Menganalisis Aspek Perbuatan Melawan Hukum Putusan
Mahkamah Agung Nomor 934
K/Pdt/2019
Andryawan1,
Barnabas Juni Saputra Gulo2, Mohammad Rubby Sriyanto3,
Amanda Nissa Nurvicha4, Aldizya Jasmine5, Lisa Rahmasari6
Universitas
Tarumanegara
[email protected], [email protected], [email protected],[email protected], [email protected], [email protected]
INFO
ARTIKEL |
ABSTRAK |
Kata Kunci: Hukum, Perdata, Tanah, Putusan, Kasasi. Keywords: |
penelitian ini menganalisis penerapan konsep perbuatan melawan hukum
dalam hukum perdata Indonesia, dengan fokus pada Putusan Mahkamah Agung Nomor
934 K/Pdt/2019 terkait sengketa tanah antara PT Dago Inti Graha dan pihak
tergugat. Tanah di Indonesia memiliki peranan penting dalam budaya, ekonomi,
dan identitas sosial, sehingga sering terjadi konflik kepemilikan, khususnya
terkait hak ulayat. Penelitian ini menelaah interpretasi Mahkamah Agung
mengenai perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 KUHPerdata, dengan tujuan
mencapai keadilan dan kepastian hukum. Studi kasus ini menyoroti pentingnya
dokumen sah dan prosedur hukum yang benar dalam klaim kepemilikan. Melalui
studi literatur, penelitian ini menilai pertimbangan hukum Mahkamah Agung dan
dampaknya terhadap prinsip keadilan dan itikad baik. Pada akhirnya,
penelitian ini memberikan wawasan untuk memperbaiki praktik hukum dalam
sengketa tanah dan memperkuat pemahaman tentang peran perbuatan melawan hukum
dalam sistem peradilan Indonesia. ABSTRACT This research analyzes the
application of the concept of tort in Indonesian civil law, with a focus on
Supreme Court Decision Number 934 K/Pdt/2019 related to a land dispute
between PT Dago Inti Graha and the defendant. Land in Indonesia has an
important role in culture, economy, and social identity, so ownership
conflicts often occur, especially related to customary rights. This research
examines the Supreme Court's interpretation of tort under Article 1365 of the
Civil Code, with the aim of achieving justice and legal certainty. The case
study highlights the importance of legal documents and correct legal
procedures in ownership claims. Through a literature review, this research
assesses the Supreme Court's legal reasoning and its impact on the principles
of fairness and good faith. Ultimately, this research provides insights to
improve legal practice in land disputes and strengthens the understanding of
the role of tort in the Indonesian justice system. |
Law,
Civil, Land, Decision, Cassation |
Tanah
adalah komponen fundamental dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai tempat
tinggal dan sumber penghidupan, tetapi juga sebagai bagian dari identitas,
budaya, dan warisan suatu komunitas (Labibah et al., 2024). Keberadaan tanah sebagai
sumber daya alam yang terbatas menjadikannya objek vital yang seringkali
diperebutkan. Dalam konteks Indonesia, tanah memegang peranan yang sangat
penting karena negara ini memiliki penduduk yang terus bertambah dan
pembangunan yang semakin pesat. Kebutuhan terhadap lahan untuk pemukiman,
industri, pertanian, dan infrastruktur membuat tanah menjadi salah satu
komoditas Pokok-Pokok Agraria (UUPA) (Hajati et al., 2020), diatur berbagai hak atas
tanah yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak
pakai. Hak-hak tersebut memberikan kerangka hukum yang mengatur kepemilikan dan
penggunaan tanah di Indonesia. Di Indonesia, hukum pertanahan sebagian besar
berasal dari hukum adat yang berakar dalam sejarah panjang interaksi masyarakat
dengan tanah. Hukum adat ini memandang tanah tidak hanya sebagai properti fisik
yang dapat diperjualbelikan, tetapi juga sebagai elemen yang mengandung makna
sosial, spiritual, dan budaya. Misalnya, masyarakat di Maluku mengenal berbagai
jenis hak milik atas tanah, termasuk tanah adat yang tunduk kepada hukum
petuanan, di mana tanah-tanah ini diwariskan turun-temurun dalam komunitas
tertentu. Di beberapa wilayah, seperti di Bandung, tanah adat dikenal dengan
sebutan tanah ulayat, yang merupakan tanah milik komunal yang dikelola oleh
kelompok masyarakat adat (Muhammad, 2013). Sistem pengelolaan tanah adat ini merupakan cerminan dari
kearifan lokal dalam mengatur sumber daya alam, namun juga menimbulkan berbagai
tantangan dalam sistem hukum nasional.
Seiring dengan waktu tanah adat dan tanah ulayat
menghadapi tantangan besar dalam konteks Pembangunan modern (Moniaga, 2024). Pertumbuhan penduduk yang pesat, industrialisasi, dan urbanisasi telah
meningkatkan permintaan terhadap tanah, baik untuk keperluan Pembangunan,
infrastruktur, Perkebunan. Akibat dari pertumbuhan tersebut terjadilah
perselisihan kasus tanah, dikarenakan penduduk menepati tanah yang bukan hak
milik pribadi sehingga mengakibatkan kasus perbuatan melawan hukum (PMH).
konsep perbuatan melawan hukum (PMH)�
sendiri telah menjadi bagian penting dalam studi dan praktik hukum di
berbagai negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, perbuatan melawan hukum
dikenal dengan istilah onrechtmatige daad, yang berasal dari bahasa
Belanda. Istilah ini memiliki sejarah panjang dalam perkembangan hukum di
Indonesia, terutama karena pengaruh dari sistem hukum kolonial yang pernah
berlaku. Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
dijelaskan bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum dan menyebabkan kerugian
kepada orang lain mewajibkan pihak yang bersalah untuk mengganti kerugian
tersebut (Kamagi, 2018). Pengaturan ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat
kontrol sosial, tetapi juga sebagai mekanisme untuk memperbaiki ketidakadilan
yang timbul akibat pelanggaran hak-hak individu.
