Pelaksanaan Penegakan Hukum Lingkungan Secara Perdata dalam Kasus Pencemaran Sungai
Yang Disebabkan oleh Aktivitas
Industri
Valencia
Prasetyo Ningrum1, Mella Ismelina Farma Rahayu2
Universitas Tarumanagara, Indonesia
[email protected], [email protected]
INFO
ARTIKEL |
ABSTRAK |
Kata Kunci: Hukum Lingkungan,
Industri, dan Perdata. Keywords: |
Dalam berbagai kasus
yang berkaitan dengan persoalan lingkungan, biasanya aktivitas industri merupakan entitas paling signifikan sebagai faktor utama yang berkontribusi terhadap degradasi kualitas ekosistem di wilayah atau lingkungan masyarakat tertentu. Hal ini berkaitan erat dengan dinamika
ekonomi yang secara progresif mengeksploitasi sumber daya alam.
Kondisi demikian berpotensi memicu konflik antara pelaku industri dan komunitas setempat. Kesadaran lingkungan tidak sekadar menciptakan ruang yang estetis dan steril, melainkan mengandung tanggung jawab fundamental setiap individu untuk menghormati dan mengapresiasi hak-hak kolektif serta keberlangsungan lingkungan sekitar. Namun, tidak jarang terdapat pihak yang kurang bertanggung jawab dalam pengelolaan
industri pembuangan limbah, yang berujung pada pencemaran sungai yang pada akhirnya merugikan masyarakat di sekitar lokasi industri tersebut. Pada
masa lampau, umat manusia menjalani kehidupan tanpa kekhawatiran terhadap potensi gangguan atau ancaman yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara, pencemaran air atau pencemaran lingkungan oleh suatu aktivitas industri. Dewasa ini, seiring
dengan kemajuan ilmu dan teknologi, individu kerap mengalami kegelisahan akan tergangunya eksistensi mereka. Bahkan di era sebelumnya, ketika teknologi belum berkembang pesat, manusia merasakan keselarasan yang lebih mendalam dengan lingkungan hidupnya. Namun, transformasi zaman telah menghadirkan beragam industri dengan kompleksitas aktivitasnya.
Salah satu strategi untuk
melakukan penegakan hukum lingkungan guna memberikan efek jera adalah
melalui jalur hukum perdata. Meskipun demikian, penyelesaian sengketa melalui ranah perdata seringkali kurang diminati masyarakat Indonesia, hal ini disebabkan oleh prosedur yang membutuhkan rentang waktu yang relatif Panjang. ABSTRACT In various cases
related to environmental issues, industrial activities are usually the most
significant entity as the primary factor contributing to ecosystem quality
degradation in specific regional or community environments. This is closely
related to economic dynamics that progressively exploit natural resources.
Such conditions potentially trigger conflicts between industrial actors and
local communities. Environmental awareness is not merely about creating
aesthetic and sterile spaces, but contains the fundamental responsibility of
every individual to respect and appreciate collective rights and the
sustainability of the surrounding environment. However, it is not uncommon to
find parties who are less responsible in managing industrial waste disposal,
which ultimately leads to river pollution that eventually harms the community
around the industrial location. In the past, humanity lived without concern
about potential disturbances or threats that could cause air pollution, water
pollution, or environmental pollution from industrial activities. Today, with
the advancement of science and technology, individuals often experience
anxiety about the disruption of their existence. Even in the previous era,
when technology had not yet developed rapidly, humans felt a deeper harmony
with their environment. However, the transformation of the times has brought
forth diverse industries with the complexity of their activities. One
