu penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi dari setiap negara, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik perempuan maupun anak, menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olah raga, seni dan budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi. Hak-hak penyandang disabilitas juga termasuk dalam undang-undang ini yaitu bebas dari tindakan tidak manusiawi, diskriminasi, perendahan martabat, kekerasan. Termasuk juga di dalamnya jaminan perlindungan hak sosial, perlindungan, serta layanan akses dalam rangka kemandirian dan keadaan darurat (Aqilla, 2022).

Pendidikan tinggi juga harus menjadi ruang yang inklusif guna ikut serta dalam menjamin hak penyandang disabilitas untuk mendapat pendidikan khususnya pendidikan bahasa asing seperti yang diamanatkan dalam UU No. 8 tahun 2016 tentang keterjaminan hak pendidikan bagi kelompok disabilitas. Oleh karena itu diperlukan media pembelajaran yang memadai sebagai salah satu bentuk menunjang pembelajaran mahasiswa disabilitas netra dan pemenuhan akses informasi. Pendekatan pembelajaran bagi disabilitas netra menggunakan lisan/verbal, pengembangan keterampilan mendengarkan adalah mutlak untuk menggantikan informasi yang hilang akibat hilangnya fungsi penglihatan, dengan pengembangan keterampilan yang dapat dilakukan dengan bertahap akan membuat disabilitas netra sadar akan pola perilakunya (Aqilla, 2022).

Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) adalah salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Bandung yang menerima mahasiswa disabilitas untuk menjalani pendidikan tinggi. Tidak ada data spesifik yang menunjukan jumlah penerimaan mahasiswa disabilitas. Namun,setiap tahun UPI menerima sejumlah mahasiswa dari berbagai ragam disabilitas termasuk disabilitas netra. UPI mengklaim sebagai universitas ramah disabilitas seperti yang tertulis dalam berita yang tersedia di BandungBergerak.id dengan judul Menengok Kampus Ramah Disabilitas UPI dan UNS� dan juga dalam web Linguistik Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dengan judul Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND): UPI Kampus Ramah Disabilitas�. Berdasarkan laman web dit-mawa.upi.edu, UPI merupakan salah satu kampus yang ikut serta dalam pembukaan beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi Disabilitas pada tahun 2022. Berdasarkan berita di beberapa media tersebut menunjukan UPI sudah berkomitmen untuk menjadi universitas yang ramah disabilitas. Namun, apakah benar komitmen tersebut sudah menjadi dampak baik yang dirasakan oleh para mahasiswa disabilitas di UPI khususnya mahasiswa disabilitas netra?

Menurut Danang Arif Darmawan, S.Sos., M.Si., dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) FISIPOL UGM dilansir dari https://ugm.ac.id/id/berita/10799-penyandang-disabilitas-masih-mengalami-diskriminasi, negara masih kurang memperhatikan dan memberikan keterjaminan bagi penyandang disabilitas. Demikian juga dalam dunia pendidikan, seharusnya tidak hanya sebatas memberikan ruang bagi disabilitas untuk duduk di bangku sekolah/kuliah melainkan juga membuka pintu-pintu akses lainnya sebagai jaminan keberlanjutan dalam menjalani proses pendidikan. Pernyataan ini sejalan dengan temuan di UPI melalui proses diskusi bersama penyandang disabilitas netra dan Tuli yang dilakukan secara terpisah. Mereka memiliki hambatan dan keluhan yang sama yaitu proses pembelajaran dan fasilitas di UPI belum sepenuhnya aksesibel untuk diikuti. Sebagai contoh, teman-teman kelompok disabilitas Tuli/rungu, menyatakan terhambat dalam menerima materi dan penjelasan dari dosen sebab tidak ada juru bahasa isyarat di dalam kelas. Penyandang disabilitas Tuli hanya mengandalkan materi yang dosen kirimkan tapi tidak mengerti isi materi tersebut. Begitu pula dengan penyandang disabilitas netra yang memiliki hambatan penglihatan. Di dalam kelas, dosen seringkali menggunakan media visual dalam proses pembelajaran dan tidak disertakan deskripsi yang jelas sehingga penyandang disabilitas netra tidak dapat menerima informasi secara utuh. Biasanya, penyandang disabilitas netra juga menerima materi berupa fail PDF dari dosen dan mengulas kembali materi tersebut secara mandiri dengan bantuan fitur pembaca layar (screen reader) di gawai masing-masing. Sebagai penutup, para mahasiswa disabilitas netra dan Tuli menyatakan keluhan yang sama yaitu sering merasa tidak enak pada teman-teman sekelasnya karena sering meminta bantuan di dalam kelas untuk mendapatkan informasi yang belum dipahami. Pada temuan lain yang lebih spesifik di ruang kelas prodi Pendidikan Bahasa Jerman, terdapat mahasiswa disabilitas netra yang kesulitan ketika akan mengikuti ujian tengah semester (UTS) karena soal yang tertera di formulir Google berupa gambar dan tidak terbaca oleh fitur screen reader sehingga mahasiswa tersebut membutuhkan pendamping dari kelas lain untuk membacakan soal UTS-nya. Temuan tersebut menunjukan masih terdapat pelayanan dan pembelajaran yang tidak aksesibel bagi mahasiswa penyandang disabilitas khususnya disabilitas netra dalam menjalani perkuliahan. Penerimaan informasi yang tidak utuh serta masih ada sifat ketergantungan pada orang lain belum memenuhi amanat Pasal 9 CRPD dan UU No. 19 tahun 2011 yang menuntut kesetaraan akses informasi agar disabilitas dapat mandiri.

