DIMENSI RESTITUSI DAN PENEMUAN HUKUM DALAM KASUS DNA PRO: STUDI ATAS PUTUSAN NOMOR 3/PID.RES/2023/PN BANDUNG

 

Nu'man Sofari Hafid1, Dian Rusmana2, Alvan Rahfiansyah Lubis3, Ramdani Wahyu Sururie4

Universitas Islam Negeri Gunung Djati Bandung, Indonesia

Email: nu'[email protected][email protected], [email protected], [email protected]

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Kata Kunci: Restitusi korban, Penemuan hukum, Skema investasi bodong

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

Artikel ini membahas dimensi restitusi dan penemuan hukum dalam kasus DNA Pro, berdasarkan analisis Putusan Nomor 03/Pid.Res/2023/PN Bandung. Kasus ini menyoroti tantangan korban tindak pidana dalam memperoleh restitusi yang adil, terutama dalam konteks sistem hukum Indonesia yang belum sepenuhnya mengakomodasi hak-hak korban. DNA Pro, yang beroperasi dengan skema piramida, menyebabkan kerugian finansial besar bagi lebih dari 3.000 korban, dengan total kerugian mencapai 551 miliar rupiah. Proses hukum kasus ini mengungkap adanya ambiguitas dalam peraturan restitusi, yang menyebabkan pengadilan dan LPSK saling melempar tanggung jawab. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan analisis deskriptif untuk mengevaluasi kelemahan regulasi dan implementasi hukum yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem restitusi di Indonesia masih didominasi mekanisme lama seperti KUHAP, dengan kurangnya harmonisasi antara peraturan baru dan praktik di lapangan. Selain itu, kurangnya pemahaman hakim terhadap bukti yang diajukan korban memperburuk situasi. Penemuan hukum dianggap penting dalam kasus ini, tetapi praktiknya menghadapi banyak kendala karena kelemahan interpretasi hukum. Penelitian ini merekomendasikan reformasi regulasi yang mengintegrasikan mekanisme restitusi dengan sistem peradilan pidana secara lebih jelas, serta pelatihan bagi aparat penegak hukum. Hal ini penting untuk memastikan akses yang lebih baik bagi korban terhadap keadilan, tanpa menghadapi hambatan prosedural dan kelembagaan

 

ABSTRACT

This article examines restitution and legal discovery dimensions in the DNA Pro case through Decision Number 03/Pid.Res/2023/PN Bandung. The case highlights challenges faced by crime victims in obtaining fair restitution, particularly in Indonesia's legal system, which inadequately addresses victims� rights. DNA Pro�s pyramid scheme caused financial losses exceeding IDR 551 billion for over 3,000 victims. Judicial proceedings revealed regulatory ambiguities, leading to a blame-shifting dynamic between the court and LPSK. Using a normative juridical approach with descriptive analysis, this study evaluates weaknesses in regulatory and legal practice implementation. Findings indicate Indonesia�s restitution system is still dominated by older mechanisms like the Criminal Procedure Code, with insufficient harmonization between new regulations and field practices. Additionally, judges' limited understanding of evidence submitted by victims exacerbated the problem. Legal discovery is deemed essential in this case, but its implementation encounters challenges due to weak legal interpretation. The study recommends regulatory reforms that integrate restitution mechanisms more clearly within the criminal justice system and training for law enforcement. These measures are crucial to improving victims� access to justice without procedural and institutional barriers.

Victim restitution, Legal discovery, Fraudulent investment scheme

 

 

PENDAHULUAN

Seseorang yang menjadi korban tindak pidana harus menghadapi masalah hukum yang krusial. Setelah merasakan pengalaman sebagai korban tindak pidana, ia harus mengalami viktimisasi lanjutan akibat adanya penolakan secara sistematis oleh sistem peradilan pidana (Chan, 2018). Penolakan tersebut terjadi karena adanya pandangan posisi korban telah diambil alih oleh negara, sehingga keterlibatan korban lebih jauh dalam proses peradilan untuk memperjuangkan hak-haknya dinilai akan membebani jalannya sistem yang ada. Selain itu juga dianggap akan berpengaruh pada efektivitas dan efisiensi kerja aparat penegak hukum. Korban sebagai pihak yang menderita dan dirugikan akibat pelanggaran hukum pidana biasanya hanya dilibatkan sebatas pada memberikan kesaksian sebagai saksi korban (Ajirosa Sapta Santosa, 2024). Akibatnya sering terjadi korban merasa tidak puas dengan tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan/atau putusan yang dijatuhkan oleh Hakim karena dianggap tidak sesuai dengan nilai keadilan korban (Setiyawan et al., 2022).

