DIMENSI RESTITUSI DAN PENEMUAN HUKUM DALAM KASUS DNA PRO: STUDI ATAS
PUTUSAN NOMOR 3/PID.RES/2023/PN BANDUNG
Nu'man
Sofari Hafid1, Dian Rusmana2, Alvan Rahfiansyah Lubis3,
Ramdani Wahyu Sururie4
Universitas
Islam Negeri Gunung Djati Bandung, Indonesia
Email: nu'[email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
INFO
ARTIKEL |
ABSTRAK |
Kata Kunci: Restitusi korban,
Penemuan hukum, Skema investasi bodong Keywords: |
Artikel ini membahas dimensi restitusi dan penemuan hukum dalam kasus DNA Pro, berdasarkan analisis Putusan Nomor 03/Pid.Res/2023/PN Bandung. Kasus ini menyoroti tantangan korban tindak pidana dalam memperoleh restitusi yang adil, terutama dalam konteks sistem hukum Indonesia yang
belum sepenuhnya mengakomodasi
hak-hak korban. DNA Pro, yang beroperasi
dengan skema piramida, menyebabkan kerugian finansial besar bagi lebih
dari 3.000 korban, dengan
total kerugian mencapai
551 miliar rupiah. Proses hukum
kasus ini mengungkap adanya ambiguitas dalam peraturan restitusi, yang menyebabkan pengadilan dan LPSK saling melempar tanggung jawab. Penelitian ini
menggunakan pendekatan yuridis
normatif dengan analisis deskriptif untuk mengevaluasi kelemahan regulasi dan implementasi hukum yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem restitusi di Indonesia masih didominasi mekanisme lama seperti KUHAP, dengan kurangnya harmonisasi antara peraturan baru dan praktik di lapangan. Selain
itu, kurangnya pemahaman
hakim terhadap bukti yang
diajukan korban memperburuk
situasi. Penemuan hukum dianggap penting dalam kasus ini, tetapi praktiknya
menghadapi banyak kendala
karena kelemahan interpretasi hukum. Penelitian ini merekomendasikan reformasi regulasi yang mengintegrasikan mekanisme restitusi dengan sistem peradilan pidana secara lebih jelas, serta pelatihan bagi aparat penegak hukum. Hal ini penting untuk memastikan akses yang lebih baik bagi korban terhadap keadilan, tanpa menghadapi hambatan prosedural dan kelembagaan ABSTRACT This
article examines restitution and legal discovery dimensions in the DNA Pro
case through Decision Number 03/Pid.Res/2023/PN
Bandung. The case highlights challenges faced by crime victims in obtaining
fair restitution, particularly in Indonesia's legal system, which
inadequately addresses victims� rights. DNA Pro�s pyramid scheme caused
financial losses exceeding IDR 551 billion for over 3,000 victims. Judicial
proceedings revealed regulatory ambiguities, leading to a blame-shifting
dynamic between the court and LPSK. Using a normative juridical approach with
descriptive analysis, this study evaluates weaknesses in regulatory and legal
practice implementation. Findings indicate Indonesia�s restitution system is
still dominated by older mechanisms like the Criminal Procedure Code, with
insufficient harmonization between new regulations and field practices.
Additionally, judges' limited understanding of evidence submitted by victims
exacerbated the problem. Legal discovery is deemed essential in this case,
but its implementation encounters challenges due to
weak legal interpretation. The study recommends regulatory reforms that
integrate restitution mechanisms more clearly within the criminal justice
system and training for law enforcement. These measures are crucial to
improving victims� access to justice without procedural and institutional
barriers. |
Victim restitution, Legal discovery,
Fraudulent investment scheme |
Seseorang yang menjadi korban tindak pidana harus menghadapi masalah hukum yang krusial. Setelah merasakan pengalaman sebagai korban tindak pidana, ia harus mengalami viktimisasi lanjutan akibat adanya penolakan secara sistematis oleh sistem peradilan pidana (Chan, 2018). Penolakan tersebut terjadi karena adanya pandangan posisi korban telah diambil alih oleh negara, sehingga keterlibatan korban lebih jauh dalam proses peradilan untuk memperjuangkan hak-haknya dinilai akan membebani jalannya sistem yang ada. Selain itu juga dianggap akan berpengaruh pada efektivitas dan efisiensi kerja aparat penegak hukum. Korban sebagai pihak yang menderita dan dirugikan akibat pelanggaran hukum pidana biasanya hanya dilibatkan sebatas pada memberikan kesaksian sebagai saksi korban (Ajirosa Sapta Santosa, 2024). Akibatnya sering terjadi korban merasa tidak puas dengan tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan/atau putusan yang dijatuhkan oleh Hakim karena dianggap tidak sesuai dengan nilai keadilan korban (Setiyawan et al., 2022).
