Menganalisis Aspek Perbuatan Melawan Hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 934 K/Pdt/2019

 

Andryawan1, Barnabas Juni Saputra Gulo2, Mohammad Rubby Sriyanto3, Amanda Nissa Nurvicha4, Aldizya Jasmine5, Lisa Rahmasari6

Universitas Tarumanegara

[email protected], [email protected], [email protected],[email protected], [email protected], [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Kata Kunci: Hukum, Perdata, Tanah, Putusan, Kasasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

penelitian ini menganalisis penerapan konsep perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata Indonesia, dengan fokus pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 934 K/Pdt/2019 terkait sengketa tanah antara PT Dago Inti Graha dan pihak tergugat. Tanah di Indonesia memiliki peranan penting dalam budaya, ekonomi, dan identitas sosial, sehingga sering terjadi konflik kepemilikan, khususnya terkait hak ulayat. Penelitian ini menelaah interpretasi Mahkamah Agung mengenai perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 KUHPerdata, dengan tujuan mencapai keadilan dan kepastian hukum. Studi kasus ini menyoroti pentingnya dokumen sah dan prosedur hukum yang benar dalam klaim kepemilikan. Melalui studi literatur, penelitian ini menilai pertimbangan hukum Mahkamah Agung dan dampaknya terhadap prinsip keadilan dan itikad baik. Pada akhirnya, penelitian ini memberikan wawasan untuk memperbaiki praktik hukum dalam sengketa tanah dan memperkuat pemahaman tentang peran perbuatan melawan hukum dalam sistem peradilan Indonesia.

 

ABSTRACT

This research analyzes the application of the concept of tort in Indonesian civil law, with a focus on Supreme Court Decision Number 934 K/Pdt/2019 related to a land dispute between PT Dago Inti Graha and the defendant. Land in Indonesia has an important role in culture, economy, and social identity, so ownership conflicts often occur, especially related to customary rights. This research examines the Supreme Court's interpretation of tort under Article 1365 of the Civil Code, with the aim of achieving justice and legal certainty. The case study highlights the importance of legal documents and correct legal procedures in ownership claims. Through a literature review, this research assesses the Supreme Court's legal reasoning and its impact on the principles of fairness and good faith. Ultimately, this research provides insights to improve legal practice in land disputes and strengthens the understanding of the role of tort in the Indonesian justice system.

Law, Civil, Land, Decision, Cassation

 

 

PENDAHULUAN

Tanah adalah komponen fundamental dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai tempat tinggal dan sumber penghidupan, tetapi juga sebagai bagian dari identitas, budaya, dan warisan suatu komunitas (Labibah et al., 2024). Keberadaan tanah sebagai sumber daya alam yang terbatas menjadikannya objek vital yang seringkali diperebutkan. Dalam konteks Indonesia, tanah memegang peranan yang sangat penting karena negara ini memiliki penduduk yang terus bertambah dan pembangunan yang semakin pesat. Kebutuhan terhadap lahan untuk pemukiman, industri, pertanian, dan infrastruktur membuat tanah menjadi salah satu komoditas Pokok-Pokok Agraria (UUPA) (Hajati et al., 2020), diatur berbagai hak atas tanah yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Hak-hak tersebut memberikan kerangka hukum yang mengatur kepemilikan dan penggunaan tanah di Indonesia. Di Indonesia, hukum pertanahan sebagian besar berasal dari hukum adat yang berakar dalam sejarah panjang interaksi masyarakat dengan tanah. Hukum adat ini memandang tanah tidak hanya sebagai properti fisik yang dapat diperjualbelikan, tetapi juga sebagai elemen yang mengandung makna sosial, spiritual, dan budaya. Misalnya, masyarakat di Maluku mengenal berbagai jenis hak milik atas tanah, termasuk tanah adat yang tunduk kepada hukum petuanan, di mana tanah-tanah ini diwariskan turun-temurun dalam komunitas tertentu. Di beberapa wilayah, seperti di Bandung, tanah adat dikenal dengan sebutan tanah ulayat, yang merupakan tanah milik komunal yang dikelola oleh kelompok masyarakat adat (Muhammad, 2013). Sistem pengelolaan tanah adat ini merupakan cerminan dari kearifan lokal dalam mengatur sumber daya alam, namun juga menimbulkan berbagai tantangan dalam sistem hukum nasional.

Seiring dengan waktu tanah adat dan tanah ulayat menghadapi tantangan besar dalam konteks Pembangunan modern (Moniaga, 2024). Pertumbuhan penduduk yang pesat, industrialisasi, dan urbanisasi telah meningkatkan permintaan terhadap tanah, baik untuk keperluan Pembangunan, infrastruktur, Perkebunan. Akibat dari pertumbuhan tersebut terjadilah perselisihan kasus tanah, dikarenakan penduduk menepati tanah yang bukan hak milik pribadi sehingga mengakibatkan kasus perbuatan melawan hukum (PMH). konsep perbuatan melawan hukum (PMH)sendiri telah menjadi bagian penting dalam studi dan praktik hukum di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, perbuatan melawan hukum dikenal dengan istilah onrechtmatige daad, yang berasal dari bahasa Belanda. Istilah ini memiliki sejarah panjang dalam perkembangan hukum di Indonesia, terutama karena pengaruh dari sistem hukum kolonial yang pernah berlaku. Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dijelaskan bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum dan menyebabkan kerugian kepada orang lain mewajibkan pihak yang bersalah untuk mengganti kerugian tersebut (Kamagi, 2018). Pengaturan ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat kontrol sosial, tetapi juga sebagai mekanisme untuk memperbaiki ketidakadilan yang timbul akibat pelanggaran hak-hak individu.