Hal tersebut disebabkan karena sistem peradilan pidana diselenggarakan untuk mengadili pelaku tindak pidana, bukan untuk melayani kepentingan korban tindak pidana, karena tindak pidana merupakan tindakan pelakunya melawan negara (Mahawijaya, 2024). Keberadaan sistem peradilan pidana ditujukan untuk kepentingan negara dan masyarakat, bukan untuk kepentingan personal warga masyarakat. Hal ini menyebabkan kerugian akibat tindak pidana yang diderita oleh korban tindak pidana merupakan musibah yang harus ditanggung korban itu sendiri karena bukan merupakan fungsi sistem peradilan pidana untuk menanggungnya (Marasabessy, 2016).

Ilmu terhadap korban atau dikenal viktimologi setuju bahwa penyelesaian kasus kejahatan harus melalui studi tentang pengaruh yang diterima oleh korban sebagai objek kejahatan, bukan sebaliknya yang telah terjadi, yaitu lebih menilai dari sudut pandang studi pelaku kejahatan (Mustofa, 2015). Viktomologi berkembang sebagai sarana untuk mengantisipasi kejahatan sebelum sebenarnya terjadi kejahatan yang melahirkan hukum pidana. Melalui perspektif tentang korban dan kemungkinan penyebab kriminalitas yang diindikasikan sebagai kriminal, ilmu vichtomology adalah sebuah proses dalam penerapan kebijakan publik. Dalam teorinya, Schafer menyatakan bahwa korban memiliki peran fungsional, yaitu menjaga atau membela diri mereka sendiri dan tidak melakukan tindakan provokatif yang memicu tindakan kriminal (Lubis et al., 2023).

Salah satu hak korban tindak pidana adalah meminta ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Sesuai dengan Declaration of the United Nations on the Prosecution and Assistance of Crime Victims, Part I, Item 4 menegaskan bahwa setiap negara bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak korban tindak pidana:

�Reparation by the offender to the victim shall be an objective of the process justice. Such reparation may include (1) the return of stolen property, (2) monetary payment for loss, damages, personal injury and psychological trauma, (3) payment for suffering, and (4) service to the victim. Reparation should be encouraged by the correctional process.�

DNA Pro menggunakan skema penjualan langsung dengan pola ponzi atau piramida, yang merupakan salah satu bentuk penipuan investasi paling umum karena menjanjikan keuntungan besar dalam waktu singkat. Dalam skema ini, anggota jaringan DNA Pro diharuskan merekrut anggota baru dan terus melakukan transaksi untuk meraih keuntungan besar. Keuntungan yang diperoleh bergantung pada jumlah transaksi yang dilakukan oleh anggota baru, mirip dengan sistem gali lubang tutup lubang. Awalnya, anggota merasa diuntungkan karena pembayaran keuntungan berjalan lancar. Namun, Kemendag menemukan kejanggalan pada sistem investasi ini. Keuntungan yang diterima anggota sebenarnya bukan berasal dari aktivitas trading, melainkan dari setoran anggota baru yang bergabung, sehingga anggota baru secara tidak langsung membiayai anggota yang lebih senior. Agar tampak menarik, platform ini menjanjikan profit harian sebesar 1% hingga 3%, atau 5% per minggu. Tawaran ini terlihat lebih realistis dibandingkan beberapa platform robot trading lain yang menjanjikan hingga 5%-7% per hari. Selain itu, calon anggota dapat memilih level paket dengan minimal deposit dan pembagian keuntungan yang bervariasi. Harga robotnya sendiri ditetapkan sebesar 10% dari total deposit awal anggota baru.