Dalam artikel ini penulis mencoba mendeskripsikan tantangan mahasiswa disabilitas netra pembelajar bahasa Jerman selama menjalani perkuliahan dan membantu dalam penyediaan media belajar yang sesuai dengan kebutuhan akses mahasiswa disabilitas netra pembelajar bahasa Jerman di prodi Pendidikan Bahasa Jerman, Universitas Pendidikan Indonesia dengan menggunakan media audio. Selain memberikan referensi media belajar baru bagi mahasiswa, tulisan ini diharapkan dapat menjadi bagian dari advokasi pemenuhan akses dan kebutuhan dasar penyandang disabilitas netra. Penulis juga berharap tulisan ini berguna sebagai acuan awal untuk memahami hambatan dan kebutuhan disabilitas netra serta menciptakan ruang belajar yang setara dan inklusif agar mahasiswa disabilitas dapat belajar mandiri seperti mahasiswa lainnya. Penelitian ini tidak menggunakan indikator benar/salah, melainkan menuliskan pembacaan kondisi objektif, hasil wawancara, dan pengalaman dalam menggunakan media yang disediakan dalam lingkungan UPI khususnya prodi Pendidikan Bahasa Jerman.

 

METODE PENELITIAN

Penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif dengan metode studi kasus. Penelitian ini memusatkan diri secara intensif pada satu objek tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu kasus. Metode studi kasus memungkinkan penulis untuk tetap holistik dan signifikan (Yoga, 2018). Penelitian ini juga mencakup metode wawancara dan observasi kepada individu penyandang disabilitas netra untuk mendapatkan data empirik terkait pengalaman sebagai mahasiswa disabilitas, cara belajar, dan teori dasar seputar disabilitas. penulis melakukan wawancara pada dua orang mahasiswa penyandang disabilitas netra yang berkuliah di Universitas Pendidikan Indonesia, yaitu Ramdhan Alamsyah dari program studi Pendidikan Khusus (S2) dan Ira Christy Pitaloka dari program studi Pendidikan Bahasa Jerman sebagai referensi tambahan dan data pengalaman selama berkuliah di Universitas Pendidikan Indonesia.

Kedua mahasiswa tersebut dipilih sebagai informan utama karena keduanya merupakan mahasiswa penyandang disabilitas netra yang sedang berkuliah UPI. Keduanya memiliki latar belakang yang sesuai dengan topik penelitian ini. Ramdhan Alamsyah memiliki kepakaran dalam bidang Pendidikan Khusus yang bisa dimintai keterangan seputar isu disabilitas dan teori-teori terkait, Ramdhan juga mendalami advokasi kelompok disabilitas di UPI untuk mendapatkan akses yang lebih setara, sedangkan Ira Christy Pitaloka adalah mahasiswa disabilitas netra pembelajar bahasa Jerman di prodi Pendidikan Bahasa Jerman UPI. Ira menjadi objekstudi kasus dalam penelitian ini yang dilibatkan untuk mencoba media audiobook. Ira juga dapat menceritakan pengalaman selama berkuliah di prodi Pendidikan Bahasa Jerman UPI. Metode yang dilakukan oleh penulis adalah wawancara mendalam (in depth interview). Metode wawancara yang digunakan adalah metode yang berorientasi pada penemuan terbuka untuk mendapatkan informasi yang rinci tentang suatu topik dari pemangku kepentingan. Wawancara mendalam adalah metode penelitian kualitatif; tujuannya adalah untuk mengeksplorasi secara mendalam sudut pandang, pengalaman, perasaan, dan perspektif responden.

Metode ini dipilih agar informan lebih leluasa untuk mengekspresikan pandangan, perasaan, pengalaman, dan kondisi riil yang terjadi. Penulis menanyakan 5 pertanyaan kepada Ira Christy Pitaloka yaitu: �Cara belajar Ira seperti apa?�, �Cara dosen mengajar di kelas seperti apa?�, �Ira merasa ada hambatan atau tidak di kelas?�, �Ira lebih suka pakai sumber belajar atau teks braille?�, �Ira lebih banyak belajar dari audio atau teks braille catatan Ira sendiri?�. Selanjutnya, penulis juga mengajukan 3 pertanyaan kepada Ramdhan Alamsyah yaitu: �Boleh dijelaskan tentang diri kamu dan cara belajar selama di UPI?�, �Bagaimana menurutmu inklusivitas media pembelajaran di UPI?�, �Bagaimana kira-kira gambaran metode belajar serta fasilitas yang diberikan oleh UPI untuk kelompok disabilitas khususnya disabilitas netra?�.