strategy for enforcing environmental law to provide a deterrent effect is
through civil legal channels. Nevertheless, dispute resolution through civil
means is often less favored by the Indonesian
community, as this is caused by procedures that require a relatively long time span. |
Environmental,
Industrial, and Civil Law |
Lingkungan hidup merupakan kawasan yang didiami oleh organisme beserta komponen biotik dan abiotik di sekitarnya. Eksistensi lingkungan memiliki signifikansi fundamental bagi keberlangsungan eksistensi manusia. Ketika terjadi degradasi atau kerusakan pada sistem ekologis, maka kelangsungan hidup manusia akan mengalami
gangguan yang substantif. Lingkungan hidup dapat dipandang sebagai entitas fundamental yang bersifat integratif dan tidak terpisahkan dari dinamika kehidupan
manusia (Sonjaya et al., 2020). Ditinjau
dari sudut pandang ekologis, capaian pembangunan tidak semata-mata dinilai berdasarkan besaran pertumbuhan ekonomi dan tercapainya distribusi yang merata, melainkan juga keberlangsungan lingkungan di mana proses pembangunan
tersebut berlangsung. Apabila lingkungan mengalami degradasi, maka sumber-sumber yang mendukung pembangunan akan semakin terkikis
dan terbatas. Lingkungan sebagai ruang kehidupan
akan menjadi terkekang dan tidak kondusif. Konsekuensinya, kerusakan lingkungan akan memberikan ancaman tidak hanya
terhadap kontinuitas pembangunan itu sendiri, tetapi juga akan membahayakan eksistensi umat manusia. Berdasarkan perspektif Sudharto P. Hadi, terdapat empat prinsip fundamental dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, yakni: Pemenuhan kebutuhan pokok manusia (pemenuhan kebutuhan dasar), yang mencakup upaya memenuhi keperluan esensial setiap individu. Preservasi lingkungan (pemeliharaan integritas ekologis), yang merujuk pada konservasi dan perlindungan sistematis terhadap ekosistem. Ekuitas sosial (keadilan sosial), yang mengacu pada distribusi yang adil dan mempertimbangkan kepentingan generasi mendatang. Hak penentuan nasib sendiri (kesempatan untuk menentukan nasib sendiri), yang mengintegrasikan elemen demokrasi partisipatoris dan memberikan ruang bagi keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. (Sembiring, 2019).
Indonesia termasuk dalam
kategori negara dengan spektrum industri yang sangat luas. Keragaman sektor manufaktur yang berkembang di wilayah nusantara membawa konsekuensi yang kompleks terhadap lingkungan, baik dalam perspektif temporal singkat maupun berkelanjutan. Seiring dengan pertambahan populasi manusia, kebutuhan pun turut berkembang, yang pada gilirannya mendorong eskalasi sektor industri. Air merupakan komponen vital yang memiliki signifikansi fundamental bagi eksistensi makhluk hidup - manusia, fauna, flora,
dan seluruh lingkungan. Esensi air sebagai elemen krusial dalam siklus kehidupan
manusia dan lingkungan terletak pada fungsi dan kontribusi strategisnya.����� Individu pada umumnya memanfaatkan sumber daya air untuk keperluan vital sehari-hari, mencakup kebutuhan konsumsi, sanitasi personal, dan berbagai aktivitas higienis lainnya. Namun, sangat disayangkan terdapat sejumlah pihak yang tidak menunjukkan rasa tanggung jawab dalam pengelolaan pembuangan limbah, yang berpotensi mengakibatkan degradasi kualitas air, terutama pencemaran Sungai (Johar, 2021).
Pendekatan yang
diterapkan dalam karya ilmiah ini
merupakan metodologi yuridis normatif. Prosedur pengumpulan informasi difokuskan pada penelitian hukum dengan mengeksplorasi berbagai sumber hukum melalui kajian
mendalam terhadap referensi kepustakaan, mencakup dokumen, literatur akademis, publikasi ilmiah, terbitan berkala, serta sumber informasi
tertulis yang berkorelasi dengan materi hukum.