Perbuatan melawan hukum dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan kategori. Salah satu jenis perbuatan melawan hukum yang umum ditemukan dalam kehidupan sehari-hari adalah tort, atau perbuatan melawan hukum dalam ranah perdata. Tort merujuk pada tindakan seseorang yang, meskipun tidak selalu melanggar undang-undang pidana, dapat menyebabkan kerugian kepada individu lain atau kelompok. Sebagai contoh, tindakan seseorang yang dengan sengaja merusak properti milik orang lain tanpa alasan yang sah merupakan perbuatan melawan hukum dalam ranah tort. Demikian pula, tindakan yang mengakibatkan kerugian fisik atau emosional kepada orang lain, seperti kasus kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh kelalaian pengemudi, juga dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum (Lestari et al., 2020).

Namun, pengertian perbuatan melawan hukum tidak selalu bersifat sederhana, karena hukum tidak hanya melihat aspek tindakan fisik, tetapi juga mempertimbangkan niat atau motif di balik tindakan tersebut (Flora et al., 2024). Dalam beberapa kasus, tindakan yang secara kasat mata terlihat melanggar hukum mungkin dianggap sah apabila ada justifikasi tertentu yang diakui oleh hukum. Misalnya, dalam kasus pertahanan diri, seseorang yang melakukan tindakan yang seharusnya dianggap melawan hukum, seperti melukai penyerang, mungkin tidak akan dianggap bersalah karena tindakan tersebut dilakukan untuk melindungi diri sendiri dari ancaman yang lebih besar.

Di sisi lain, perbuatan melawan hukum juga dapat terjadi dalam konteks hukum pidana, di mana tindakan tersebut melibatkan pelanggaran terhadap norma-norma dasar yang diatur oleh negara dan diancam dengan sanksi pidana. Pencurian, penipuan, pembunuhan, dan pemerasan adalah contoh perbuatan melawan hukum dalam ranah pidana. Perbedaan utama antara perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata dan hukum pidana terletak pada dampak dan konsekuensi hukum yang dihadapinya. Dalam hukum perdata, fokus utama adalah pemulihan atau kompensasi atas kerugian yang diderita oleh korban, sedangkan dalam hukum pidana, tujuan utamanya adalah pemberian hukuman yang setimpal bagi pelaku agar dapat memberikan efek jera dan mencegah kejahatan serupa di masa depan (Hapsari & Fitriono, 2024).

Dalam perkembangan teori hukum, konsep perbuatan melawan hukum terus mengalami perubahan dan penyesuaian. Salah satu perkembangan penting adalah terkait dengan perluasan interpretasi tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum. Pada masa lalu, pengertian perbuatan melawan hukum lebih berfokus pada tindakan yang secara langsung melanggar undang-undang yang tertulis. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, pandangan ini berkembang menjadi lebih luas, sehingga mencakup tindakan-tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip moral, etika, atau norma sosial yang berlaku, meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam undang-undang tertulis (Kadir, 2024).

Di Indonesia, upaya untuk mengatasi perbuatan melawan hukum dilakukan melalui berbagai mekanisme hukum, baik di tingkat legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Pengadilan berperan penting dalam menegakkan keadilan bagi para korban perbuatan melawan hukum, dengan memberikan putusan yang berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum. Sementara itu, pemerintah, melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkan, berupaya untuk memperketat pengawasan dan penegakan hukum di berbagai sektor, termasuk di bidang ekonomi, sosial, dan teknologi.

Dalam putusan Nomor 934 K/Pdt/2019, Mahkamah Agung Republik Indonesia menangani perkara sengketa tanah antara PT Dago Inti Graha (Penggugat IV) dan beberapa tergugat yang terkait dengan tanah bekas Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741, dan 3742 yang terletak di Kecamatan Coblong, Kota Bandung. Tanah tersebut menjadi objek sengketa karena klaim kepemilikan oleh para ahli waris serta pengoperan hak yang dilakukan oleh para pihak terkait.

Kasus ini bermula pada tingkat pengadilan negeri, perkara ini diajukan oleh PT Dago Inti Graha sebagai Penggugat IV terhadap sejumlah tergugat terkait sengketa tanah yang berasal dari bekas Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741, dan 3742. Pengadilan Negeri mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, menyatakan sahnya penetapan dari Pengadilan Agama Kelas I A Cimahi yang menetapkan para ahli waris dari Eduar Muller, serta menetapkan riwayat kepemilikan tanah berdasarkan akta dan dokumen hukum yang relevan. Pengadilan juga mengakui keberadaan sita hak milik atas tanah negara tersebut dan menyatakan bahwa sertifikat yang dikeluarkan oleh instansi terkait tidak sah.