Perbuatan melawan hukum dapat terjadi dalam berbagai
bentuk dan kategori. Salah satu jenis perbuatan melawan hukum yang umum
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari adalah tort, atau perbuatan
melawan hukum dalam ranah perdata. Tort merujuk pada tindakan seseorang yang,
meskipun tidak selalu melanggar undang-undang pidana, dapat menyebabkan
kerugian kepada individu lain atau kelompok. Sebagai contoh, tindakan seseorang
yang dengan sengaja merusak properti milik orang lain tanpa alasan yang sah
merupakan perbuatan melawan hukum dalam ranah tort. Demikian pula, tindakan
yang mengakibatkan kerugian fisik atau emosional kepada orang lain, seperti
kasus kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh kelalaian pengemudi, juga
dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum (Lestari et al., 2020).
Namun, pengertian perbuatan melawan hukum tidak selalu
bersifat sederhana, karena hukum tidak hanya melihat aspek tindakan fisik,
tetapi juga mempertimbangkan niat atau motif di balik tindakan tersebut (Flora et al., 2024). Dalam beberapa kasus, tindakan yang secara kasat mata terlihat melanggar
hukum mungkin dianggap sah apabila ada justifikasi tertentu yang diakui oleh
hukum. Misalnya, dalam kasus pertahanan diri, seseorang yang melakukan tindakan
yang seharusnya dianggap melawan hukum, seperti melukai penyerang, mungkin
tidak akan dianggap bersalah karena tindakan tersebut dilakukan untuk
melindungi diri sendiri dari ancaman yang lebih besar.
Di sisi lain, perbuatan melawan hukum juga dapat terjadi
dalam konteks hukum pidana, di mana tindakan tersebut melibatkan pelanggaran
terhadap norma-norma dasar yang diatur oleh negara dan diancam dengan sanksi
pidana. Pencurian, penipuan, pembunuhan, dan pemerasan adalah contoh perbuatan
melawan hukum dalam ranah pidana. Perbedaan utama antara perbuatan melawan
hukum dalam hukum perdata dan hukum pidana terletak pada dampak dan konsekuensi
hukum yang dihadapinya. Dalam hukum perdata, fokus utama adalah pemulihan atau
kompensasi atas kerugian yang diderita oleh korban, sedangkan dalam hukum
pidana, tujuan utamanya adalah pemberian hukuman yang setimpal bagi pelaku agar
dapat memberikan efek jera dan mencegah kejahatan serupa di masa depan (Hapsari & Fitriono, 2024).
Dalam perkembangan teori hukum, konsep perbuatan melawan
hukum terus mengalami perubahan dan penyesuaian. Salah satu perkembangan
penting adalah terkait dengan perluasan interpretasi tentang apa yang dimaksud
dengan perbuatan melawan hukum. Pada masa lalu, pengertian perbuatan melawan
hukum lebih berfokus pada tindakan yang secara langsung melanggar undang-undang
yang tertulis. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, pandangan ini berkembang
menjadi lebih luas, sehingga mencakup tindakan-tindakan yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip moral, etika, atau norma sosial yang berlaku, meskipun
tidak secara eksplisit diatur dalam undang-undang tertulis (Kadir, 2024).
Di Indonesia, upaya untuk mengatasi perbuatan melawan
hukum dilakukan melalui berbagai mekanisme hukum, baik di tingkat legislatif,
yudikatif, maupun eksekutif. Pengadilan berperan penting dalam menegakkan
keadilan bagi para korban perbuatan melawan hukum, dengan memberikan putusan
yang berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum. Sementara
itu, pemerintah, melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkan, berupaya untuk
memperketat pengawasan dan penegakan hukum di berbagai sektor, termasuk di
bidang ekonomi, sosial, dan teknologi.
Dalam putusan Nomor 934 K/Pdt/2019, Mahkamah Agung
Republik Indonesia menangani perkara sengketa tanah antara PT Dago Inti Graha
(Penggugat IV) dan beberapa tergugat yang terkait dengan tanah bekas Eigendom
Verponding Nomor 3740, 3741, dan 3742 yang terletak di Kecamatan Coblong, Kota
Bandung. Tanah tersebut menjadi objek sengketa karena klaim kepemilikan oleh
para ahli waris serta pengoperan hak yang dilakukan oleh para pihak terkait.
Kasus ini bermula pada tingkat pengadilan negeri,
perkara ini diajukan oleh PT Dago Inti Graha sebagai Penggugat IV terhadap
sejumlah tergugat terkait sengketa tanah yang berasal dari bekas Eigendom
Verponding Nomor 3740, 3741, dan 3742. Pengadilan Negeri mengabulkan gugatan
Penggugat untuk sebagian, menyatakan sahnya penetapan dari Pengadilan Agama
Kelas I A Cimahi yang menetapkan para ahli waris dari Eduar Muller, serta
menetapkan riwayat kepemilikan tanah berdasarkan akta dan dokumen hukum yang
relevan. Pengadilan juga mengakui keberadaan sita hak milik atas tanah negara
tersebut dan menyatakan bahwa sertifikat yang dikeluarkan oleh instansi terkait
tidak sah.