Penelitian ini bermula dari ketidakjelasan
mekanisme penegakan hukum pada persoalan lingkungan hidup dalam kasus pencemaran
sungai yang diinisiasi oleh
aktivitas industri pembuangan limbah, dengan menggunakan analisis deskriptif melalui telaah peraturan perundang-undangan, konstruksi konseptual hukum, dan komparasi yuridis. Materi kajian dalam artikel ini
terdiri atas data sekunder yang diperoleh dari instrumen legislatif, hasil riset hukum, serta
dinamika penegakan hukum dalam konteks
permasalahan lingkungan hidup.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Penegakan Hukum Lingkungan
Hidup
Penegakan hukum merupakan prosedur implementasi upaya sistematis guna memastikan keberlakuan norma hukum secara substantif
sebagai panduan interaksi dan relasi yuridis dalam konteks
kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Penegakan hukum mencerminkan serangkaian tahapan metodologis yang bertujuan mengejawantahkan konsep, gagasan, dan cita-cita abstrak yang menjadi esensi fundamental hukum. Idealisme atau objektif hukum mengandung prinsip-prinsip etis fundamental, seperti integritas kebenaran dan keadilan substantif (Erwin, 2019). Dalam konteks
sistematis, penegakan hukum merupakan implementasi kebijaksanaan yang melibatkan pembuatan keputusan di luar batasan ketat norma yuridis, namun mengandung pertimbangan
individual. Penegakan hukum
lingkungan memiliki korelasi signifikan dengan kapasitas aparatur serta kepatuhan warga masyarakat terhadap regulasi yang berlaku. Mekanisme penegakan hukum lingkungan dapat dijalankan melalui pendekatan preventif maupun represif. Pendekatan preventif mengindikasikan suatu mekanisme pengawasan proaktif yang difokuskan pada pemantauan kepatuhan terhadap ketentuan, tanpa merujuk pada peristiwa spesifik yang secara langsung menimbulkan indikasi pelanggaran norma hukum (Hakim, 2020). Langkah ini
dapat direalisasikan melalui pengawasan dan implementasi kewenangan yang bersifat supervisi. Penegakan hukum represif dijalankan ketika terjadi pelanggaran terhadap regulasi dan bertujuan untuk menghentikan secara langsung tindakan yang dilarang tersebut. Sanksi merupakan konsekuensi dari suatu perbuatan
atau tanggapan dari pihak eksternal,
baik individu maupun institusi sosial terhadap aktivitas manusia.
Hak atas lingkungan
yang berkualitas dan sehat merupakan komponen fundamental dari hak azasi
manusia (HAM) sebagaimana diatur dalam klausul
28 H Konstitusi Republik Indonesia Tahun 1945 (Purwendah et al., 2023). Implikasi
dari ketentuan tersebut mengharuskan pemerintah menjamin terpenuhinya standar lingkungan hidup yang memungkinkan terselenggaranya eksistensi manusia dengan martabat dan kesejahteraan optimal melalui mekanisme penegakan hukum yang komprehensif. Salah satu strategi krusial dalam implementasi penegakan hukum lingkungan terletak pada pemberlakuan instrumen sanksi terhadap setiap bentuk pelanggaran.
Mekanisme sanksi dimaksud dapat diwujudkan dalam ragam instrumen yuridis, mencakup sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif.
Penegakan Hukum Lingkungan
Hidup dalam Perspektif
Hukum Perdata Terhadap
Industri
Regulasi Nomor 32 Tahun 2009 Perihal Perlindungan serta Penatalaksanaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) menguraikan mekanisme
penegakan ketentuan yuridis lingkungan melalui jalur perdata,
bermula dari Pasal 84 dan berlanjut sampai Pasal 93. Klausul-klausul tersebut secara komprehensif mengatur ranah penyelesaian permasalahan lingkungan hidup secara hukum perdata
yang dapat diselesaikan melalui proses litigasi di pengadilan atau alternatif non-litigasi berdasarkan kesepakatan sukarela di antara pihak-pihak yang berkonflik. Instrumen yuridis ini dirumuskan untuk melindungi hak-hak fundamental seluruh aktor yang terlibat dalam sengketa lingkungan hidup. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 85 regulasi yang dimaksud, mekanisme penyelesaian perselisihan di luar ranah peradilan
bertujuan untuk mencapai kesepakatan berkenaan dengan kompensasi, rehabilitasi pasca terjadinya pencemaran atau degradasi, strategi preventif, serta upaya meminimalisasi
konsekuensi merugikan terhadap lingkungan. Metode penanganan konflik semacam ini dikenal
dengan istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Alternative Dispute
Resolution (ADR) (Kurniawan et al., 2023).
Penyelesaian perselisihan
perdata terkait lingkungan hidup dapat diselesaikan melalui jalur yudisial
dan non-yudisial, sebagaimana
diuraikan dalam penjelasan umum poin 5 paragraf kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Ketentuan hukum perdata mencakup mekanisme penanganan konflik lingkungan melalui prosedur di luar ranah peradilan
dan di dalam sistem peradilan. Dalam konteks peradilan, mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan hidup meliputi beberapa instrumen hukum, antara lain gugatan perwakilan kolektif, hak gugat yang dimiliki oleh organisasi lingkungan, serta hak gugat yang diberikan kepada pemerintah. Pendekatan komprehensif ini bertujuan untuk menciptakan dampak preventif dan edukatif, dengan harapan dapat meningkatkan kesadaran para pemangku kepentingan akan signifikansi perlindungan dan pengelolaan ekosistem demi keberlangsungan generasi saat ini dan mendatang
(Fahruddin, 2019).