Setelah melakukan wawancara, penulis memberikan audiobook daring kepada Ira Christy Pitaloka sebagai media belajar bahasa Jerman. Audiobook ini berisi kumpulan cerita anak-anak dalam bahasa Jerman karya Pieter Bichsel. Audiobook dibeli dari niaga-el (e-commerce) Amazon dan kemudian diunduh sehingga dapat dibagikan dengan Ira. Cerita yang dipilih hanya satu yaitu Die Erde ist rund karya Pieter Bichsel. Cerita ini merupakan buku cerita anak-anak Jerman, maka dari itu cerita ini dipilih karena memiliki alur cerita yang ringan dan bahasa yang mudah dipahami dan menyesuaikan dengan level belajar Ira di kampus. Tidak hanya kosakata dan cerita yang sesuai, cerita ini dipilih untuk memperkenalkan sastra Jerman bagi pembelajar tingkat pemula karena di dalamnya terdapat gaya bahasa yang beragam sehingga diharapkan dapat memantik Ira untuk mengetahui lebih jauh terkait kesusastraan Jerman. Selanjutnya, Ira akan diminta untuk menceritakan kembali serta pemaknaan cerita menurut interpretasi Ira. penulis juga melakukan penggalian informasi kembali terhadap Ira tentang apa yang dia pahami dan bagaimana pengalaman menggunakan audiobook sebagai salah satu sarana belajar bahasa Jerman.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Disabilitas netra adalah individu dengan ketidakmampuan, gangguan, atau hambatan penglihatan. Ramdhan, mahasiswa S2 jurusan Pendidikan Khusus di Universitas Indonesia menyatakan disabilitas netra tergolong menjadi dua kategori besar yaitu low vision atau penglihatan rendah dan totally blind atau buta total. Seperti penyandang disabilitas lain, disabilitas netra membutuhkan akses dalam kesehariannya termasuk dalam menimba ilmu di pendidikan tinggi. Disabilitas netra kerap mendapat diskriminasi oleh masyarakat lain karena dianggap tidak memiliki kemampuan seperti orang-orang nondisabilitas. Stigma seperti ini yang membuat orang-orang dengan disabilitas netra tidak memiliki cukup percaya diri untuk berkembang dan cenderung menutup diri dari partisipasi aktif di masyarakat. Tidak hanya itu, stigma buruk yang melekat dalam pikiran masyarakat konservatif juga menyebabkan disabilitas netra diragukan untuk bergaul dengan masyarakat umum. Kebanyakan masyarakat masih terbelenggu dalam konsep ableisme dan inspiration porn.

Ableisme adalah sikap orang-orang nondisabilitas (body-abled) yang menganggap orang-orang dengan disabilitas (disabled) lebih rendah termasuk sikap tidak percaya dengan kemampuan kelompok disabilitas untuk melakukan sesuatu dan tidak memberikan akses yang memadai pada kelompok disabilitas. Sikap ableisme sering berbarengan dengan inspiration porn yaitu sikap menjadikan disabilitas sebagai objek untuk dikasihani, memberikan motivasi, dan salah satu model inspirasi (Stella Young). Masyarakat awam sering melontarkan kalimatinspirasi� dan kata-kata �kerenkepada disabilitas untuk memperlihatkan kegiatan yang dilakukan disabilitas adalah sebuah perjuangan. Padahal sebenarnya inspiration porn berdampak sebaliknya, alih-alih membuat lingkungan yang lebih inklusif, sikap ini justru sebagai ajangpertunjukan disabilitas� untuk dikasihani dan membuat orang-orang nondisabilitasbersyukur�, merasa lebih baik dan sempurna (Erissa & Widinarsih, 2022).

Dua sikap di atas yang menjadi sebab banyak masyarakat sulit sadar akan kebutuhan dan akses disabilitas netra khususnya di lingkungan perguruan tinggi sehingga menimbulkan hambatan bagi penyandang disabilitas netra itu sendiri. Pemahaman akses disabilitas khususnya pada disabilitas netra di perguruan tinggi hanya sekadar membantu melakukan mobilisasi di area kampus, namun banyak yang tidak memperhatikan akses belajar di dalam kelas. Tentunya hal ini belum cukup memenuhi akses disabilitas netra secara keseluruhan karena hanya mementingkan satu aspek saja dan hal ini tidak dapat dibenarkan dalam konteks pemenuhan akses bagi disabilitas. Jika disabilitas hanya diberikan satu akses tanpa memberikan akses yang lain, hal tersebut bisa menimbulkan kemungkinan disabilitas tidak mampu menjadi individu yang mandiri dan bebas, bahkan bisa menambah hambatan bagi disabilitas tersebut.

 

Audiobook

Teknologi audio adalah teknologi yang sudah ada sejak lama. Penemuan audio dimulai sejak penemuan fonograf oleh Thomas Edison di tahun 1877 (Rubery, 2011). Dalam perkembangannya, teknologi audio banyak digemari oleh banyak lapisan masyarakat. Hal ini ditandai dengan banyaknya pendengar tahun 1950-an hingga 1970-an. Pada zaman itu, banyak siaran-siaran di berbagai negara yang menggunakan teknologi audio/radio yang menyajikan berbagai acara seperti hiburan, berita, pendidikan, dan cerita-cerita seperti telenovela. Pada masa keemasannya, media audio/radio ini tidak hanya dianggap sebagai alat siaran melainkan juga pembentuk budaya dan menjadi bagian dari masyarakat. (Sri Wahyuni, 2024). Namun, seiring perkembangan zaman yang semakin modern, yang ditandai dengan munculnya media baru yaitu visual audio seperti televisi, internet, dan sejenisnya, membuat radio tidak lagi menjadi tren karena banyak masyarakat yang beralih pada teknologi baru ini. Masyarakat tidak hanya bisa menikmati media dalam bentuk audio namun juga disajikan dalam bentuk gambar bergerak yang lebih menarik.