Pengadilan Negeri lebih lanjut memutuskan bahwa para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum mereka untuk mengosongkan tanah serta menyerahkannya kepada PT Dago Inti Graha. Selain itu, pengadilan memerintahkan para tergugat untuk membayar biaya perkara secara tanggung renteng. Dengan demikian, putusan ini menekankan pentingnya keabsahan dokumen hukum dalam menentukan kepemilikan tanah dan memberikan perlindungan hukum kepada pihak yang memiliki bukti sah atas hak milik tersebut.
Kemudian, pada tingkat pengadilan tinggi, putusan Pengadilan Negeri Bandung yang dihasilkan pada tanggal 24 Agustus 2017, No. 454/Pdt.G/2016/PN.Bdg, diperbaiki dengan menerima permohonan banding dari para pembanding, yang sebelumnya merupakan para tergugat. Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa sita hak milik (Revindicatoir beslag) atas tanah negara bekas Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741, dan 3742 tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan demikian, perintah untuk mengangkat sita tersebut juga dikeluarkan dalam keputusan ini. Selain itu, Pengadilan Tinggi menegaskan bahwa riwayat kepemilikan tanah yang menjadi objek sengketa adalah sah berdasarkan akta-akta yang telah diterjemahkan dari Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia. Pengadilan juga menyatakan bahwa pengoperan hak atas tanah dari para penggugat kepada PT Dago Inti Graha adalah sah menurut hukum.
Kemudian,
pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung melalui putusan no. 934
K/Pdt/2019 menilai bahwa para tergugat telah melakukan perbuatan melawan
hukum terkait klaim mereka atas tanah tersebut. Dalam putusan ini, Penggugat
IV, PT Dago Inti Graha, diberikan hak atas tanah sengketa berdasarkan
pengoperan hak yang sah melalui akta yang dibuat oleh notaris, meskipun akta
ini dipertanyakan oleh pihak tergugat. Penggugat IV dianggap beriktikad baik
dalam mendapatkan hak atas tanah tersebut, meskipun kemudian Mahkamah Agung
mengakui bahwa ada ketidaksesuaian hukum pada beberapa aspek administratif
terkait pengoperan hak tersebut.
Mahkamah
Agung juga menyatakan bahwa sertifikat-sertifikat yang dikeluarkan oleh
instansi terkait (seperti Kantor Pertanahan Kota Bandung dan Kantor Kelurahan
Dago) yang menyebutkan tanah-tanah ini tidak sah atau tidak memiliki kekuatan
hukum. Oleh karena itu, para tergugat diperintahkan untuk
mengosongkan tanah tersebut dan menyerahkannya kepada PT Dago Inti Graha tanpa
syarat, serta menanggung biaya perkara secara tanggung renteng.
Putusan ini mencerminkan penerapan konsep perbuatan
melawan hukum dalam konteks sengketa perdata, khususnya mengenai hak atas
tanah. Mahkamah Agung mempertegas bahwa klaim kepemilikan harus didasarkan pada
bukti sah dan proses administrasi yang benar. Sementara itu, tindakan para
tergugat yang mempertahankan tanah tanpa dasar hukum yang jelas dianggap
sebagai perbuatan melawan hukum, karena merugikan pihak yang telah mendapatkan
hak melalui prosedur yang diakui hukum.
bertujuan untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi
unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang diakui dalam putusan ini. Salah satu
fokus utama penelitian adalah untuk menelaah sejauh mana Mahkamah Agung
mempertimbangkan konsep perbuatan melawan hukum dalam sengketa hak atas tanah
yang melibatkan PT Dago Inti Graha dan para tergugat. Penelitian ini penting
karena sengketa tanah sering kali melibatkan persoalan hukum yang kompleks,
termasuk klaim yang didasarkan pada bukti yang tidak sah atau prosedur administratif
yang tidak terpenuhi.
Tujuan kedua dari penelitian ini adalah untuk mengkaji
penerapan prinsip-prinsip hukum yang berlaku dalam kasus ini, khususnya
mengenai pertanggungjawaban pihak-pihak yang terlibat dalam perbuatan melawan
hukum. Penelitian ini akan mengidentifikasi dasar hukum yang digunakan oleh
Mahkamah Agung dalam memutuskan bahwa para tergugat melakukan tindakan melawan
hukum, serta mengevaluasi apakah putusan tersebut sejalan dengan prinsip
keadilan dan kepastian hukum. Analisis ini juga akan melihat sejauh mana pertimbangan
hukum tentang itikad baik dan keabsahan dokumen-dokumen legal yang diajukan
oleh para pihak berperan dalam keputusan pengadilan.
Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk memberikan
rekomendasi bagi perbaikan praktik hukum dalam penanganan sengketa tanah di
Indonesia, khususnya terkait penerapan konsep perbuatan melawan hukum. Dengan
menganalisis aspek-aspek hukum dalam putusan Mahkamah Agung ini, diharapkan
penelitian ini dapat memberikan wawasan lebih luas mengenai peran Mahkamah
dalam menegakkan aturan terkait perbuatan melawan hukum dalam konteks sengketa
tanah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi akademisi,
praktisi hukum, serta pengambil kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas
penegakan hukum di Indonesia.
Tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis penerapan konsep perbuatan melawan
hukum oleh Mahkamah Agung dalam sengketa tanah pada Putusan Nomor 934
K/Pdt/2019, serta mengkaji dasar hukum dan prinsip-prinsip keadilan serta
kepastian hukum yang digunakan Mahkamah Agung dalam memutuskan adanya perbuatan
melawan hukum pada kasus sengketa tanah ini.
Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka atau kajian
literatur. Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara menelaah berbagai literatur, dokumen, dan sumber-sumber tertulis
lainnya yang relevan dengan topik penelitian. Dalam konteks penelitian hukum,
metode ini sangat penting karena melibatkan penelaahan terhadap peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi, putusan pengadilan, buku teks, artikel
ilmiah, serta sumber-sumber akademis lainnya yang dapat memberikan pemahaman
mendalam terkait permasalahan yang diteliti. Studi pustaka menjadi metode utama
yang efektif ketika penelitian difokuskan pada analisis kasus hukum, seperti
dalam hal ini, sengketa tanah di Dago Elos yang diputuskan oleh Mahkamah Agung.
Langkah
pertama dalam studi pustaka adalah mengidentifikasi sumber-sumber utama yang
akan digunakan dalam penelitian. Sumber-sumber ini meliputi putusan Mahkamah
Agung Nomor 934 K/Pdt/2019 sebagai bahan utama, serta berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan hukum tanah dan hukum adat di Indonesia.
Dalam hal ini, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan berbagai peraturan lain
yang mengatur tentang hak ulayat dan tanah adat menjadi acuan penting. Selain
itu, dokumen-dokumen akademis, seperti jurnal hukum, artikel penelitian, dan
karya tulis yang membahas isu-isu terkait hukum tanah, hak ulayat, dan sengketa
pertanahan, akan digunakan untuk memberikan perspektif yang lebih luas.
Selanjutnya,
analisis terhadap literatur dilakukan dengan cara mengorganisasi dan
mengevaluasi informasi yang telah diperoleh. Dalam hal ini, penelitian akan
membandingkan berbagai pandangan dari sumber-sumber yang ada, mengidentifikasi
kesenjangan pengetahuan, serta menyusun argumen-argumen yang mendukung analisis
terhadap kasus sengketa tanah di Dago Elos. Dengan memanfaatkan berbagai sumber
pustaka, peneliti dapat memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai aspek
hukum yang menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara
tersebut. Hal ini juga mencakup analisis bagaimana hukum adat, terutama hak
ulayat, diakui dan diterapkan dalam konteks sistem hukum nasional Indonesia.
Metode
studi pustaka juga memungkinkan peneliti untuk menggali isu-isu hukum yang
lebih luas, seperti hubungan antara hukum adat dan hukum positif, serta
bagaimana konflik kepentingan antara masyarakat adat dan pihak-pihak lain,
seperti pemerintah atau pengembang, dapat diredam atau dikelola melalui
pendekatan hukum yang adil. Dengan kata lain, metode ini tidak hanya terbatas
pada analisis tekstual terhadap peraturan dan putusan, tetapi juga pada kajian
teoritis dan konseptual mengenai masalah hukum tanah di Indonesia.
Keunggulan
metode studi pustaka adalah kemampuannya untuk memberikan landasan teoritis
yang kuat dalam penelitian. Peneliti dapat merujuk pada berbagai pandangan
akademisi dan praktisi hukum yang sudah mendalami isu-isu yang terkait dengan
kasus yang diteliti. Studi pustaka juga memungkinkan peneliti untuk melakukan
perbandingan hukum dengan melihat kasus-kasus serupa yang pernah terjadi di
wilayah lain atau pada masa sebelumnya, sehingga dapat memahami pola
penyelesaian sengketa tanah di Indonesia.
Namun,
metode studi pustaka juga memiliki keterbatasan, terutama dalam hal akses
terhadap informasi terbaru atau dokumen yang tidak dipublikasikan secara
terbuka. Oleh karena itu, peneliti harus cermat dalam memilih sumber yang
kredibel dan relevan. Sumber-sumber yang digunakan harus diambil dari literatur
yang diakui keabsahannya, seperti jurnal ilmiah, putusan resmi pengadilan, dan
buku teks dari akademisi terkemuka.
Dengan
demikian, studi pustaka menjadi metode yang sangat tepat dalam penelitian ini,
karena memungkinkan peneliti untuk melakukan analisis yang mendalam terhadap
kasus sengketa tanah Dago Elos berdasarkan literatur hukum yang ada. Melalui
pendekatan ini, peneliti dapat menyusun argumen yang kuat mengenai bagaimana
hukum adat dan hak ulayat diterapkan dalam sengketa tanah di kawasan perkotaan,
serta bagaimana putusan Mahkamah Agung telah memutuskan perkara tersebut
berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan hukum yang berlaku di Indonesia.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Perbuatan melawan hukum
merupakan konsep yang krusial dalam sistem hukum, khususnya dalam konteks hukum
perdata dan pidana. Dalam hukum perdata, perbuatan melawan hukum dikenal
sebagai onrechtmatige daad, yang mengacu pada tindakan yang melanggar
ketentuan hukum yang berlaku dan menyebabkan kerugian kepada pihak lain. Konsep
ini diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang melanggar
hukum dan mengakibatkan kerugian kepada orang lain wajib mengganti kerugian
tersebut (Sari, 2021). Dalam hal ini, ada tiga unsur yang harus
dipenuhi untuk mengklaim adanya perbuatan melawan hukum: adanya tindakan yang
melanggar hukum, adanya kerugian yang diderita oleh pihak lain, dan adanya
hubungan kausal antara tindakan melawan hukum dan kerugian tersebut.