Dalam sejumlah putusan
perdata terkait lingkungan, teridentifikasi beberapa keputusan yang mencerminkan terobosan signifikan dalam ranah yurisprudensi lingkungan di Indonesia. Ketika tuntutan
hukum diajukan oleh otoritas pemerintah melalui Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK), alur
perkara cenderung mengarah pada pendekatan Pro
Natura, yakni metode pembuktian yang mengimplementasikan
prinsip tanggung gugat mutlak, yang mengimplikasikan bahwa KLHK sebagai pihak yang menggugat tidak lagi diharuskan membuktikan unsur kesalahan pada pihak tergugat (Gusri Putra Dodi, 2024). Meskipun
demikian, tidak semua putusan hukum
disertai dengan sanksi untuk merehabilitasi
ekosistem yang telah mengalami degradasi dan/atau kontaminasi, Pasal 88 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) menguraikan prinsip
tanggung jawab mutlak (strict liability) yang memberlakukan
kewajiban bagi setiap individu atau entitas yang melakukan tindakan, usaha, dan/atau aktivitas yang melibatkan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), memproduksi dan/atau menangani limbah B3, dan/atau menciptakan ancaman signifikan terhadap lingkungan untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas kerugian yang timbul tanpa keharusan
membuktikan unsur kesalahan. Dalam penafsiran yuridis Pasal 88 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), konsep
tanggung jawab mutlak dijabarkan secara komprehensif: prinsip pertanggungjawaban absolut atau yang dikenal dalam terminologi
hukum sebagai strict
liability mengandung karakteristik
fundamental bahwa unsur kesalahan tidak menjadi prasyarat yang harus dibuktikan oleh pihak yang mengajukan gugatan sebagai landasan pemberian kompensasi. Ketentuan dimaksud merupakan aturan khusus (lex specialis) yang menyimpangi mekanisme gugatan perbuatan melawan hukum dalam konteks
konvensional (Sihombing, 2020). Besaran kompensasi yang dapat dikenakan kepada pelaku pencemaran atau perusak ekosistem,
sesuai dengan ketentuan pasal tersebut, dapat ditetapkan dalam batas yang telah ditentukan (Rafiqi, 2024). Frasa
"dalam batas waktu spesifik" merujuk pada kondisi di mana peraturan perundangan telah menetapkan kewajiban asuransi bagi kegiatan
usaha tertentu atau telah tersedianya
dana khusus untuk pengelolaan lingkungan hidup (Rahmayanti, 2018). Regulasi
mengenai pertanggungjawaban
absolut merupakan konsep inovatif yang menyimpang dari ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW) perihal tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad). Telah diuraikan secara komprehensif bahwa aktivitas atau usaha yang menerapkan prinsip tanggung jawab ketat terhadap penggunaan zat berbahaya dan beracun, manakala terjadi tindakan yang mengakibatkan kerusakan atau pencemaran lingkungan di luar lingkup tersebut,
maka pendekatan hukum yang mesti ditempuh adalah merujuk pada Pasal 1365 KUHPerdata
yang mempertimbangkan unsur-unsur
tertentu, khususnya eksistensi kesalahan (schuld).
Berdasarkan pandangan
Mas Achmad Santosa, dalam proses penyelesaian
konflik lingkungan menggunakan mekanisme hukum perdata, entitas baik individu
maupun badan hukum dibebankan tanggung jawab atas kerusakan
yang dihasilkan dari aktivitas pencemaran atau degradasi lingkungan. Pihak yang mengajukan gugatan berkewajiban menghadirkan bukti konkret mengenai
terjadinya kontaminasi, serta menunjukkan korelasi yang jelas antara peristiwa pencemaran dan kerugian yang dialami. Proses pembuktian pada hakikatnya bermakna memberikan kejelasan dan kepastian yuridis kepada majelis hakim terkait dengan realitas peristiwa yang menjadi objek sengketa
(Risqi, 2022). Implementasi
penegakan regulasi ekologis melalui instrumen yuridis perdata kerap mengalami
hambatan substantif dalam aspek pembuktian.
Proses verifikasi perkara lingkungan memerlukan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi yang canggih, yang mengakibatkan penyelesaian sengketa lingkungan menjadi kompleks, membutuhkan biaya signifikan, dan memakan waktu yang Panjang (Nisa, 2020).