Akan tetapi, media audiovisual memiliki kekurangan yaitu tidak bisa dinikmati oleh kelompok penyandang disabilitas netra. Media audio visual adalah bentuk media yang menggabungkan elemen audio (suara) dan visual (gambar, video, grafis) untuk menyampaikan pesan kepada audiens. Berbeda dengan media audio, media audio visual menekankan visualisasi yang mengandalkan indra penglihatan sebagai media komunikasi dan penyampai pesan. Sedangkan media audio hanya menggunakan suara sebagai alat berkomunikasi dan penyampai pesan sehingga fokusnya adalah membuat narasi audio sejelas mungkin dan pesan dapat sampai dengan baik ke telinga penikmat. Tentu media audio dapat lebih efektif digunakan oleh penyandang disabilitas netra yang memiliki hambatan dalam menerima informasi secara visual. Seluruh informasi secara penuh didapatkan dengan indra pendengaran dalam bentuk suara naratif dan deskriptif. Termasuk di dalam lingkup pendidikan tinggi, media audio sangat berguna sebagai pemenuhan akses bagi mahasiswa disabilitas netra guna menunjang pembelajaran. Media yang sudah sangat dikenal dan populer adalah audiobook (Ginanjar et al., 2023).

Audiobook adalah bentuk media rekaman untuk membacakan isi buku. Isi buku ini sama dengan buku teks, tetapi juga bisa termasuk buku fiksi, buku ilmiah, atau jenis buku lainnya. Audiobook terbagi menjadi dua yaitu unabridged dan abridged. Unabridged adalah audiobook yang membacakan cerita secara lengkap sesuai dengan bentuk cetaknya, sedangkan abridged adalah audiobook tidak membacakan lengkap sesuai bentuk cetaknya guna menghemat biaya produksi. Namun, hal ini tidak sama sekali tidak merubah, esensi, isi, dan makna dalam cerita tersebut. Penggunaan audiobook sangat praktis karena tidak membutuhkan biaya mahal dan peralatan yang kompleks. Audiobook juga dapat didengarkan kapan saja dan di mana saja sehingga memudahkan pengguna dalam menyerap informasi di dalamnya. Pemanfaatan audiobook sama mudahnya seperti mendengarkan music (Desriana & Budiningsih, 2018).

Sejarah pembuatan audiobook memang ditujukan untuk penyandang disabilitas netra. Pada tahun 1931, Kongres Amerika membuat program buku bicara (talking book) untuk memberikan bantuan pada kelompok disabilitas netra yang tidak bisa membaca buku versi cetak. Program ini disebut sebagaiProyek Buku untuk Orang Buta�. Proyek ini kemudian dikembangkan oleh Yayasan Orang Buta Amerika pada tahun 1932 dan mulai diterbitkan secara masal pada 1933. Pada tahun 1935, Kongres menetapkan pengoperasian penuh proyek buku audio Buku untuk Orang Buta. Berdasarkan sejarah tersebut, audiobook adalah pilihan tepat sebagai sarana media belajar bagi penyandang disabilitas netra untuk dapat menikmati serta mempelajari isi buku sama seperti orang awas (orang nondisabilitas netra). Dalam penggunaannya, audiobook memiliki keunggulan yang dapat dirasakan penyandang disabilitas netra yaitu intonasi serta penggambaran situasi dibanding dengan teks braille. Hal ini dapat membuat pengalaman belajar menjadi lebih menyenangkan karena cerita yang didengarkan terasa lebih hidup.

 

Kondisi Obyektif di Lingkungan Universitas

Ramdhan kembali menyatakan bahwa lingkungan dan pembelajaran di Universitas Pendidikan Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangan bagi disabilitas netra. Dosen-dosen di jurusan Pendidikan Khusus sudah cukup membantu dalam penyediaan akses. Fasilitas di lingkungan gedung fakultas dan jurusan Ramdhan terbilang cukup aksesibel bagi disabilitas. Namun, di luar fakultas dan jurusannya masih banyak yang harus diperbaiki. Contohnya, ruang kelas serta media pembelajaran harus banyak yang ditingkatkan guna memenuhi akses dasar bagi kelompok disabilitas khususnya disabilitas netra.

Ramdhan menerangkan lebih lanjut terkait akses bagi disabilitas netra. Ramdhan mengungkapkan akses dasar disabilitas netra ada dua, yaitu mendengar melalui sumber audio dan taktil atau meraba. Sebetulnya ada dua cara sih; mendengar dan tactile. Tapi biasanya ada teman-teman netra yang butuh bantuan suara (deskripsi audio) ketika meraba sesuatu�. Seiring perkembangan zaman, disabilitas netra sudah memiliki banyak sumber untuk belajar dengan bantuan teknologi. Salah satu yang sering digunakan adalah fitur pembaca layar (screen reader) pada laptop dan Talkback atau asisten suara pada gawai dengan sistem operasi Android.

Wawancara selanjutnya bersama Ira Christy Pitaloka (2210030), mahasiswa pembelajar bahasa Jerman di prodi Pendidikan Bahasa Jerman. Ira memiliki hambatan penglihatan kategori low vision. Ira menuturkan, Ira hanya bisa melihat bayangan dan bentuknya tidak jelas. Mata kanan bisa melihat obyek bayang dengan jarak sejengkal dan mata kiri kira-kira dua jengkal. Berdasarkan kondisi tersebut, Ira memilih cara belajar dengan mendengarkan dokumen PDF melalui bantuan screen reader di laptop miliknya. Namun, terkadang materi dari PDF belum cukup jelas bagi Ira karena keterbatasan fitur pada screen reader yang tidak jelas membacakan materi secara deskriptif atau menjelaskan gambar.