Di sisi lain, dalam hukum
pidana, perbuatan melawan hukum merujuk pada tindakan yang melanggar ketentuan
pidana yang diatur dalam undang-undang, dan diancam dengan sanksi pidana. Dalam
konteks ini, perbuatan melawan hukum tidak hanya dilihat dari sisi tindakan
yang dilakukan, tetapi juga dari niat atau motif di balik tindakan tersebut.
Prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege menjadi penting di sini,
yang artinya tidak ada kejahatan dan tidak ada hukuman tanpa adanya
undang-undang yang mengatur. Dengan kata lain, tindakan yang dapat dianggap
sebagai perbuatan melawan hukum harus jelas diatur dalam undang-undang dan
tidak dapat ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum.
Perbuatan melawan hukum juga
mencakup tindakan yang bertentangan dengan norma-norma sosial atau etika yang
berlaku dalam masyarakat. Sebagai contoh, tindakan diskriminasi, penipuan, dan
pencemaran nama baik dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, meskipun
tidak selalu diatur secara eksplisit dalam perundang-undangan. Dalam hal ini,
pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas, mencakup aspek moral dan
etika, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Oleh karena
itu, pengadilan juga memiliki peran penting dalam menentukan apakah suatu
tindakan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, dengan
mempertimbangkan konteks sosial dan budaya yang berlaku.
Dalam Putusan Nomor 934 K/Pdt/2019, Mahkamah Agung
Republik Indonesia menerapkan konsep perbuatan melawan hukum dalam konteks
sengketa tanah yang melibatkan PT Dago Inti Graha sebagai penggugat dan
beberapa individu serta entitas sebagai tergugat. Sengketa ini berfokus pada
klaim kepemilikan atas tanah yang sebelumnya dimiliki oleh pihak-pihak lain dan
kemudian menjadi objek sengketa antara para penggugat dan tergugat. Dalam
menganalisis penerapan konsep perbuatan melawan hukum, penting untuk melihat bagaimana
Mahkamah Agung mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh kedua belah
pihak, serta bagaimana norma-norma hukum diterapkan untuk menjelaskan sikap
para tergugat terhadap klaim yang diajukan.
Pada tingkat pengadilan negeri, sengketa tanah di Dago Elos, Bandung, didaftarkan oleh PT Dago Inti Graha sebagai Penggugat IV terhadap beberapa tergugat. Dalam putusannya, Pengadilan Negeri Bandung telah mempertimbangkan riwayat kepemilikan tanah yang menjadi objek sengketa. Riwayat ini didokumentasikan melalui serangkaian akta dan dokumen hukum yang sah, termasuk Acte Van Prijevings Van Eigendom Vervondings Nomor 3740, 3741, dan 3742, yang menunjukkan bahwa tanah-tanah tersebut dahulu dimiliki oleh George Hendrik M�ller. Pengadilan Negeri juga menyatakan bahwa pengoperan hak atas tanah dari para penggugat kepada PT Dago Inti Graha adalah sah menurut hukum, sehingga menegaskan keabsahan dokumen hukum dalam menentukan status tanah tersebut.
Di tingkat pengadilan tinggi, putusan Pengadilan Negeri
diperbarui setelah menerima permohonan banding dari para pembanding. Pengadilan
Tinggi Jawa Barat di Bandung memperhatikan detail-detail legalitas yang lebih
luas, termasuk status tanah ulayat jika ada. Sayangnya, dalam putusan Nomor
570/PDT/2017/PT.BDG, tidak ada referensi langsung tentang pertimbangan status
tanah ulayat dalam sengketa tanah di Dago Elos. Putusan ini lebih fokus pada
kevalidan dokumen hukum yang sudah ada dan kebenaran transfer hak milik tanah
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Pertama-tama, penerapan konsep perbuatan melawan hukum
oleh Mahkamah Agung dalam perkara ini dapat dilihat dari sudut pandang
pengertian dan unsur-unsur yang menyertainya. Perbuatan melawan hukum, dalam
konteks hukum perdata, sering diartikan sebagai tindakan yang bertentangan
dengan ketentuan hukum yang berlaku, baik yang tertulis dalam undang-undang
maupun norma-norma yang diakui dalam masyarakat (Slamet, 2013). Dalam kasus ini, Mahkamah Agung mengidentifikasi bahwa para tergugat
telah melakukan tindakan yang merugikan pihak lain, yaitu PT Dago Inti Graha,
yang mengklaim hak atas tanah berdasarkan akta yang sah. Tindakan para
tergugat, yang tetap bertahan pada klaim mereka meskipun tidak didukung oleh
dokumen dan proses hukum yang sah, diinterpretasikan sebagai perbuatan melawan
hukum.
Selanjutnya, Mahkamah Agung dalam putusannya menekankan
pentingnya bukti yang kuat dalam menentukan kepemilikan tanah. Dalam kasus ini,
PT Dago Inti Graha mengajukan bukti berupa akta yang menunjukkan bahwa mereka
memiliki hak atas tanah yang disengketakan. Sementara itu, para tergugat tidak
dapat membuktikan klaim mereka dengan dokumen yang memadai. Dalam analisis ini,
Mahkamah Agung menunjukkan bagaimana bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak
dipertimbangkan secara cermat. Tindakan para tergugat yang mempertahankan
kepemilikan tanah tanpa adanya dasar hukum yang kuat, dinyatakan sebagai
tindakan yang merugikan pihak lain, sehingga mengarah pada penilaian bahwa
mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Penerapan konsep perbuatan melawan hukum dalam putusan
ini juga berkaitan erat dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum. Mahkamah
Agung, dalam upayanya untuk menegakkan hukum, berpegang pada asas bahwa setiap
orang berhak atas kepemilikan yang sah atas tanah. Dalam hal ini, putusan yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung mencerminkan komitmen untuk melindungi hak-hak
pihak yang beritikad baik, dalam hal ini PT Dago Inti Graha, yang memiliki
dokumen yang sah sebagai bukti kepemilikannya. Di sisi lain, Mahkamah Agung
menegaskan bahwa tindakan para tergugat yang menolak untuk mengakui
dokumen-dokumen hukum yang ada dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak
orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung tidak hanya menegakkan
hukum, tetapi juga berusaha untuk mencapai keadilan bagi semua pihak yang
terlibat dalam sengketa ini.