Pengadilan Negeri lebih lanjut memutuskan bahwa para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum mereka untuk mengosongkan tanah serta menyerahkannya kepada PT Dago Inti Graha. Selain itu, pengadilan memerintahkan para tergugat untuk membayar biaya perkara secara tanggung renteng. Dengan demikian, putusan ini menekankan pentingnya keabsahan dokumen hukum dalam menentukan kepemilikan tanah dan memberikan perlindungan hukum kepada pihak yang memiliki bukti sah atas hak milik tersebut.

Kemudian, pada tingkat pengadilan tinggi, putusan Pengadilan Negeri Bandung yang dihasilkan pada tanggal 24 Agustus 2017, No. 454/Pdt.G/2016/PN.Bdg, diperbaiki dengan menerima permohonan banding dari para pembanding, yang sebelumnya merupakan para tergugat. Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa sita hak milik (Revindicatoir beslag) atas tanah negara bekas Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741, dan 3742 tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan demikian, perintah untuk mengangkat sita tersebut juga dikeluarkan dalam keputusan ini. Selain itu, Pengadilan Tinggi menegaskan bahwa riwayat kepemilikan tanah yang menjadi objek sengketa adalah sah berdasarkan akta-akta yang telah diterjemahkan dari Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia. Pengadilan juga menyatakan bahwa pengoperan hak atas tanah dari para penggugat kepada PT Dago Inti Graha adalah sah menurut hukum.

Kemudian, pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung melalui putusan no. 934 K/Pdt/2019 menilai bahwa para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum terkait klaim mereka atas tanah tersebut. Dalam putusan ini, Penggugat IV, PT Dago Inti Graha, diberikan hak atas tanah sengketa berdasarkan pengoperan hak yang sah melalui akta yang dibuat oleh notaris, meskipun akta ini dipertanyakan oleh pihak tergugat. Penggugat IV dianggap beriktikad baik dalam mendapatkan hak atas tanah tersebut, meskipun kemudian Mahkamah Agung mengakui bahwa ada ketidaksesuaian hukum pada beberapa aspek administratif terkait pengoperan hak tersebut.

Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa sertifikat-sertifikat yang dikeluarkan oleh instansi terkait (seperti Kantor Pertanahan Kota Bandung dan Kantor Kelurahan Dago) yang menyebutkan tanah-tanah ini tidak sah atau tidak memiliki kekuatan hukum. Oleh karena itu, para tergugat diperintahkan untuk mengosongkan tanah tersebut dan menyerahkannya kepada PT Dago Inti Graha tanpa syarat, serta menanggung biaya perkara secara tanggung renteng.

Putusan ini mencerminkan penerapan konsep perbuatan melawan hukum dalam konteks sengketa perdata, khususnya mengenai hak atas tanah. Mahkamah Agung mempertegas bahwa klaim kepemilikan harus didasarkan pada bukti sah dan proses administrasi yang benar. Sementara itu, tindakan para tergugat yang mempertahankan tanah tanpa dasar hukum yang jelas dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, karena merugikan pihak yang telah mendapatkan hak melalui prosedur yang diakui hukum.

bertujuan untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang diakui dalam putusan ini. Salah satu fokus utama penelitian adalah untuk menelaah sejauh mana Mahkamah Agung mempertimbangkan konsep perbuatan melawan hukum dalam sengketa hak atas tanah yang melibatkan PT Dago Inti Graha dan para tergugat. Penelitian ini penting karena sengketa tanah sering kali melibatkan persoalan hukum yang kompleks, termasuk klaim yang didasarkan pada bukti yang tidak sah atau prosedur administratif yang tidak terpenuhi.

Tujuan kedua dari penelitian ini adalah untuk mengkaji penerapan prinsip-prinsip hukum yang berlaku dalam kasus ini, khususnya mengenai pertanggungjawaban pihak-pihak yang terlibat dalam perbuatan melawan hukum. Penelitian ini akan mengidentifikasi dasar hukum yang digunakan oleh Mahkamah Agung dalam memutuskan bahwa para tergugat melakukan tindakan melawan hukum, serta mengevaluasi apakah putusan tersebut sejalan dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum. Analisis ini juga akan melihat sejauh mana pertimbangan hukum tentang itikad baik dan keabsahan dokumen-dokumen legal yang diajukan oleh para pihak berperan dalam keputusan pengadilan.

Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk memberikan rekomendasi bagi perbaikan praktik hukum dalam penanganan sengketa tanah di Indonesia, khususnya terkait penerapan konsep perbuatan melawan hukum. Dengan menganalisis aspek-aspek hukum dalam putusan Mahkamah Agung ini, diharapkan penelitian ini dapat memberikan wawasan lebih luas mengenai peran Mahkamah dalam menegakkan aturan terkait perbuatan melawan hukum dalam konteks sengketa tanah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi akademisi, praktisi hukum, serta pengambil kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas penegakan hukum di Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis penerapan konsep perbuatan melawan hukum oleh Mahkamah Agung dalam sengketa tanah pada Putusan Nomor 934 K/Pdt/2019, serta mengkaji dasar hukum dan prinsip-prinsip keadilan serta kepastian hukum yang digunakan Mahkamah Agung dalam memutuskan adanya perbuatan melawan hukum pada kasus sengketa tanah ini.