Hal tersebut disebabkan karena sistem peradilan pidana diselenggarakan untuk mengadili pelaku tindak pidana, bukan untuk melayani kepentingan korban tindak pidana, karena tindak pidana merupakan tindakan pelakunya melawan negara (Mahawijaya, 2024). Keberadaan sistem peradilan pidana ditujukan untuk kepentingan negara dan masyarakat, bukan untuk kepentingan personal warga masyarakat. Hal ini menyebabkan kerugian akibat tindak pidana yang diderita oleh korban tindak pidana merupakan musibah yang harus ditanggung korban itu sendiri karena bukan merupakan fungsi sistem peradilan pidana untuk menanggungnya (Marasabessy, 2016).
Ilmu terhadap korban atau
dikenal viktimologi setuju bahwa penyelesaian kasus kejahatan harus melalui
studi tentang pengaruh yang diterima oleh korban sebagai objek kejahatan, bukan
sebaliknya yang telah terjadi, yaitu lebih menilai dari sudut pandang studi
pelaku kejahatan (Mustofa, 2015). Viktomologi berkembang sebagai sarana
untuk mengantisipasi kejahatan sebelum sebenarnya terjadi kejahatan yang
melahirkan hukum pidana. Melalui perspektif tentang korban dan kemungkinan
penyebab kriminalitas yang diindikasikan sebagai kriminal, ilmu vichtomology
adalah sebuah proses dalam penerapan kebijakan publik. Dalam teorinya, Schafer
menyatakan bahwa korban memiliki peran fungsional, yaitu menjaga atau membela
diri mereka sendiri dan tidak melakukan tindakan provokatif yang memicu
tindakan kriminal (Lubis et al.,
2023).
Salah satu hak korban tindak pidana adalah meminta ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Sesuai dengan Declaration of the United Nations on the Prosecution and Assistance of Crime Victims, Part I, Item 4 menegaskan bahwa setiap negara bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak korban tindak pidana:
�Reparation by the offender to the victim shall be an objective of the process justice. Such reparation may include (1) the return of stolen property, (2) monetary payment for loss, damages, personal injury and psychological trauma, (3) payment for suffering, and (4) service to the victim. Reparation should be encouraged by the correctional process.�
DNA Pro menggunakan skema penjualan langsung dengan pola ponzi atau piramida, yang merupakan salah satu bentuk penipuan investasi paling umum karena menjanjikan keuntungan besar dalam waktu singkat. Dalam skema ini, anggota jaringan DNA Pro diharuskan merekrut anggota baru dan terus melakukan transaksi untuk meraih keuntungan besar. Keuntungan yang diperoleh bergantung pada jumlah transaksi yang dilakukan oleh anggota baru, mirip dengan sistem gali lubang tutup lubang. Awalnya, anggota merasa diuntungkan karena pembayaran keuntungan berjalan lancar. Namun, Kemendag menemukan kejanggalan pada sistem investasi ini. Keuntungan yang diterima anggota sebenarnya bukan berasal dari aktivitas trading, melainkan dari setoran anggota baru yang bergabung, sehingga anggota baru secara tidak langsung membiayai anggota yang lebih senior. Agar tampak menarik, platform ini menjanjikan profit harian sebesar 1% hingga 3%, atau 5% per minggu. Tawaran ini terlihat lebih realistis dibandingkan beberapa platform robot trading lain yang menjanjikan hingga 5%-7% per hari. Selain itu, calon anggota dapat memilih level paket dengan minimal deposit dan pembagian keuntungan yang bervariasi. Harga robotnya sendiri ditetapkan sebesar 10% dari total deposit awal anggota baru.