Dalam konteks sengketa tanah yang melibatkan banyak
pihak, penting untuk memahami bagaimana Mahkamah Agung menanggapi situasi di
mana ada perbedaan klaim yang bertentangan. Penilaian terhadap perbuatan
melawan hukum dalam putusan ini mencakup evaluasi terhadap tindakan para
tergugat dalam mempertahankan klaim mereka atas tanah. Mahkamah Agung
mencermati bahwa para tergugat tidak hanya mengajukan klaim mereka, tetapi juga
berusaha mengabaikan dokumen dan prosedur hukum yang berlaku. Dalam hal ini,
Mahkamah Agung menilai bahwa tindakan tersebut dapat merugikan pihak yang
memiliki hak sah atas tanah, sehingga memperkuat argumen bahwa para tergugat
telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Selain itu, Mahkamah Agung juga menyoroti pentingnya
itikad baik dalam penguasaan tanah. Dalam putusannya, Mahkamah Agung menyatakan
bahwa PT Dago Inti Graha bertindak dengan itikad baik dalam memperoleh hak atas
tanah yang disengketakan. Hal ini diperkuat dengan adanya akta yang sah yang
menunjukkan bahwa penggugat telah melalui proses hukum yang benar dalam
mendapatkan kepemilikan tanah tersebut. Di sisi lain, para tergugat dinyatakan
tidak beritikad baik karena tetap mengklaim tanah meskipun tidak memiliki dasar
hukum yang kuat. Dengan demikian, penerapan konsep perbuatan melawan hukum oleh
Mahkamah Agung dalam perkara ini mencerminkan pertimbangan yang mendalam
mengenai itikad baik, kepemilikan yang sah, dan perlindungan terhadap hak-hak
pihak lain.
Mahkamah Agung juga menegaskan bahwa perbuatan melawan
hukum tidak hanya berfokus pada tindakan fisik, tetapi juga mencakup tindakan
administratif dan legal yang dapat berdampak pada hak-hak orang lain. Dalam
konteks ini, tindakan para tergugat yang mempertahankan klaim mereka meskipun
terdapat ketidakjelasan dalam kepemilikan yang sah dianggap sebagai bentuk
perbuatan melawan hukum. Dengan demikian, putusan ini memberikan gambaran yang
jelas mengenai bagaimana Mahkamah Agung menerapkan konsep perbuatan melawan
hukum dalam situasi sengketa tanah yang kompleks.
Secara keseluruhan, penerapan konsep perbuatan melawan
hukum dalam Putusan Nomor 934 K/Pdt/2019 oleh Mahkamah Agung menunjukkan
komitmen untuk menegakkan keadilan dan kepastian hukum. Mahkamah Agung berhasil
mengidentifikasi tindakan para tergugat sebagai tindakan yang tidak sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku, serta merugikan pihak lain yang memiliki
hak sah atas tanah. Melalui analisis yang cermat terhadap bukti-bukti yang
diajukan, Mahkamah Agung memberikan putusan yang tidak hanya berdasarkan pada
aspek legal, tetapi juga mempertimbangkan prinsip keadilan bagi semua pihak
yang terlibat.
Dalam Putusan Nomor 934 K/Pdt/2019, Mahkamah Agung
Republik Indonesia menggunakan beberapa dasar hukum yang berperan penting dalam
menilai dan memutuskan adanya perbuatan melawan hukum dalam sengketa tanah yang
melibatkan PT Dago Inti Graha dan para tergugat. Dasar hukum tersebut meliputi
ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan. Penerapan dasar hukum ini
tidak hanya berfungsi untuk menentukan siapa yang berhak atas tanah yang
disengketakan, tetapi juga untuk memastikan bahwa putusan yang diambil
mencerminkan prinsip keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak yang
terlibat.
Salah satu dasar hukum yang menjadi rujukan dalam putusan
ini adalah Pasal 1365 KUHPerdata, yang mengatur tentang perbuatan melawan
hukum. Dalam pasal tersebut, dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan
perbuatan yang melanggar hukum dan menyebabkan kerugian kepada orang lain,
wajib mengganti kerugian tersebut. Dalam konteks ini, Mahkamah Agung menilai
bahwa tindakan para tergugat yang tetap mengklaim hak atas tanah tanpa dukungan
bukti yang sah dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Dengan
merujuk pada ketentuan ini, Mahkamah Agung dapat menetapkan bahwa tindakan para
tergugat telah melanggar hak penggugat, yaitu PT Dago Inti Graha, yang memiliki
akta kepemilikan yang sah. Oleh karena itu, penerapan Pasal 1365 KUHPerdata
dalam putusan ini menjadi landasan yang kuat untuk mengidentifikasi adanya
perbuatan melawan hukum oleh para tergugat.