Kasus DNA PRO ini telah melewati proses persidangan, Sekitar pertengahan bulan Maret, Kemendag lalu melaporkan kasus platform robot trading ini ke Bareskrim Polri sambil menyerahkan hasil pemeriksaan awal yang sudah mereka lakukan. Dari pemeriksaan tersebut, Bareskrim melakukan pengusutan lalu menetapkan 12 orang tersangka, yaitu RS, Y, R, SR, JG. F, HAS, DA, DZ, FW, RK, dan DV. Dari kedua belas tersangka ini, DA, DZ, dan FW kabur keluar negeri dan menjadi buronan polisi. Kasus semakin heboh saat pihak berwajib memanggil 12 artis papan atas untuk menelusuri aliran dana. Satu bulan kemudian, pada bulan April 2022 polisi menangkap DA di Bandara Soekarno Hatta. Hari Senin 15 Agustus 2022 kemarin, berkas perkara kasus DNA Pro ini sudah dinyatakan lengkap oleh jaksa. Kasus penipuan investasi bodong yang dilakukan DNA Pro ini benar-benar luar biasa besar, korbannya mencapai 3.621 orang dengan total kerugian sampai 551 miliar rupiah (Rosyda, 2024).

Dengan ditangkapnya para pelaku dibalik kasus DNA PRO tersebut para korban juga mengajukan penetapan korban melaui sidang penetapan restitusi Nomor 03/Pid.Res/2023/PN Bdg. Dalam penetapan tersebut hakim dianggap tidak dapat menetapkan karena dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a Perma nomor 1 tahun 2022 jo. Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 35 Tahun 2020 telah menentukan Tindak Pidana yang dapat dimohonkan restitusi dan tindak pidana lain yang harus sesuai dengan keputusan LPSK.

Dalam putusan tersebut juga hakim menimbang, bahwa pemohon melalui Penasihat Hukumnya hanya melampirkan pengajuan surat bukti berupa balasan LPSK yang intinya LPSK telah melakukan perhitungan ganti rugi (restitusi) terhadap 1034 korban dan telah disampaikan kepada Kejaksaan Negeri Kota Bandung tangal 27 Desember 2022, berkenaan itu LPSK tidak dapat memberikan penilaian terhadap ganti rugi yang diajukan (�). Dalam hal ini Penasihat hukum telah melampirkan rekomendasi oleh LPSK untuk mengajukan penetapan korban.

Dalam argumentasi tersebut hakim dan lembaga yang ditugaskan juga kebingungan dalam menentukan restitusi kasus ini seperti melempar tanggung jawab antara hakim, kejaksaan, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Dan sampai hari ini korban masih kebingungan bagaimana cara mereka agar mendapatkan keadilan sesuai dengan haknya dalam mendapatkan keadilan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dimensi restitusi dan penemuan hukum dalam kasus DNA PRO: studi atas putusan nomor 3/Pid.Res/2023/PN bandung.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian yuridis normatif ini menitikberatkan pada kajian dokumen hukum, termasuk putusan Nomor 3/Pid.Res/2023/PN Bandung, untuk mengeksplorasi penerapan hukum dalam dimensi restitusi dan penemuan hukum.. Pendekatan ini melibatkan prinsip-prinsip hukum yang relevan dengan permasalahan yang akan di teliti. Spefikasi penelitian ini adalah deskriptif analisis dimana tidak hanya untuk mengungkap atau mendeskripsikan dengan detail, tetapi gagasan tersebut akan dibahas dan dianalisis agar memberikan pemahaman yang utuh. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan metode kuliatatif dengan merujuk pada bahan-bahan penelitian sekunder seperti, jurnal, buku, artikel dan sumber bacaan lainnya yang berkaitan dengan materi penelitian.

Analisis data yang digunakan dalam penulisan ini dilakukan dengan cara Menyusun secara berurutan dan sistematis, kemudian di analisis menggunakan metode kualitatif untuk memperoleh gambarang tentang inti permasalahan dengan metode berfikir deduktif, yakni cara berfikir yang dimulai dari hal yang umum dan menarik hal-hal yang khusus dan disajikan dalam bentuk deskriptif.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Restitusi dalam konsteks hukum Indonesia

Restitusi adalah kompensasi langsung yang diberikan pelaku kepada korban atas kerugian yang mereka derita. Di Indonesia, mekanisme restitusi diatur dalam (Shaqila & Lubis, 2023):

-          Pasal 98 KUHAP yang memungkinkan penggabungan perkara pidana dan perdata.