 

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka atau kajian literatur. Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menelaah berbagai literatur, dokumen, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang relevan dengan topik penelitian. Dalam konteks penelitian hukum, metode ini sangat penting karena melibatkan penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, putusan pengadilan, buku teks, artikel ilmiah, serta sumber-sumber akademis lainnya yang dapat memberikan pemahaman mendalam terkait permasalahan yang diteliti. Studi pustaka menjadi metode utama yang efektif ketika penelitian difokuskan pada analisis kasus hukum, seperti dalam hal ini, sengketa tanah di Dago Elos yang diputuskan oleh Mahkamah Agung.

Langkah pertama dalam studi pustaka adalah mengidentifikasi sumber-sumber utama yang akan digunakan dalam penelitian. Sumber-sumber ini meliputi putusan Mahkamah Agung Nomor 934 K/Pdt/2019 sebagai bahan utama, serta berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hukum tanah dan hukum adat di Indonesia. Dalam hal ini, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan berbagai peraturan lain yang mengatur tentang hak ulayat dan tanah adat menjadi acuan penting. Selain itu, dokumen-dokumen akademis, seperti jurnal hukum, artikel penelitian, dan karya tulis yang membahas isu-isu terkait hukum tanah, hak ulayat, dan sengketa pertanahan, akan digunakan untuk memberikan perspektif yang lebih luas.

Selanjutnya, analisis terhadap literatur dilakukan dengan cara mengorganisasi dan mengevaluasi informasi yang telah diperoleh. Dalam hal ini, penelitian akan membandingkan berbagai pandangan dari sumber-sumber yang ada, mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan, serta menyusun argumen-argumen yang mendukung analisis terhadap kasus sengketa tanah di Dago Elos. Dengan memanfaatkan berbagai sumber pustaka, peneliti dapat memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai aspek hukum yang menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara tersebut. Hal ini juga mencakup analisis bagaimana hukum adat, terutama hak ulayat, diakui dan diterapkan dalam konteks sistem hukum nasional Indonesia.

Metode studi pustaka juga memungkinkan peneliti untuk menggali isu-isu hukum yang lebih luas, seperti hubungan antara hukum adat dan hukum positif, serta bagaimana konflik kepentingan antara masyarakat adat dan pihak-pihak lain, seperti pemerintah atau pengembang, dapat diredam atau dikelola melalui pendekatan hukum yang adil. Dengan kata lain, metode ini tidak hanya terbatas pada analisis tekstual terhadap peraturan dan putusan, tetapi juga pada kajian teoritis dan konseptual mengenai masalah hukum tanah di Indonesia.

Keunggulan metode studi pustaka adalah kemampuannya untuk memberikan landasan teoritis yang kuat dalam penelitian. Peneliti dapat merujuk pada berbagai pandangan akademisi dan praktisi hukum yang sudah mendalami isu-isu yang terkait dengan kasus yang diteliti. Studi pustaka juga memungkinkan peneliti untuk melakukan perbandingan hukum dengan melihat kasus-kasus serupa yang pernah terjadi di wilayah lain atau pada masa sebelumnya, sehingga dapat memahami pola penyelesaian sengketa tanah di Indonesia.

Namun, metode studi pustaka juga memiliki keterbatasan, terutama dalam hal akses terhadap informasi terbaru atau dokumen yang tidak dipublikasikan secara terbuka. Oleh karena itu, peneliti harus cermat dalam memilih sumber yang kredibel dan relevan. Sumber-sumber yang digunakan harus diambil dari literatur yang diakui keabsahannya, seperti jurnal ilmiah, putusan resmi pengadilan, dan buku teks dari akademisi terkemuka.

Dengan demikian, studi pustaka menjadi metode yang sangat tepat dalam penelitian ini, karena memungkinkan peneliti untuk melakukan analisis yang mendalam terhadap kasus sengketa tanah Dago Elos berdasarkan literatur hukum yang ada. Melalui pendekatan ini, peneliti dapat menyusun argumen yang kuat mengenai bagaimana hukum adat dan hak ulayat diterapkan dalam sengketa tanah di kawasan perkotaan, serta bagaimana putusan Mahkamah Agung telah memutuskan perkara tersebut berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan hukum yang berlaku di Indonesia.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbuatan melawan hukum merupakan konsep yang krusial dalam sistem hukum, khususnya dalam konteks hukum perdata dan pidana. Dalam hukum perdata, perbuatan melawan hukum dikenal sebagai onrechtmatige daad, yang mengacu pada tindakan yang melanggar ketentuan hukum yang berlaku dan menyebabkan kerugian kepada pihak lain. Konsep ini diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan mengakibatkan kerugian kepada orang lain wajib mengganti kerugian tersebut (Sari, 2021). Dalam hal ini, ada tiga unsur yang harus dipenuhi untuk mengklaim adanya perbuatan melawan hukum: adanya tindakan yang melanggar hukum, adanya kerugian yang diderita oleh pihak lain, dan adanya hubungan kausal antara tindakan melawan hukum dan kerugian tersebut.