Selanjutnya, Mahkamah Agung juga mempertimbangkan Pasal
1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang sah harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam kasus ini, Mahkamah Agung menilai itikad
baik sebagai unsur penting yang harus diperhatikan dalam setiap klaim
kepemilikan tanah. PT Dago Inti Graha, sebagai penggugat, telah menunjukkan
itikad baiknya dengan melampirkan bukti yang sah, sedangkan para tergugat
dianggap tidak menunjukkan itikad baik karena tetap berpegang pada klaim mereka
meskipun tidak memiliki bukti hukum yang memadai. Penegakan prinsip itikad baik
ini penting untuk menjaga keadilan dalam hubungan hukum antar pihak dan
memastikan bahwa hak-hak individu tidak dilanggar. Dengan mengacu pada Pasal
1338, Mahkamah Agung dapat menjelaskan bahwa tidak adanya itikad baik dari para
tergugat mengakibatkan terjadinya ketidakadilan bagi pihak penggugat yang telah
mengikuti prosedur hukum yang benar (Halipah et al., 2023).
Di samping itu, Mahkamah Agung juga mengacu pada
peraturan yang lebih spesifik terkait tanah, seperti Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. UUPA mengatur mengenai hak atas tanah dan
penguasaan tanah yang sah. Dalam hal ini, Mahkamah Agung menegaskan bahwa hak
atas tanah harus dibuktikan melalui akta yang sah dan proses hukum yang sesuai.
Ketentuan ini menjadi sangat relevan dalam konteks sengketa tanah yang
kompleks, di mana banyak pihak mengklaim hak atas tanah yang sama. Dengan
mengacu pada UUPA, Mahkamah Agung dapat memperkuat argumennya bahwa hak-hak
atas tanah tidak bisa diabaikan dan harus diakui berdasarkan bukti yang jelas
dan sah, yang dalam hal ini ada pada penggugat.
Ketika menilai dasar hukum yang digunakan dalam putusan
ini, penting untuk mencermati apakah penerapan dasar hukum tersebut telah
memenuhi prinsip keadilan dan kepastian hukum. Mahkamah Agung, dalam memutuskan
perkara ini, terlihat berusaha keras untuk menciptakan keseimbangan antara
kepentingan para pihak. Dengan menjadikan dokumen sah sebagai dasar untuk
menetapkan kepemilikan, Mahkamah Agung menegaskan bahwa hak atas tanah harus
diakui berdasarkan bukti yang konkret dan prosedur yang benar. Dalam konteks
ini, prinsip keadilan tidak hanya mencakup perlindungan hak penggugat, tetapi
juga mempertimbangkan hak-hak tergugat untuk mengajukan klaim. Namun, ketika
klaim tersebut tidak didukung oleh bukti yang memadai, Mahkamah Agung secara
tegas menolak klaim tersebut demi menjaga keadilan bagi pihak yang telah
mengikuti prosedur hukum yang benar.
Lebih lanjut, putusan ini juga mencerminkan kepastian
hukum yang diharapkan dalam sistem hukum. Dengan menjadikan putusan ini sebagai
rujukan, diharapkan akan ada standar yang jelas mengenai bagaimana sengketa
tanah harus diselesaikan, serta apa yang menjadi syarat sah untuk mengklaim hak
atas tanah. Ketidakpastian dalam klaim kepemilikan tanah dapat mengakibatkan
sengketa berkepanjangan, yang pada gilirannya dapat menciptakan ketidakstabilan
dalam masyarakat (Yessica, 2014). Oleh karena itu, dengan mengedepankan bukti dan prosedur yang sah,
Mahkamah Agung berupaya memberikan kepastian hukum bagi pemilik hak atas tanah
yang sah, serta mencegah tindakan melawan hukum di masa mendatang.
Selain itu, penerapan prinsip keadilan dan kepastian
hukum dalam Putusan Nomor 934 K/Pdt/2019 juga menjadi penting dalam konteks
sosial dan ekonomi. Tanah adalah sumber daya yang sangat vital bagi masyarakat,
dan sengketa tanah yang berkepanjangan dapat berdampak pada kesejahteraan
masyarakat. Dengan memberikan keputusan yang tegas dan berlandaskan hukum yang
jelas, Mahkamah Agung tidak hanya menyelesaikan sengketa ini, tetapi juga
memberikan contoh yang baik tentang bagaimana hukum dapat berfungsi sebagai alat
untuk melindungi hak-hak masyarakat secara lebih luas. Hal ini sejalan dengan
upaya pemerintah untuk menciptakan lingkungan hukum yang kondusif bagi
investasi dan pengembangan ekonomi.
Selanjutnya, analisis terhadap dasar hukum yang digunakan
dalam putusan ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung tidak hanya berpegang pada
ketentuan yang tertulis, tetapi juga memperhatikan konteks sosial yang lebih
luas. Mahkamah Agung menyadari bahwa keputusan yang diambil tidak hanya
berdampak pada pihak-pihak yang terlibat langsung dalam sengketa, tetapi juga
pada masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, penerapan prinsip keadilan
dan kepastian hukum menjadi bagian integral dari proses pengambilan keputusan,
yang pada gilirannya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem
hukum.
Dalam hal ini, Mahkamah Agung berperan sebagai penegak
hukum yang tidak hanya memutuskan berdasarkan apa yang tertulis dalam
undang-undang, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai keadilan yang
diharapkan oleh masyarakat. Dengan demikian, dasar hukum yang digunakan dalam
Putusan Nomor 934 K/Pdt/2019 dapat dinilai telah memenuhi prinsip keadilan dan
kepastian hukum. Mahkamah Agung berhasil mengidentifikasi tindakan para
tergugat sebagai perbuatan melawan hukum, sambil tetap menjaga hak-hak pihak
lain dalam proses hukum yang berlaku.