-          UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menjamin hak korban untuk menerima ganti rugi.

Pemberian restitusi merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum yang bertujuan membantu anak sebagai korban tindak pidana. Restitusi memberikan kompensasi yang adil dan layak bagi korban serta keluarganya atas dampak kejahatan yang mereka alami. Bentuk ganti rugi ini mencakup pengembalian atau pembayaran atas kerugian materiil dan immateriil, seperti penggantian aset yang hilang, biaya perawatan medis, serta penyediaan layanan pendukung dan hak-hak pemulihan korban (Harumi & Santoso, n.d.).

Pengaturan mengenai restitusi dirancang untuk memperjelas prosedur permohonan dan mekanisme pemberian ganti rugi, khususnya bagi anak korban tindak pidana, termasuk kasus kekerasan seksual. Selain menjadi wujud nyata perlindungan terhadap korban, aturan ini juga memberikan panduan kepada aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa perlindungan anak pasca kejahatan mendapatkan perhatian serius. Hal ini memperkuat pemulihan korban secara menyeluruh, baik dari segi fisik, psikologis, maupun sosial.

Selain KUHAP, peraturan perundang-undanganyang mengatur mengenai restitusi bagi korban tindak pidana sebenarnya telah ada sebelum UU No. 13 Tahun 2006 terbentuk. Akan tetapi, ketentuan tersebut masih terbatas untuk korban dari suatu tindak pidana tertentu, yakni korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat6 dan korban tindak pidana terorisme. Dalam UU No. 13 Tahun 2006, ketentuan mengenai restitusi hanya diatur dalam satu pasal sebagai berikut:

         Pasal 7

(1). Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:

a.       hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

b.      hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.

(2). Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.

(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur denganPeraturan Pemerintah.

Kurangnya aturan yang jelas mengenai restitusi membuat korban tindak pidana mengalami kesulitan dalam mengajukan permohonan. Pertama, korban sering tidak memahami jenis kerugian apa saja yang dapat diajukan untuk restitusi. Kedua, korban tidak mengetahui kapan waktu yang tepat untuk mengajukan permohonan tersebut, apakah segera setelah tindak pidana terjadi, sebelum jaksa mengajukan tuntutan, atau sebelum hakim menjatuhkan putusan. Ketiga, korban tidak memahami prosedur yang harus dilakukan jika pelaku tindak pidana tidak mampu atau enggan membayar restitusi yang dimohonkan. Keempat, korban juga tidak mengetahui batas waktu pembayaran restitusi oleh pelaku setelah adanya putusan hukum tetap.

Ketidak pastian ini baru mulai teratasi setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Dalam aturan tersebut, restitusi diartikan sebagai kompensasi yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, mencakup pengembalian harta benda, pembayaran atas kerugian atau penderitaan, atau biaya tindakan tertentu. Permohonan restitusi dapat diajukan secara tertulis oleh korban, keluarganya, atau kuasanya kepada pengadilan melalui LPSK, baik sebelum maupun setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan hukum tetap. Pelaku atau pihak ketiga diwajibkan melaksanakan putusan restitusi paling lambat 30 hari setelah menerima salinan putusan. Jika batas waktu ini dilampaui, pengadilan dapat memerintahkan pelaksanaan dalam waktu maksimal 14 hari sejak perintah dikeluarkan.

Namun, meskipun aturan restitusi dalam PP No. 44 Tahun 2008 telah dirinci, implementasinya menghadapi hambatan. Banyak hakim dan jaksa lebih memilih mekanisme penggabungan gugatan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 98 KUHAP. Hal ini karena mekanisme tersebut dianggap lebih jelas, kuat, dan fleksibel dibandingkan dengan aturan restitusi dalam UU No. 13 Tahun 2006 yang dijabarkan melalui PP No. 44 Tahun 2008. Beberapa penegak hukum juga menganggap bahwa aturan dalam PP No. 44 Tahun 2008 tidak setara dengan ketentuan KUHAP, sehingga mekanisme restitusi menurut Pasal 98 KUHAP dianggap lebih kuat dan layak untuk digunakan.