Kasus DNA PRO ini telah melewati proses persidangan, Sekitar pertengahan bulan Maret, Kemendag lalu melaporkan kasus platform robot trading ini ke Bareskrim Polri sambil menyerahkan hasil pemeriksaan awal yang sudah mereka lakukan. Dari pemeriksaan tersebut, Bareskrim melakukan pengusutan lalu menetapkan 12 orang tersangka, yaitu RS, Y, R, SR, JG. F, HAS, DA, DZ, FW, RK, dan DV. Dari kedua belas tersangka ini, DA, DZ, dan FW kabur keluar negeri dan menjadi buronan polisi. Kasus semakin heboh saat pihak berwajib memanggil 12 artis papan atas untuk menelusuri aliran dana. Satu bulan kemudian, pada bulan April 2022 polisi menangkap DA di Bandara Soekarno Hatta. Hari Senin 15 Agustus 2022 kemarin, berkas perkara kasus DNA Pro ini sudah dinyatakan lengkap oleh jaksa. Kasus penipuan investasi bodong yang dilakukan DNA Pro ini benar-benar luar biasa besar, korbannya mencapai 3.621 orang dengan total kerugian sampai 551 miliar rupiah (Rosyda, 2024).
Dengan ditangkapnya para pelaku dibalik kasus DNA PRO tersebut para korban juga mengajukan penetapan korban melaui sidang penetapan restitusi Nomor 03/Pid.Res/2023/PN Bdg. Dalam penetapan tersebut hakim dianggap tidak dapat menetapkan karena dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a Perma nomor 1 tahun 2022 jo. Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 35 Tahun 2020 telah menentukan Tindak Pidana yang dapat dimohonkan restitusi dan tindak pidana lain yang harus sesuai dengan keputusan LPSK.
Dalam putusan tersebut juga hakim menimbang, bahwa pemohon melalui Penasihat Hukumnya hanya melampirkan pengajuan surat bukti berupa balasan LPSK yang intinya LPSK telah melakukan perhitungan ganti rugi (restitusi) terhadap 1034 korban dan telah disampaikan kepada Kejaksaan Negeri Kota Bandung tangal 27 Desember 2022, berkenaan itu LPSK tidak dapat memberikan penilaian terhadap ganti rugi yang diajukan (�). Dalam hal ini Penasihat hukum telah melampirkan rekomendasi oleh LPSK untuk mengajukan penetapan korban.
Dalam argumentasi tersebut hakim dan lembaga yang ditugaskan juga kebingungan dalam
menentukan restitusi kasus ini seperti
melempar tanggung jawab antara hakim, kejaksaan, dan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban. Dan sampai hari
ini korban masih kebingungan bagaimana cara mereka agar mendapatkan keadilan sesuai dengan haknya dalam mendapatkan keadilan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dimensi restitusi dan penemuan hukum dalam kasus DNA PRO: studi atas putusan nomor 3/Pid.Res/2023/PN bandung.
METODE PENELITIAN
Penelitian yuridis normatif ini menitikberatkan pada
kajian dokumen hukum, termasuk putusan Nomor 3/Pid.Res/2023/PN Bandung, untuk
mengeksplorasi penerapan hukum dalam dimensi restitusi dan penemuan hukum..
Pendekatan ini melibatkan prinsip-prinsip hukum yang relevan dengan
permasalahan yang akan di teliti. Spefikasi penelitian ini adalah deskriptif
analisis dimana tidak hanya untuk mengungkap atau mendeskripsikan dengan
detail, tetapi gagasan tersebut akan dibahas dan dianalisis agar memberikan
pemahaman yang utuh. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan
metode kuliatatif dengan merujuk pada bahan-bahan penelitian sekunder seperti,
jurnal, buku, artikel dan sumber bacaan lainnya yang berkaitan dengan materi
penelitian.
Analisis data yang digunakan dalam penulisan ini
dilakukan dengan cara Menyusun secara berurutan dan sistematis, kemudian di
analisis menggunakan metode kualitatif untuk memperoleh gambarang tentang inti
permasalahan dengan metode berfikir deduktif, yakni cara berfikir yang dimulai
dari hal yang umum dan menarik hal-hal yang khusus dan disajikan dalam bentuk
deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Restitusi dalam konsteks hukum Indonesia
Restitusi adalah
kompensasi langsung yang diberikan pelaku kepada korban atas kerugian yang
mereka derita. Di Indonesia, mekanisme restitusi diatur dalam (Shaqila & Lubis, 2023):
-
Pasal 98 KUHAP yang memungkinkan penggabungan
perkara pidana dan perdata.