Secara keseluruhan, analisis terhadap dasar hukum yang
digunakan oleh Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 934 K/Pdt/2019 menunjukkan
bahwa keputusan tersebut tidak hanya berdasarkan pada ketentuan hukum yang ada,
tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum. Melalui
penerapan hukum yang konsisten dan adil, Mahkamah Agung berupaya menciptakan
lingkungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat. Dengan memberikan keputusan
yang tegas terhadap perbuatan melawan hukum, Mahkamah Agung tidak hanya
menyelesaikan sengketa ini, tetapi juga memperkuat landasan hukum untuk
menghindari sengketa serupa di masa depan. Ini menjadi langkah penting dalam
upaya membangun kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia dan
menciptakan tatanan sosial yang lebih adil dan berkeadilan.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari analisis Putusan Nomor 934 K/Pdt/2019
menunjukkan bahwa Mahkamah Agung secara konsisten menerapkan konsep perbuatan
melawan hukum dalam sengketa tanah antara PT Dago Inti Graha dan para tergugat.
Mahkamah Agung berhasil mengidentifikasi tindakan tergugat yang mempertahankan
klaim tanah tanpa dasar hukum yang jelas sebagai perbuatan melawan hukum,
dengan dasar hukum yang kuat berdasarkan Pasal 1365 dan Pasal 1338 KUHPerdata.
Putusan ini menegakkan prinsip keadilan dan kepastian hukum, melindungi hak
pemilik tanah sah, serta memberikan standar penyelesaian sengketa tanah di masa
depan. Saran yang diajukan termasuk peningkatan pemahaman masyarakat tentang
dokumen hukum dan prosedur klaim kepemilikan tanah, serta edukasi oleh instansi
terkait. Untuk memperkuat kepastian hukum, disarankan peningkatan transparansi
dalam proses pengadilan dan publikasi putusan untuk memberi pemahaman yang
jelas kepada masyarakat. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, lembaga
hukum, dan masyarakat penting untuk menciptakan sistem hukum yang lebih baik,
dengan regulasi yang jelas tentang penguasaan dan pengalihan hak atas tanah
guna mengurangi sengketa tanah dan menciptakan keadilan yang merata.
DAFTAR PUSTAKA
Flora, H. S., SH, M., Kn, M., Kes, M. H., Kasmanto
Rinaldi, S. H., SI, M., Jusri Mudjrimin, S. H., Sitta Saraya, S. H., Yusrina
Handayani, S. H., & Ratna Jaya, S. H. (2024). Hukum Pidana Di Era
Digital. CV Rey Media Grafika.
Hajati, S., Winarsi, S., Sekarmadji, A.,
& Moechtar, O. (2020). Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan. Airlangga
University Press.
Halipah, G., Purnama, D. F., Pratama, B.
T., Suryadi, B., & Hidayat, F. (2023). Tinjauan Yuridis Konsep Perbuatan
Melawan Hukum dalam Konteks Hukum Perdata. Jurnal Penelitian Serambi Hukum,
16(01), 138�143.
Hapsari, A. S., & Fitriono, R. A.
(2024). Hambatan Pemberian Restitusi Bagi Anak Korban Pencabulan Dalam Putusan
Nomor 133/Pid. Sus/2023/PN. Skt. Jembatan Hukum: Kajian Ilmu Hukum, Sosial
Dan Administrasi Negara, 1(3), 101�113.
Kadir, Z. K. (2024). Hukum, Moral, atau
Pengendalian Sosial? Pergeseran Doktrin Hukum Pidana dalam Mengatur Kehidupan
Pribadi Warga di Cina. Crossroad Research Journal, 1(4), 140�160.
Kamagi, G. A. (2018). Perbuatan Melawan
Hukum (Onrechtmatige Daad) Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dan Perkembangannya. Lex Privatum, 6(5).
Labibah, I. F., Hasanah, I. Z., &
Yalhan, M. A. (2024). Peran Masyarakat Adat dalam Pemanfaatan dan Perlindungan
Hukum Tanah Ulayat Sumatera Barat. Journal Customary Law, 1(2),
15.
Lestari, B. F. K., Sumarni, S., &
Haswari, A. A. (2020). Tanggung Jawab Pelaku Tindak Pidana Kelalaian Dalam
Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Orang Lain (Studi Di Polres
Lombok Timur). Unizar Law Review (ULR), 3(2), 250�266.
Moniaga, R. R. G. W. (2024). PERLINDUNGAN
HUKUM HAK-HAK MASYARAKAT ATAS TANAH ADAT DI TENGAH MODERNISASI. LEX
ADMINISTRATUM, 12(4).
Muhammad, A. A. (2013). KESADARAN HUKUM
MASYARAKAT KAMPUNG MAHMUD UNTUK MEMILIKI SERTIFIKAT ATAS HAK ULAYAT: Studi
Kasus Di Kampung Adat Mahmud Desa Mekarrahayu Kecamatan Marga Asih Kabupaten
Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia.
Sari, I. (2021). Perbuatan Melawan Hukum
(PMH) Dalam Hukum Pidana Dan Hukum Perdata. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara,
11(1).
Slamet, S. R. (2013). Tuntutan Ganti Rugi
Dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu Perbandingan Dengan Wanprestasi. Lex
Jurnalica, 10(2), 18068.
Yessica, E. (2014). Karakteristik dan
Kaitan antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Sebelas Maret University.