Analisis Terhadap Putusan Penetapan Restitusi Nomor 03/Res.Pid/2023/PN Bandung

Dalam putusan yang diambil oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung, ditemukan adanya kekeliruan dalam mempertimbangkan aspek formal terkait pengajuan permohonan restitusi. Kekeliruan tersebut terkait dengan pemahaman terhadap Pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. Peraturan ini menyebutkan bahwa restitusi dapat diajukan untuk tindak pidana tertentu, seperti pelanggaran berat hak asasi manusia, terorisme, perdagangan manusia, diskriminasi ras dan etnis, serta tindak pidana lainnya sebagaimana ditentukan oleh keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Sebagai bagian dari prosedur formal, kuasa hukum para pemohon telah mengajukan permohonan kepada LPSK dan menerima surat balasan resmi dari LPSK dengan nomor R-1626/4.1.PPP/LPSK/06/2023. Dalam surat tersebut, LPSK menyatakan bahwa mereka tidak dapat memberikan penilaian terhadap pengajuan ganti rugi dan menyarankan agar permohonan restitusi diajukan melalui penetapan Pengadilan Negeri Bandung. Menindaklanjuti rekomendasi tersebut, kuasa hukum mengajukan permohonan restitusi sesuai prosedur yang diatur, tetapi Majelis Hakim justru mengembalikan tanggung jawab kepada LPSK. Hal ini menciptakan lingkaran ketidakpastian, di mana LPSK dan Pengadilan Negeri Bandung saling mengalihkan tanggung jawab.

Kekeliruan Majelis Hakim dalam hal ini bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa pengadilan wajib membantu pencari keadilan dengan mengatasi segala hambatan untuk mencapai peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Tindakan Majelis Hakim yang menghindari pengambilan keputusan justru menciptakan hambatan tambahan bagi korban.

Selain itu, Majelis Hakim tampaknya juga salah menafsirkan surat dari LPSK yang menyebutkan bahwa mereka telah melakukan perhitungan restitusi untuk 1.034 korban dan telah menyampaikan hasil tersebut kepada Kejaksaan Negeri Bandung pada 27 Desember 2022. Surat ini hanya menyebutkan korban yang telah melapor kepada Kejaksaan, sedangkan para pemohon restitusi (Pemohon I-XLI) juga termasuk dalam kelompok korban tindak pidana DNA PRO, dengan bukti-bukti yang jelas terlampir dalam Penetapan Nomor 03/Res.Pid/2023/PN Bandung (P-1.1 hingga P-41).

Kesalah pahaman ini menunjukkan bahwa Majelis Hakim gagal memberikan penilaian yang komprehensif terhadap bukti yang diajukan oleh para korban. Hal ini tidak hanya merugikan korban, tetapi juga menciptakan kebingungan tentang pihak mana yang bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan hukum. Di sisi lain, LPSK yang seharusnya menjalankan fungsi perlindungan saksi dan korban juga tidak memberikan keputusan definitif, melainkan memberikan rekomendasi yang justru memperpanjang proses.

Keadaan ini menyoroti perlunya harmonisasi antara aturan restitusi yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2022 dengan mekanisme dalam peraturan lainnya, sehingga lembaga terkait dapat menjalankan tugas mereka tanpa saling melempar tanggung jawab. Selain itu, diperlukan klarifikasi dan peningkatan pemahaman aparat penegak hukum mengenai mekanisme restitusi agar tidak terjadi kebingungan yang menghambat akses korban terhadap keadilan.