Di sisi lain, dalam hukum pidana, perbuatan melawan hukum merujuk pada tindakan yang melanggar ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang, dan diancam dengan sanksi pidana. Dalam konteks ini, perbuatan melawan hukum tidak hanya dilihat dari sisi tindakan yang dilakukan, tetapi juga dari niat atau motif di balik tindakan tersebut. Prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege menjadi penting di sini, yang artinya tidak ada kejahatan dan tidak ada hukuman tanpa adanya undang-undang yang mengatur. Dengan kata lain, tindakan yang dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum harus jelas diatur dalam undang-undang dan tidak dapat ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum.

Perbuatan melawan hukum juga mencakup tindakan yang bertentangan dengan norma-norma sosial atau etika yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai contoh, tindakan diskriminasi, penipuan, dan pencemaran nama baik dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, meskipun tidak selalu diatur secara eksplisit dalam perundang-undangan. Dalam hal ini, pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas, mencakup aspek moral dan etika, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Oleh karena itu, pengadilan juga memiliki peran penting dalam menentukan apakah suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, dengan mempertimbangkan konteks sosial dan budaya yang berlaku.

Dalam Putusan Nomor 934 K/Pdt/2019, Mahkamah Agung Republik Indonesia menerapkan konsep perbuatan melawan hukum dalam konteks sengketa tanah yang melibatkan PT Dago Inti Graha sebagai penggugat dan beberapa individu serta entitas sebagai tergugat. Sengketa ini berfokus pada klaim kepemilikan atas tanah yang sebelumnya dimiliki oleh pihak-pihak lain dan kemudian menjadi objek sengketa antara para penggugat dan tergugat. Dalam menganalisis penerapan konsep perbuatan melawan hukum, penting untuk melihat bagaimana Mahkamah Agung mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak, serta bagaimana norma-norma hukum diterapkan untuk menjelaskan sikap para tergugat terhadap klaim yang diajukan.

Pada tingkat pengadilan negeri, sengketa tanah di Dago Elos, Bandung, didaftarkan oleh PT Dago Inti Graha sebagai Penggugat IV terhadap beberapa tergugat. Dalam putusannya, Pengadilan Negeri Bandung telah mempertimbangkan riwayat kepemilikan tanah yang menjadi objek sengketa. Riwayat ini didokumentasikan melalui serangkaian akta dan dokumen hukum yang sah, termasuk Acte Van Prijevings Van Eigendom Vervondings Nomor 3740, 3741, dan 3742, yang menunjukkan bahwa tanah-tanah tersebut dahulu dimiliki oleh George Hendrik M�ller. Pengadilan Negeri juga menyatakan bahwa pengoperan hak atas tanah dari para penggugat kepada PT Dago Inti Graha adalah sah menurut hukum, sehingga menegaskan keabsahan dokumen hukum dalam menentukan status tanah tersebut.

Di tingkat pengadilan tinggi, putusan Pengadilan Negeri diperbarui setelah menerima permohonan banding dari para pembanding. Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung memperhatikan detail-detail legalitas yang lebih luas, termasuk status tanah ulayat jika ada. Sayangnya, dalam putusan Nomor 570/PDT/2017/PT.BDG, tidak ada referensi langsung tentang pertimbangan status tanah ulayat dalam sengketa tanah di Dago Elos. Putusan ini lebih fokus pada kevalidan dokumen hukum yang sudah ada dan kebenaran transfer hak milik tanah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Pertama-tama, penerapan konsep perbuatan melawan hukum oleh Mahkamah Agung dalam perkara ini dapat dilihat dari sudut pandang pengertian dan unsur-unsur yang menyertainya. Perbuatan melawan hukum, dalam konteks hukum perdata, sering diartikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, baik yang tertulis dalam undang-undang maupun norma-norma yang diakui dalam masyarakat (Slamet, 2013). Dalam kasus ini, Mahkamah Agung mengidentifikasi bahwa para tergugat telah melakukan tindakan yang merugikan pihak lain, yaitu PT Dago Inti Graha, yang mengklaim hak atas tanah berdasarkan akta yang sah. Tindakan para tergugat, yang tetap bertahan pada klaim mereka meskipun tidak didukung oleh dokumen dan proses hukum yang sah, diinterpretasikan sebagai perbuatan melawan hukum.

Selanjutnya, Mahkamah Agung dalam putusannya menekankan pentingnya bukti yang kuat dalam menentukan kepemilikan tanah. Dalam kasus ini, PT Dago Inti Graha mengajukan bukti berupa akta yang menunjukkan bahwa mereka memiliki hak atas tanah yang disengketakan. Sementara itu, para tergugat tidak dapat membuktikan klaim mereka dengan dokumen yang memadai. Dalam analisis ini, Mahkamah Agung menunjukkan bagaimana bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak dipertimbangkan secara cermat. Tindakan para tergugat yang mempertahankan kepemilikan tanah tanpa adanya dasar hukum yang kuat, dinyatakan sebagai tindakan yang merugikan pihak lain, sehingga mengarah pada penilaian bahwa mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Penerapan konsep perbuatan melawan hukum dalam putusan ini juga berkaitan erat dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum. Mahkamah Agung, dalam upayanya untuk menegakkan hukum, berpegang pada asas bahwa setiap orang berhak atas kepemilikan yang sah atas tanah. Dalam hal ini, putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung mencerminkan komitmen untuk melindungi hak-hak pihak yang beritikad baik, dalam hal ini PT Dago Inti Graha, yang memiliki dokumen yang sah sebagai bukti kepemilikannya. Di sisi lain, Mahkamah Agung menegaskan bahwa tindakan para tergugat yang menolak untuk mengakui dokumen-dokumen hukum yang ada dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga berusaha untuk mencapai keadilan bagi semua pihak yang terlibat dalam sengketa ini.