����������� Dalam artikel ini penulis mencoba mendeskripsikan kebutuhan dan akses dasar mahasiswa disabilitas netra di lingkungan program studi Pendidikan Bahasa Jerman Universitas Pendidikan Indonesia dengan memanfaatkan teknologi audiobook cerita anak-anak Jerman sebagai sumber belajar audio untuk mempelajari kosakata serta pelafalan kata. Audiobook cerita anak-anak Jerman yang penulis pilih adalah Peter Bichsel liest Kindergeschichten. Konten audiobook ini adalah kumpulan cerita anak karya Peter Bichsel, seorang jurnalis dan sastrawan asal negara Swiss yang juga menulis cerita anak-anak dalam karyanya. Kumpulan cerita ini penulis pilih karena gaya bahasanya yang cenderung tidak begitu rumit dan relatif mudah dimengerti bagi pembelajar bahasa Jerman. Selain dapat menjadi sumber pembelajaran bahasa berbasis suara, audiobook ini juga dapat sebagai sumber pengenalan karya sastra Jerman kepada partisipan yang mengandung budaya serta bahasa sastra yang dapat menjadi pengetahuan tambahan bagi partisipan.

 

Tahapan Penelitian

����������� Pemanfaatan audiobook sebagai media pembelajaran bahasa Jerman ini diharapkan dapat menjadi media pembelajaran arustama dalam proses pengajaran bahasa Jerman bagi kelompok disabilitas netra di seluruh jenjang pendidikan terkhusus pendidikan tinggi. Percobaan sumber belajar audiobook ini ditujukan pada mahasiswa semester 4 di program studi Pendidikan Bahasa Jerman, Universitas Pendidikan Indonesia. Produk audiobook yang menjadi sumber adalah produk berlangganan dari situs web Amazon. Audiobook dikemas secara digital dan tidak memiliki bentuk fisik seperti CD (compact disk). Hal ini bertujuan agar fail audiobook dapat lebih mudah diakses kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja.

����������� Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi di dalam kelas program studi Pendidikan Bahasa Jerman di Universitas Pendidikan Indonesia. Adler & Adler (1987: 389) menyebutkan bahwa observasi merupakan salah satu dasar fundamental dari semua metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, khususnya menyangkut ilmu-ilmu sosial dan perilaku manusia. Observasi ini bertujuan untuk melihat para mahasiswa disabilitas netra belajar di dalam kelas dan mengamati metode mengajar yang dipakai oleh dosen ketika ada mahasiswa disabilitas netra yaitu Ira. Saat itu, Ira sedang melakukan ujian H�ren (mendengar) dan Lesen (membaca) (Hasanah, 2017). Ira didampingi oleh mahasiswa awas (bukan disabilitas netra) dari kelas lain untuk membacakan soal pada mata uji Lesen karena teks dalam soal berbentuk gambar sehingga tidakbisa terpindai oleh fitur screen reader. Sebab itu Ira butuh pendamping untuk membacakan soal. Namun, Ira tetap merasa kesulitan ketika sesi ujian mendengar karena audio yang dibacakan tidak terlalu jelas dan berbarengan dengan penjelasan soal dari pendamping. Hal ini menyebabkan Ira tidak dapat menjawab soal dengan baik di dua mata uji hari itu.

����������� Kedua, penulis mencari audiobook cerita anak yang cocok untuk partisipan. Penulis mendapatkan audiobook dari aplikasi Audible Amazon. Aplikasi ini menggunakan sistem berlangganan tiap bulan untuk dapat mengakses audiobook yang diinginkan. Aplikasi Audible memiliki keunggulan mudah diakses, mudah digunakan karena mirip seperti aplikasi-aplikasi audio arus utama yang digunakan oleh masyarakat luas, dan dapat diunduh melalui web daring, play store, dan app store. Penulis memilih cerita Die Erde ist rund karya Pieter Bichsel. Cerita ini dipilih karena tidak terlalu rumit, tidak kompleks, mudah dimengerti, dan banyak pelajaran kehidupan yang dapat diambil dari cerita ini. Cerita ini juga dipilih dengan menyesuaikan level kebahasaan partisipan yaitu level A2. Tahap terakhir yaitu partisipan mendengarkan cerita yang ada di dalam audiobook. Partisipan bebas mengulang cerita jika ada kata-kata yang kurang dimengerti. Lalu, setelah mendengarkan selama lebih kurang 2 minggu, penulis meminta partisipan untuk membagikan pengalamannya selama menggunakan audiobook dan apa saja yang manfaat serta hambatan selama menggunakannya.