 

Analisis Penemuan Hukum Terhadap Putusan Penetapan Restitusi Nomor 03/Res.Pid/2023/PN Bandung

Penemuan hukum (rechtsvinding) adalah proses interpretasi dan penggalian norma hukum oleh hakim untuk menyelesaikan perkara tertentu, terutama ketika hukum tertulis tidak memberikan pengaturan yang jelas atau tidak cukup memadai. Dalam konteks sistem hukum Indonesia yang berlandaskan civil law, hakim tidak menciptakan hukum baru tetapi menemukan dan menyesuaikannya agar dapat diterapkan secara adil sesuai dengan keadaan kasus (Nuraida & Kurniawan, n.d.). beberapa penemuan hukum yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:

1.      Kelemahan dalam Koordinasi Antarlembaga: Pengadilan Negeri Bandung dan LPSK saling melempar tanggung jawab terkait pemberian restitusi, menunjukkan kurangnya mekanisme koordinasi yang jelas antara lembaga perlindungan saksi dan korban serta lembaga peradilan. Hal ini mengindikasikan adanya kebutuhan untuk harmonisasi hukum dan tata laksana.

2.      Ketidakpastian Aspek Prosedural: Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung keliru dalam menafsirkan Pasal 2 ayat (1) huruf a Perma Nomor 1 Tahun 2022, khususnya dalam kaitannya dengan yurisdiksi dan prosedur formal pengajuan restitusi. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum bagi korban dalam memahami jalur dan waktu yang tepat untuk mengajukan restitusi.

3.      Kesenjangan Implementasi Peraturan: Perma Nomor 1 Tahun 2022 dan UU No. 48 Tahun 2009 menggariskan prinsip perlindungan dan penyederhanaan proses hukum bagi pencari keadilan. Namun, dalam praktiknya, ketentuan tersebut tidak diimplementasikan secara konsisten, sehingga korban tindak pidana kesulitan mendapatkan haknya.

4.      Dominasi KUHAP atas Perma dan PP: Aparat penegak hukum lebih mengutamakan mekanisme yang diatur dalam Pasal 98 KUHAP untuk penggabungan gugatan ganti kerugian dibandingkan dengan mekanisme restitusi dalam Perma Nomor 1 Tahun 2022. Hal ini menunjukkan bahwa perangkat peraturan yang lebih baru cenderung dianggap subordinat terhadap KUHAP, yang berpotensi membatasi inovasi hukum.

5.      Kurangnya Pemahaman Hakim atas Bukti dan Korban: Majelis Hakim tampak tidak memperhatikan bukti yang diajukan oleh korban (P-1.1 hingga P-41) yang menunjukkan bahwa Pemohon I-XLI adalah korban langsung tindak pidana DNA PRO. Ini menyoroti pentingnya pelatihan dan pembaruan pemahaman hukum bagi hakim untuk menghindari kesalahpahaman dalam menilai bukti dan menafsirkan surat resmi.

6.      Kekosongan Hukum dalam Penanganan Tindak Pidana Kompleks: Kasus ini mencerminkan adanya kekosongan hukum dalam pengaturan tindak pidana kompleks, di mana tidak ada aturan jelas yang mengintegrasikan mekanisme restitusi dengan sistem peradilan pidana secara operasional.

kasus ini mencerminkan adanya kebutuhan mendesak untuk memperbaiki sistem hukum yang mengatur mekanisme restitusi di Indonesia. Kekeliruan dalam mempertimbangkan aspek formal, seperti yang ditunjukkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung, menimbulkan hambatan serius bagi korban dalam mengakses keadilan. Ketidak pastian prosedural dan koordinasi yang buruk antara lembaga terkait, seperti LPSK dan pengadilan, memperburuk situasi, menciptakan kebingungan di kalangan korban tentang jalur hukum yang harus mereka tempuh. Hal ini bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menekankan perlunya pengadilan membantu pencari keadilan dengan mengatasi hambatan dan memastikan proses yang sederhana, cepat, dan murah.

Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, diperlukan langkah-langkah strategis yang mencakup harmonisasi regulasi antara Perma, KUHAP, dan aturan lainnya, sehingga mekanisme restitusi dapat diimplementasikan secara konsisten dan tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Selain itu, peningkatan kapasitas hakim dan aparat penegak hukum dalam memahami dan menilai bukti secara komprehensif sangat penting untuk memastikan keadilan bagi korban. Kasus ini juga menjadi momentum untuk memperbaiki kerangka hukum yang mengatur perlindungan korban tindak pidana, dengan memastikan setiap aturan yang baru tidak hanya diterapkan secara formal, tetapi juga mampu menjawab kebutuhan praktis di lapangan, sehingga korban dapat memperoleh hak-haknya dengan adil tanpa menghadapi hambatan administratif atau kelembagaan