Dalam konteks sengketa tanah yang melibatkan banyak pihak, penting untuk memahami bagaimana Mahkamah Agung menanggapi situasi di mana ada perbedaan klaim yang bertentangan. Penilaian terhadap perbuatan melawan hukum dalam putusan ini mencakup evaluasi terhadap tindakan para tergugat dalam mempertahankan klaim mereka atas tanah. Mahkamah Agung mencermati bahwa para tergugat tidak hanya mengajukan klaim mereka, tetapi juga berusaha mengabaikan dokumen dan prosedur hukum yang berlaku. Dalam hal ini, Mahkamah Agung menilai bahwa tindakan tersebut dapat merugikan pihak yang memiliki hak sah atas tanah, sehingga memperkuat argumen bahwa para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Selain itu, Mahkamah Agung juga menyoroti pentingnya itikad baik dalam penguasaan tanah. Dalam putusannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa PT Dago Inti Graha bertindak dengan itikad baik dalam memperoleh hak atas tanah yang disengketakan. Hal ini diperkuat dengan adanya akta yang sah yang menunjukkan bahwa penggugat telah melalui proses hukum yang benar dalam mendapatkan kepemilikan tanah tersebut. Di sisi lain, para tergugat dinyatakan tidak beritikad baik karena tetap mengklaim tanah meskipun tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Dengan demikian, penerapan konsep perbuatan melawan hukum oleh Mahkamah Agung dalam perkara ini mencerminkan pertimbangan yang mendalam mengenai itikad baik, kepemilikan yang sah, dan perlindungan terhadap hak-hak pihak lain.

Mahkamah Agung juga menegaskan bahwa perbuatan melawan hukum tidak hanya berfokus pada tindakan fisik, tetapi juga mencakup tindakan administratif dan legal yang dapat berdampak pada hak-hak orang lain. Dalam konteks ini, tindakan para tergugat yang mempertahankan klaim mereka meskipun terdapat ketidakjelasan dalam kepemilikan yang sah dianggap sebagai bentuk perbuatan melawan hukum. Dengan demikian, putusan ini memberikan gambaran yang jelas mengenai bagaimana Mahkamah Agung menerapkan konsep perbuatan melawan hukum dalam situasi sengketa tanah yang kompleks.

Secara keseluruhan, penerapan konsep perbuatan melawan hukum dalam Putusan Nomor 934 K/Pdt/2019 oleh Mahkamah Agung menunjukkan komitmen untuk menegakkan keadilan dan kepastian hukum. Mahkamah Agung berhasil mengidentifikasi tindakan para tergugat sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, serta merugikan pihak lain yang memiliki hak sah atas tanah. Melalui analisis yang cermat terhadap bukti-bukti yang diajukan, Mahkamah Agung memberikan putusan yang tidak hanya berdasarkan pada aspek legal, tetapi juga mempertimbangkan prinsip keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Dalam Putusan Nomor 934 K/Pdt/2019, Mahkamah Agung Republik Indonesia menggunakan beberapa dasar hukum yang berperan penting dalam menilai dan memutuskan adanya perbuatan melawan hukum dalam sengketa tanah yang melibatkan PT Dago Inti Graha dan para tergugat. Dasar hukum tersebut meliputi ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan. Penerapan dasar hukum ini tidak hanya berfungsi untuk menentukan siapa yang berhak atas tanah yang disengketakan, tetapi juga untuk memastikan bahwa putusan yang diambil mencerminkan prinsip keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.

Salah satu dasar hukum yang menjadi rujukan dalam putusan ini adalah Pasal 1365 KUHPerdata, yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum. Dalam pasal tersebut, dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan menyebabkan kerugian kepada orang lain, wajib mengganti kerugian tersebut. Dalam konteks ini, Mahkamah Agung menilai bahwa tindakan para tergugat yang tetap mengklaim hak atas tanah tanpa dukungan bukti yang sah dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Dengan merujuk pada ketentuan ini, Mahkamah Agung dapat menetapkan bahwa tindakan para tergugat telah melanggar hak penggugat, yaitu PT Dago Inti Graha, yang memiliki akta kepemilikan yang sah. Oleh karena itu, penerapan Pasal 1365 KUHPerdata dalam putusan ini menjadi landasan yang kuat untuk mengidentifikasi adanya perbuatan melawan hukum oleh para tergugat.