Upaya strategis yang perlu
diimplementasikan oleh otoritas
pemerintah dalam menangani regulasi lingkungan terkait dengan badan usaha yang menyebabkan degradasi ekosistem sungai mencakup tiga aspek
fundamental. Pertama, implementasi
mekanisme yuridis yang komprehensif berkenaan dengan kontaminasi lingkungan yang dihasilkan oleh aktivitas industrial. Kedua, mengawal dan menjamin hak-hak fundamental para pekerja
yang terlibat dalam institusi usaha tersebut manakala operasional perusahaan dihentikan. Ketiga, melakukan rehabilitasi dan restorasi fungsi ekologis wilayah yang telah mengalami pencemaran sehingga dapat dimanfaatkan kembali secara optimal oleh komunitas setempat.
KESIMPULAN
Penyelesaian konflik hukum lingkungan secara perdata terhadap badan usaha yang melaksanakan pencemaran aliran sungai dapat
direalisasikan melalui pengajuan tuntutan berdasarkan ketentuan hukum perdata yang berlaku (Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata) serta regulasi perlindungan lingkungan hidup yang relevan, khususnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 2009. Mekanisme penyelesaian tersebut dapat ditempuh melalui upaya musyawarah
dan mediasi, atau apabila diperlukan, dilanjutkan dengan prosedur litigasi di lembaga peradilan guna memperoleh kompensasi dan intervensi pemulihan lingkungan dari pihak yang bertanggung jawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Erwin, M. (2019). Hukum Lingkungan Sistem
Kebijaksanaan Lingkungan Hidup. (No Title).
Fahruddin, M. (2019). Penegakan hukum
lingkungan di indonesia dalam perspektif Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Veritas, 5(2),
81�98.
Gusri Putra Dodi. (2024). Hukum
Lingkungan. Divis Kencana.
Hakim, E. R. (2020). Penegakan Hukum
Lingkungan Indonesia Dalam Aspek Kepidanaan. Media Keadilan: Jurnal Ilmu
Hukum, 11(1), 43�54.
Johar, O. A. (2021). Realitas Permasalahan
Penegakan Hukum Lingkungan Di Indonesia. Jurnal Ilmu Lingkungan, 15(1),
54�65.
Kurniawan, A., Sembiring, M. A., Nababan,
M. J., & Edison, M. J. (2023). Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia. MOTEKAR:
Jurnal Multidisiplin Teknologi Dan Arsitektur, 1(2), 398�403.
Nisa, A. N. (2020). Penegakan hukum
terhadap permasalahan lingkungan hidup untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan (studi kasus kebakaran hutan di indonesia). Jurnal Bina Mulia
Hukum, 4(2), 294�312.
Purwendah, E. K., Djatmiko, A., &
Pudyastiwi, E. (2023). Problematika Penegakan Hukum Lingkungan Di Indonesia. Jurnal
Pacta Sunt Servanda, 4(1), 238�249.
Rafiqi, I. D. (2024). Pengembangan Hukum
Profetik Dalam Putusan Hakim Perkara Lingkungan Hidup Iktiar Membumikan Wacana
Hukum Langitan. UMM Press.
Rahmayanti, L. (2018). Pengaruh penggunaan
media video animasi terhadap hasil belajar siswa kelas V sdn se-gugus sukodono
sidoarjo laily rahmayanti pgsd fip universitas negeri surabaya abstrak. Jurnal
PGSD, 6(4), 429�439.
Risqi, D. M. (2022). Penegakan Hukum
Lingkungan. JHP17 (Jurnal Hasil Penelitian), 6(2), 39�44.
Sembiring, T. B. (2019). Problema Penegakan
Hukum Lingkungan Di Desa Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten
Langkat. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian, 2(2),
1629�1634.
Sihombing, A. K. (2020). Penegakan hukum
terhadap pencemaran lingkungan di Sungai Cikijing, Jawa Barat akibat aktivitas
industri tekstil PT. Kahatex. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 7(1),
98�117.
Sonjaya, T., Heryanto, B., Mulyana, A.,
& Aridhayandi, M. R. (2020). Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penegakan
Hukum Lingkungan berdasarkan Prinsip Pembangunan. Lambung Mangkurat Law
Journal, 5(2), 203�214.