 

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis terhadap Putusan Nomor 3/Pid.Res/2023/PN Bandung dalam kasus DNA Pro, dapat disimpulkan bahwa dimensi restitusi dan penemuan hukum memainkan peran penting dalam penegakan keadilan bagi para korban. Restitusi dalam perkara ini menjadi instrumen yang tidak hanya berfungsi sebagai bentuk kompensasi bagi korban, tetapi juga sebagai upaya pemulihan ekonomi akibat tindak pidana yang dilakukan. Dalam proses peradilan, penerapan restitusi sering kali menghadapi kendala, baik dari aspek peraturan yang masih terbatas maupun dari implementasi yang belum optimal di tingkat yudisial.

Sementara itu, aspek penemuan hukum dalam putusan ini menunjukkan bahwa hakim memiliki peran yang signifikan dalam menafsirkan aturan hukum yang belum eksplisit mengatur modus operandi kejahatan berbasis teknologi seperti DNA Pro. Dengan mempertimbangkan asas keadilan dan prinsip hukum pidana yang berlaku, hakim berupaya mengisi kekosongan hukum dengan menggunakan metode penemuan hukum, baik secara interpretatif maupun progresif.

Penelitian ini menegaskan bahwa dalam kasus-kasus kejahatan berbasis teknologi yang melibatkan investasi ilegal seperti DNA Pro, sistem hukum harus terus berkembang dengan memberikan ruang bagi restitusi yang lebih efektif serta penemuan hukum yang adaptif. Dengan demikian, keputusan peradilan dapat memberikan keadilan yang lebih komprehensif bagi korban serta memperkuat perlindungan hukum dalam menghadapi modus kejahatan ekonomi digital yang semakin kompleks.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ajirosa Sapta Santosa, A. S. S. (2024). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PIDANA PENIPUAN ONLINE DI KELURAHAN GENUK KECAMATAN UNGARAN BARAT KABUPATEN SEMARANG. UNDARIS.

Chan, S. (2018). Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana oleh Korporasi Perbankan Menurut Perma No. 13 Tahun 2016. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5(2), 68�75.

Harumi, P. I., & Santoso, B. (n.d.). TINJAUAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MELALUI PUTUSAN RESTITUSI. Verstek, 12(3), 182�190.

Lubis, A. R., Fauzia, I., & Arifin, T. (2023). Reviewing victimology in the doxing case of an Indonesian virtual Youtuber. Indonesian Journal of Multidisciplinary Science, 2(6), 2559�2572.

Mahawijaya, I. (2024). TEROBOSAN HUKUM (RULE BREAKING) OLEH HAKIM DALAM MENENTUKAN PENGAJUAN PERMOHONAN RESTITUSI BAGI KORBAN ANAK. Causa: Jurnal Hukum Dan Kewarganegaraan, 2(6), 61�70.

Marasabessy, F. (2016). Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana: Sebuah Tawaran Mekanisme Baru. Jurnal Hukum & Pembangunan, 45(1), 53�75.

Mustofa, M. (2015). Metodologi penelitian kriminologi. Prenada Media.

Nuraida, A., & Kurniawan, I. D. (n.d.). ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MENGABULKAN PERMOHONAN RESTITUSI BAGI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN. Verstek, 12(1), 117�127.

Rosyda. (2024). Memahami Pengertian DNA Pro, Cara Kerja, dan Ciri-Ciri Investasi Bodong.

Setiyawan, D., Ramli, M., & Rahmad, N. (2022). Kedudukan Rasio Decidendi Hakim Dalam Pemenuhan Hak Restitusi Kepada Korban kejahatan Seksual pada Anak. Jatijajar Law Review, 1(1), 38�46.

Shaqila, F., & Lubis, R. (2023). Hak Restitusi Terhadap Anak Korban Tindak Pidana dan Implementasinya Dalam Putusan Hakim. Neoclassical Legal Review: Journal of Law and Contemporary Issues, 2(2), 11�18.

 

� 2025 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)