 

Pengalaman dengan Audiobook

����������� Setelah partisipan mendengarkan cerita menggunakan audiobook, penulis bertanya kembali terkait pengalaman partisipan selama menggunakan audiobook dan mendengarkan cerita yang ada di dalamnya. Ira menuturkan dirinya sudah mendengarkan cerita ini sebanyak 5 kali. Menurut Ira, mendengarkan cerita ini tidak begitu mudah karena kosakata Ira tidak terlalu banyak. Untuk mengatasi hal tersebut, Ira mendengarkan dengan kecepatan yang lebih lambat yaitu 0,5x guna memahami kata apa yang tidak terdengar jelas. Ira menyatakan dengan hadirnya buku cerita dalam bentuk audiobook ini sangat memenuhi aksesnya sebagai penyandang disabilitas netra. Zaman dulu, buku masih berbentuk cetak dan tidak tersedia versi huruf braille. Ira juga pernah mengalami kebingungan ketika mencari media bahasa Jerman yang sesuai di platform lain seperti Youtube. Walaupun Youtube menyajikan media dalam bentuk audio-visual, tapi tetap tidak ada media yang sesuai dengan akses yang Ira butuhkan. Misalnya, ada video dengan visual dan voice over, namun Ira tetap mengalami hambatan contohnya ketika ada kalimat, �bisa dilihat di gambar ini atau seperti yang tertera pada gambar�. Kalimat-kalimat seperti itu membuat informasi yang Ira dapatkan tidak 100% karena Ira tidak bisa melihat informasi yang dimaksud. Dalam hal ini audio description (AD) memiliki peran penting sebagai salah satu akses untuk disabilitas netra melakukan pembelajaran. AD adalah deskripsi verbal dari elemen-elemen visual yang penting dalam media atau pertunjukan langsung. Dalam konteks pembelajaran, AD dapat membantu siswa disabilitas netra memahami materi visual seperti gambar, video, atau presentasi dengan lebih baik. Ira menuturkan media audiobook dan cerita di dalamnya sudah memuat cerita dan alur yang jelas sehingga Ira dapat membayangkan dan memvisualisasikan situasi dan keadaan yang ada dalam cerita ini. Oleh karena itu, Ira lebih mudah mempelajari tentang intonasi dan mengingat kosakata ketika bercerita melalui buku ini.

Pemanfaatan audiobook ini tidak sebatas pada pembelajaran kemampuan berbahasa saja namun juga dalam bidang yang lebih luas lagi contohnya pada kesusastraan. Cerita ini membuat Ira belajar Alltagssprache (bahasa sehari-hari) dan literarische Sprache (bahasa sastra) serta perbedaan dari keduanya. Hal ini yang membuat Ira lebih tertarik untuk mengulik lebih dalam tentang sastra Jerman dan penggunaan bahasa sastra yang menurut Ira unik. Pengalaman lain yang juga dirasakan oleh Ira adalah kesulitan yang dialami selama mendengarkan cerita Die Erde ist rund versi audiobook ini adalah sulitnya memahami kata-kata yang sangat asing. Ira menuturkan, hal ini disebabkan oleh penguasaan kosakata yang masih minim dan tidak menemukan akses yang dapat dijadikan sebagai rujukan untuk meraba, apakah kosakata yang di cerita sama dengan yang Ira dengar. Dalam hal ini, Ira membutuhkan cerita fisik yang aksesibel yaitu menggunakan tulisan braille atau huruf timbul agar bisa memastikan kata tersebut. Jika tidak ada huruf braille, bisa menggunakan bentuk fisik cetak biasa namun memerlukan orang lain untuk membacakan kata yang ingin Ira ketahui. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ramdhan yang menyatakan bahwa akses disabilitas netra tidak hanya melalui audio melainkan juga tactile atau rabaan. Masalah selanjutnya adalah struktur kalimat yang belum Ira pahami. Ira mengaku, dia kebingungan karena belum belajar sampai ke level bahasa Jerman yang lebih tinggi. Menurut Ira, level bahasa di yang digunakan dalam cerita ini lebih tinggi dari yang sudah Ira pelajari. Ditambah dengan bahasa yang digunakan adalah bahasa sastra yang menggunakan struktur bahasa dan gaya bahasa yang cenderung rumit bagi pembelajar bahasa Jerman khususnya pada Grundstufe (tingkat dasar). Dalam konteks ini, Ira dapat memahami cerita secara harfiah namun tidak secara pragmatis. Ira menganggap sebenarnya ada makna yang ingin disampaikan namun dia belum menemukan makna tersebut.

Hal ini umum terjadi, tidak hanya dalam kesusastraan Jerman tetapi juga sastra dalam bahasa lain karena bahasa sastra memiliki struktur yang lebih kompleks sehingga tidak mudah dipahami hanya dengan satu kali baca. Selain itu, perbedaan budaya juga mempengaruhi pemahaman terhadap suatu karya sastra. Pemahaman bahasa sastra membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan teks biasa. Bahasa sastra memang memerlukan proses pemikiran yang mendalam dan terstruktur sebab karya sastra tidak hanya sekadar ungkapan kreatif, tetapi juga merupakan representasi dari pemikiran dan konteks sosial budaya penulisnya (Pardi, 2016). Bahasa sastra juga membutuhkan penelaahan dan penafsiran berdasarkan latar belakang dari pembaca. Pembelajaran sastra juga penting dalam pembelajaran bahasa Jerman. Mempelajari sastra dapat mengembagkan pembendaharaan kosakata dan sarana pengenalan budaya serta berpikir kritis dan kreatif. Dalam proses mendengarkan cerita ini, Ira mengalami kesulitan saat pendalaman makna karena sering mengalami gangguan atau distraksi dengan hal lain. Kebanyakan dari distraksi tersebut adalah terkait tugas yang belum Ira kerjakan atau ada hal lain yang tiba-tiba melintas di pikiran lalu mengalihkan fokus awal yaitu untuk menelaah makna dari cerita ini.