Selanjutnya, Mahkamah Agung juga mempertimbangkan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang sah harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam kasus ini, Mahkamah Agung menilai itikad baik sebagai unsur penting yang harus diperhatikan dalam setiap klaim kepemilikan tanah. PT Dago Inti Graha, sebagai penggugat, telah menunjukkan itikad baiknya dengan melampirkan bukti yang sah, sedangkan para tergugat dianggap tidak menunjukkan itikad baik karena tetap berpegang pada klaim mereka meskipun tidak memiliki bukti hukum yang memadai. Penegakan prinsip itikad baik ini penting untuk menjaga keadilan dalam hubungan hukum antar pihak dan memastikan bahwa hak-hak individu tidak dilanggar. Dengan mengacu pada Pasal 1338, Mahkamah Agung dapat menjelaskan bahwa tidak adanya itikad baik dari para tergugat mengakibatkan terjadinya ketidakadilan bagi pihak penggugat yang telah mengikuti prosedur hukum yang benar (Halipah et al., 2023).

Di samping itu, Mahkamah Agung juga mengacu pada peraturan yang lebih spesifik terkait tanah, seperti Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. UUPA mengatur mengenai hak atas tanah dan penguasaan tanah yang sah. Dalam hal ini, Mahkamah Agung menegaskan bahwa hak atas tanah harus dibuktikan melalui akta yang sah dan proses hukum yang sesuai. Ketentuan ini menjadi sangat relevan dalam konteks sengketa tanah yang kompleks, di mana banyak pihak mengklaim hak atas tanah yang sama. Dengan mengacu pada UUPA, Mahkamah Agung dapat memperkuat argumennya bahwa hak-hak atas tanah tidak bisa diabaikan dan harus diakui berdasarkan bukti yang jelas dan sah, yang dalam hal ini ada pada penggugat.

Ketika menilai dasar hukum yang digunakan dalam putusan ini, penting untuk mencermati apakah penerapan dasar hukum tersebut telah memenuhi prinsip keadilan dan kepastian hukum. Mahkamah Agung, dalam memutuskan perkara ini, terlihat berusaha keras untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan para pihak. Dengan menjadikan dokumen sah sebagai dasar untuk menetapkan kepemilikan, Mahkamah Agung menegaskan bahwa hak atas tanah harus diakui berdasarkan bukti yang konkret dan prosedur yang benar. Dalam konteks ini, prinsip keadilan tidak hanya mencakup perlindungan hak penggugat, tetapi juga mempertimbangkan hak-hak tergugat untuk mengajukan klaim. Namun, ketika klaim tersebut tidak didukung oleh bukti yang memadai, Mahkamah Agung secara tegas menolak klaim tersebut demi menjaga keadilan bagi pihak yang telah mengikuti prosedur hukum yang benar.

Lebih lanjut, putusan ini juga mencerminkan kepastian hukum yang diharapkan dalam sistem hukum. Dengan menjadikan putusan ini sebagai rujukan, diharapkan akan ada standar yang jelas mengenai bagaimana sengketa tanah harus diselesaikan, serta apa yang menjadi syarat sah untuk mengklaim hak atas tanah. Ketidakpastian dalam klaim kepemilikan tanah dapat mengakibatkan sengketa berkepanjangan, yang pada gilirannya dapat menciptakan ketidakstabilan dalam masyarakat (Yessica, 2014). Oleh karena itu, dengan mengedepankan bukti dan prosedur yang sah, Mahkamah Agung berupaya memberikan kepastian hukum bagi pemilik hak atas tanah yang sah, serta mencegah tindakan melawan hukum di masa mendatang.

Selain itu, penerapan prinsip keadilan dan kepastian hukum dalam Putusan Nomor 934 K/Pdt/2019 juga menjadi penting dalam konteks sosial dan ekonomi. Tanah adalah sumber daya yang sangat vital bagi masyarakat, dan sengketa tanah yang berkepanjangan dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Dengan memberikan keputusan yang tegas dan berlandaskan hukum yang jelas, Mahkamah Agung tidak hanya menyelesaikan sengketa ini, tetapi juga memberikan contoh yang baik tentang bagaimana hukum dapat berfungsi sebagai alat untuk melindungi hak-hak masyarakat secara lebih luas. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk menciptakan lingkungan hukum yang kondusif bagi investasi dan pengembangan ekonomi.

Selanjutnya, analisis terhadap dasar hukum yang digunakan dalam putusan ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung tidak hanya berpegang pada ketentuan yang tertulis, tetapi juga memperhatikan konteks sosial yang lebih luas. Mahkamah Agung menyadari bahwa keputusan yang diambil tidak hanya berdampak pada pihak-pihak yang terlibat langsung dalam sengketa, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, penerapan prinsip keadilan dan kepastian hukum menjadi bagian integral dari proses pengambilan keputusan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.

Dalam hal ini, Mahkamah Agung berperan sebagai penegak hukum yang tidak hanya memutuskan berdasarkan apa yang tertulis dalam undang-undang, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai keadilan yang diharapkan oleh masyarakat. Dengan demikian, dasar hukum yang digunakan dalam Putusan Nomor 934 K/Pdt/2019 dapat dinilai telah memenuhi prinsip keadilan dan kepastian hukum. Mahkamah Agung berhasil mengidentifikasi tindakan para tergugat sebagai perbuatan melawan hukum, sambil tetap menjaga hak-hak pihak lain dalam proses hukum yang berlaku.