 

KESIMPULAN

Penggunaan audiobook berbahasa Jerman di Universitas Pendidikan Indonesia telah terbukti menjadi alat yang efektif dalam mendukung mahasiswa disabilitas netra dalam proses pembelajaran. Audiobook menawarkan solusi yang inovatif untuk mengatasi keterbatasan akses terhadap materi pembelajaran berbasis visual, yang sering kali menjadi hambatan bagi mahasiswa dengan disabilitas visual. Melalui format audio, mahasiswa dapat meningkatkan pemahaman kosakata, pelafalan, dan minat terhadap sastra Jerman, yang semuanya merupakan elemen penting dalam pembelajaran bahasa.

�� Berdasarkan hasil wawancara pengalaman selama menggunakan audiobook, penulis menemukan manfaat yang signifikan dan dirasakan langsung oleh mahasiswa bahasa Jerman penyandang disabilitas netra. Penulis merangkum setidaknya ada tiga poin manfaat yang dirasakan, yaitu sebagai berikut:

1.    Aksesibilitas

Media audiobook memberikan akses yang memadai bagi penyandang disabilitas netra untuk mempelajari bahasa Jerman. Salah satu akses penting bagi disabilitas netra adalah suara atau audio agar penyandang disabilitas netra dapat mendapat informasi dari media tersebut. Mahasiswa disabilitas netra juga mendapatkan akses media pembelajaran yang lebih mudah, praktis, dan terjangkau dengan menggunakan audiobook ini dibandingkan dengan teks cetak atau visual yang sulit dijangkau. Cerita dalam media audiobook memberikan rasa semangat dan kepuasan bagi mahasiswa disabilitas netra karena merasa menemukan media yang cocok dan aksesibel sebab selama ini selalu mengalami kesulitan dalam mencari media pembelajaran bahasa Jerman yang dapat memenuhi kebutuhannya.

2.    Meningkatkan Kemampuan Bahasa

Audiobook membantu mahasiswa disabilitas netra menambah kosakata dan mengetahui cara melafalkannya. Mahasiswa dapat melatih pengucapan dan menambah kosakata bahasa Jerman dari cerita yang dibacakan dalam audiobook tersebut. Hal ini tentu membantu meningkatkan kemampuan berbahasa bagi mahasiswa secara mandiri. Dengan begitu, kemandirian penyandang disabilitas dapat tercapai sesuai dengan CRPD dan UU Disabilitas No. 8 tahun 2016.

3.    Literasi Sastra

Audiobook ini berisi cerita anak (Kindergeschichte) yang merupakan bagian dari karya sastra populer Jerman. Seperti karya sastra pada umumnya, penulis dalam cerita ini menggunakan banyak ragam bahasa sastra yang bersifat konotatif dan membutuhkan penelaahan dalam membacanya. Selain bisa mempelajari dan menambah kosakata, mahasiswa juga bisa mengenal bahasa sastra yang rumit sekaligus menganalisis makna yang ada di kalimat tersebut. Pembelajaran seperti ini berperan dalam peningkatan analisis sastra, kemampuan berpikir, dan mengetahui ragam bahasa dalam karya sastra.

Pembelajaran bahasa dan sastra Jerman bagi mahasiswa, khususnya bagi penyandang disabilitas netra, menghadirkan beragam tantangan yang kompleks dan membutuhkan perhatian khusus. Dalam konteks penggunaan audioobok ini, tantangan utama yang dihadapi oleh partisipan adalah keterbatasan kosakata, di mana partisipan sering mengalami kesulitan dalam memahami kata-kata yang belum terlalu familiar. Kompleksitas ini semakin bertambah dengan adanya kata-kata majemuk dalam bahasa Jerman yang terkenal dengan struktur yang panjang dan rumit. Pemahaman ungkapan idiomatik yang khas dalam bahasa Jerman juga memerlukan pengetahuan mendalam tentang budaya dan konteks historis, sementara terminologi teknis dalam bidang sastra, kritik, dan teori literatur menambah tingkat kesulitan dalam pembelajaran.

Berbicara tentang struktur bahasa sastra, partisipan sering mengalami kesulitan dengan cara penyusunan kalimat dalam bahasa Jerman yang cenderung panjang dan berlapis-lapis. Penggunaan bahasa kiasan seperti perumpamaan dan majas dalam karya sastra Jerman membutuhkan pemahaman yang lebih dalam. Kesulitan ini bertambah karena partisipan belum pernah mempelajari atau bahkan membaca sastra Jerman dan ciri khas bahasa yang berbeda-beda. Untuk benar-benar memahami karya sastra Jerman, mahasiswa juga perlu mengerti latar belakang sejarah yang menjadi konteks dari karya tersebut.

Hasil temuan menunjukkan dalam pengalaman menggunakan audiobook, partisipan tetap membutuhkan dukungan tambahan berupa materi cetak tactile untuk memaksimalkan pemahaman mereka. Meskipun audiobook menyajikan narasi yang jelas dan membantu dalam pengucapan kata-kata bahasa Jerman, mahasiswa masih memerlukan akses ke bentuk tulisan tactile untuk memahami struktur kata dan ejaan yang tepat. Buku teks dan materi pembelajaran dalam format braille menjadi sangat penting sebagai akses pendukung, terutama ketika mempelajari kosakata baru. Pengalaman menyentuh dan meraba bentuk kata-kata dapat memperkuat ingatan dan pemahaman mahasiswa tentang kosakata tersebut. Selain itu, kombinasi antara mendengarkan audiobook dan membaca materi tactile membantu mahasiswa membangun hubungan yang lebih kuat antara bunyi kata dan bentuk tulisannya. Hal ini sangat bermanfaat dalam memahami struktur kata bahasa Jerman yang sering kali panjang dan kompleks. Penggunaan diagram tactile juga diperlukan untuk menjelaskan konsep-konsep yang lebih rumit, seperti struktur kalimat atau hubungan antar kata dalam sebuah frasa. Teknologi pendukung seperti perangkat pembaca layar yang bisa diintegrasikan dengan materi tactile dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih lengkap dan mendalam bagi mahasiswa.

Tantangan pedagogis yang dihadapi memerlukan pendekatan multisensori dalam pembelajaran dan adaptasi metode pengajaran untuk mengakomodasi kebutuhan khusus. Dukungan akademik dalam penyediaan guru, tutor, atau dosen yang terlatih serta memiliki pemahaman tentang disabilitas yang baik dan program mentoring khusus menjadi sangat penting. Pengembangan kurikulum yang inklusif dan adaptif, disertai dengan integrasi teknologi asistif dalam pembelajaran, menjadi langkah strategis dalam mengatasi tantangan ini. Pelatihan staf pengajar untuk meningkatkan kompetensi dalam pendidikan inklusif dan penggunaan teknologi asistif juga menjadi prioritas. Dukungan institusional dalam menyediakan fasilitas dan infrastruktur yang memadai, serta alokasi dana untuk pengembangan materi pembelajaran khusus, sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang inklusif dan efektif. Sistem evaluasi dan monitoring yang komprehensif perlu dikembangkan untuk memastikan efektivitas program pembelajaran. Hal ini mencakup pengembangan metode evaluasi yang sesuai, penyediaan alternatif format ujian, dan pemberian waktu tambahan sesuai kebutuhan. Program monitoring yang berkelanjutan, termasuk pengumpulan umpan balik dari mahasiswa dan evaluasi berkala terhadap efektivitas program, menjadi kunci dalam melakukan penyesuaian dan perbaikan program secara berkelanjutan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Aqilla, M. A. (2022). Kemampuan Disabilitas Netra Dalam Memanfaatkan Sumber Media Pembelajaran Di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra Kota Bandung. FISIP UNPAS.

Desriana, B., & Budiningsih, C. A. (2018). Audiobook pembelajaran mata kuliah literatur berdasarkan perspektif behavioral untuk meningkatkan pemahaman bahasa Jerman. Jurnal Inovasi Teknologi Pendidikan, 5(2), 140�150.

Marizka, M. A. A., & Sariningsih, Y. (2023). Kemampuan disabilitas netra dalam memanfaatkan sumber media pembelajaran di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra Kota Bandung. Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial HUMANITAS, 5(I), 21-35.

Erissa, D., & Widinarsih, D. (2022). Akses penyandang disabilitas terhadap pekerjaan: Kajian literatur. Jurnal Pembangunan Manusia, 3(1), 22.

Ginanjar, P. Y., Afrina, U., & Hikmatusadis, H. (2023). Workshop Pembuatan Audiobook Cerita Rakugo Dan Pingshu, Serta Terjemahannya Dalam Bahasa Indonesia Untuk Teman Disabilitas: Tahap Awal. Dharmakarya: Jurnal Aplikasi Ipteks Untuk Masyarakat, 12(1).

Anwas, O. M. (2015). Audiobook: Media pembelajaran masyarakat modern. Jurnal Teknodik, 18(1), 54-62. https://doi.org/10.32550/teknodik.v18i1.111

Hasanah, H. (2017). Teknik-teknik observasi (sebuah alternatif metode pengumpulan data kualitatif ilmu-ilmu sosial). At-Taqaddum, 8(1), 21�46.

Widiastuti, N. L. G. K. (2023). Strategi dan Media Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus dengan Hambatan Penglihatan. Widya Accarya, 14(1), 31-38. https://doi.org/10.46650/wa.14.1.1385.31-38 1

Dwi Prasetyo, S. M., Payuyasa, I. N., & Suardina, I. N. (2023). Penerapan Audio Description Pada Karya Dokumenter Pendek Sejauh Mata Memandang. Calaccitra, 3.

Mikropoulos, T. A., & Iatraki, G. (2023). Digital technology supports science education for students with disabilities: A systematic review. Education and Information Technologies, 28(4), 3911�3935.

Santoso, B., & Widiastuti, R. (2021). Penggunaan Audiobook dalam Pembelajaran Bahasa untuk Mahasiswa Disabilitas Netra: Sebuah Tinjauan Literatur. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, 15(2), 101-110.

Farrell, M., & Walter, J. (2013). The intersection of welfare and disability: Early findings from the TANF/SSI Disability Transition Project (OPRE Report 2013-06). Office of Planning, Research and Evaluation, Administration for Children and Families, U.S. Department of Health and Human Services.

Andayani, & Afandi, M. (2016). Pemberdayaan dan pendampingan komunitas penyandang disabilitas dalam mengakses pendidikan tinggi. Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, 16(2), 153-166

Damayanti, U. R., Annisyah, L., & Aini, Q. N. (2023). Media Pembelajaran Bahasa Asing bagi Siswa Tunanetra: Smart Braille Box. Universitas Negeri Yogyakarta

Rahmah, R. (2019). Penerimaan Diri Bagi Penyandang Disabilitas Netra. Alhadharah: Jurnal Ilmu Dakwah, 18(2) https://doi.org/10.18592/alhadharah.v18i2.3380.

 

� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)