Secara keseluruhan, analisis terhadap dasar hukum yang digunakan oleh Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 934 K/Pdt/2019 menunjukkan bahwa keputusan tersebut tidak hanya berdasarkan pada ketentuan hukum yang ada, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum. Melalui penerapan hukum yang konsisten dan adil, Mahkamah Agung berupaya menciptakan lingkungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat. Dengan memberikan keputusan yang tegas terhadap perbuatan melawan hukum, Mahkamah Agung tidak hanya menyelesaikan sengketa ini, tetapi juga memperkuat landasan hukum untuk menghindari sengketa serupa di masa depan. Ini menjadi langkah penting dalam upaya membangun kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia dan menciptakan tatanan sosial yang lebih adil dan berkeadilan.

 

KESIMPULAN

Kesimpulan dari analisis Putusan Nomor 934 K/Pdt/2019 menunjukkan bahwa Mahkamah Agung secara konsisten menerapkan konsep perbuatan melawan hukum dalam sengketa tanah antara PT Dago Inti Graha dan para tergugat. Mahkamah Agung berhasil mengidentifikasi tindakan tergugat yang mempertahankan klaim tanah tanpa dasar hukum yang jelas sebagai perbuatan melawan hukum, dengan dasar hukum yang kuat berdasarkan Pasal 1365 dan Pasal 1338 KUHPerdata. Putusan ini menegakkan prinsip keadilan dan kepastian hukum, melindungi hak pemilik tanah sah, serta memberikan standar penyelesaian sengketa tanah di masa depan. Saran yang diajukan termasuk peningkatan pemahaman masyarakat tentang dokumen hukum dan prosedur klaim kepemilikan tanah, serta edukasi oleh instansi terkait. Untuk memperkuat kepastian hukum, disarankan peningkatan transparansi dalam proses pengadilan dan publikasi putusan untuk memberi pemahaman yang jelas kepada masyarakat. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, lembaga hukum, dan masyarakat penting untuk menciptakan sistem hukum yang lebih baik, dengan regulasi yang jelas tentang penguasaan dan pengalihan hak atas tanah guna mengurangi sengketa tanah dan menciptakan keadilan yang merata.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Flora, H. S., SH, M., Kn, M., Kes, M. H., Kasmanto Rinaldi, S. H., SI, M., Jusri Mudjrimin, S. H., Sitta Saraya, S. H., Yusrina Handayani, S. H., & Ratna Jaya, S. H. (2024). Hukum Pidana Di Era Digital. CV Rey Media Grafika.

Hajati, S., Winarsi, S., Sekarmadji, A., & Moechtar, O. (2020). Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan. Airlangga University Press.

Halipah, G., Purnama, D. F., Pratama, B. T., Suryadi, B., & Hidayat, F. (2023). Tinjauan Yuridis Konsep Perbuatan Melawan Hukum dalam Konteks Hukum Perdata. Jurnal Penelitian Serambi Hukum, 16(01), 138�143.

Hapsari, A. S., & Fitriono, R. A. (2024). Hambatan Pemberian Restitusi Bagi Anak Korban Pencabulan Dalam Putusan Nomor 133/Pid. Sus/2023/PN. Skt. Jembatan Hukum: Kajian Ilmu Hukum, Sosial Dan Administrasi Negara, 1(3), 101�113.

Kadir, Z. K. (2024). Hukum, Moral, atau Pengendalian Sosial? Pergeseran Doktrin Hukum Pidana dalam Mengatur Kehidupan Pribadi Warga di Cina. Crossroad Research Journal, 1(4), 140�160.

Kamagi, G. A. (2018). Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad) Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Perkembangannya. Lex Privatum, 6(5).

Labibah, I. F., Hasanah, I. Z., & Yalhan, M. A. (2024). Peran Masyarakat Adat dalam Pemanfaatan dan Perlindungan Hukum Tanah Ulayat Sumatera Barat. Journal Customary Law, 1(2), 15.

Lestari, B. F. K., Sumarni, S., & Haswari, A. A. (2020). Tanggung Jawab Pelaku Tindak Pidana Kelalaian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Orang Lain (Studi Di Polres Lombok Timur). Unizar Law Review (ULR), 3(2), 250�266.

Moniaga, R. R. G. W. (2024). PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK MASYARAKAT ATAS TANAH ADAT DI TENGAH MODERNISASI. LEX ADMINISTRATUM, 12(4).

Muhammad, A. A. (2013). KESADARAN HUKUM MASYARAKAT KAMPUNG MAHMUD UNTUK MEMILIKI SERTIFIKAT ATAS HAK ULAYAT: Studi Kasus Di Kampung Adat Mahmud Desa Mekarrahayu Kecamatan Marga Asih Kabupaten Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia.

Sari, I. (2021). Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dalam Hukum Pidana Dan Hukum Perdata. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 11(1).

Slamet, S. R. (2013). Tuntutan Ganti Rugi Dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu Perbandingan Dengan Wanprestasi. Lex Jurnalica, 10(2), 18068.

Yessica, E. (2014). Karakteristik dan Kaitan antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Sebelas Maret University.

 

� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)