-
UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, yang menjamin hak korban untuk menerima ganti rugi.�
Pemberian restitusi
merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum yang bertujuan membantu anak
sebagai korban tindak pidana. Restitusi memberikan kompensasi yang adil dan
layak bagi korban serta keluarganya atas dampak kejahatan yang mereka alami.
Bentuk ganti rugi ini mencakup pengembalian atau pembayaran atas kerugian
materiil dan immateriil, seperti penggantian aset yang hilang, biaya perawatan
medis, serta penyediaan layanan pendukung dan hak-hak pemulihan korban (Harumi & Santoso, n.d.).
Pengaturan mengenai
restitusi dirancang untuk memperjelas prosedur permohonan dan mekanisme
pemberian ganti rugi, khususnya bagi anak korban tindak pidana, termasuk kasus
kekerasan seksual. Selain menjadi wujud nyata perlindungan terhadap korban,
aturan ini juga memberikan panduan kepada aparat penegak hukum untuk memastikan
bahwa perlindungan anak pasca kejahatan mendapatkan perhatian serius. Hal ini
memperkuat pemulihan korban secara menyeluruh, baik dari segi fisik,
psikologis, maupun sosial.
Selain KUHAP, peraturan
perundang-undanganyang mengatur
mengenai restitusi bagi korban tindak pidana sebenarnya telah ada sebelum
UU No. 13 Tahun 2006 terbentuk.
Akan tetapi, ketentuan tersebut masih terbatas untuk korban dari suatu tindak pidana
tertentu, yakni korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat6 dan
korban tindak pidana terorisme. Dalam UU No. 13 Tahun
2006, ketentuan mengenai restitusi hanya diatur dalam satu pasal sebagai berikut:
�
Pasal 7
(1). Korban melalui
LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
a. hak atas kompensasi
dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia
yang berat;
b. hak atas restitusi
atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak
pidana.
(2). Keputusan mengenai
kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur denganPeraturan Pemerintah.
Kurangnya aturan
yang jelas mengenai restitusi membuat korban tindak pidana mengalami
kesulitan dalam mengajukan permohonan. Pertama, korban sering tidak memahami jenis kerugian apa saja yang dapat
diajukan untuk restitusi. Kedua, korban tidak mengetahui kapan waktu yang tepat untuk mengajukan
permohonan tersebut, apakah segera setelah
tindak pidana terjadi, sebelum jaksa mengajukan tuntutan, atau sebelum hakim menjatuhkan putusan. Ketiga, korban tidak memahami prosedur yang harus dilakukan jika pelaku tindak pidana
tidak mampu atau enggan membayar
restitusi yang dimohonkan. Keempat, korban juga tidak mengetahui batas waktu pembayaran restitusi oleh pelaku setelah adanya putusan hukum tetap.
Ketidak pastian
ini baru mulai teratasi setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan
Bantuan kepada Saksi dan Korban. Dalam aturan tersebut, restitusi diartikan sebagai kompensasi yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak
ketiga, mencakup pengembalian harta benda, pembayaran atas kerugian atau
penderitaan, atau biaya tindakan tertentu. Permohonan restitusi dapat diajukan secara tertulis oleh korban, keluarganya,
atau kuasanya kepada pengadilan melalui LPSK, baik sebelum maupun setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan hukum tetap. Pelaku
atau pihak ketiga diwajibkan melaksanakan putusan restitusi paling lambat 30 hari setelah menerima
salinan putusan. Jika batas
waktu ini dilampaui, pengadilan dapat memerintahkan pelaksanaan dalam waktu maksimal 14 hari sejak perintah
dikeluarkan.
Namun, meskipun
aturan restitusi dalam PP No. 44 Tahun 2008 telah dirinci, implementasinya menghadapi hambatan. Banyak hakim dan jaksa lebih memilih mekanisme
penggabungan gugatan ganti rugi sebagaimana
diatur dalam Pasal 98
KUHAP. Hal ini karena mekanisme tersebut dianggap lebih jelas, kuat, dan fleksibel dibandingkan dengan aturan restitusi
dalam UU No. 13 Tahun 2006
yang dijabarkan melalui PP
No. 44 Tahun 2008. Beberapa
penegak hukum juga menganggap bahwa aturan dalam PP No. 44 Tahun 2008 tidak setara dengan ketentuan
KUHAP, sehingga mekanisme restitusi menurut Pasal 98 KUHAP dianggap lebih kuat dan layak untuk digunakan.
Analisis Terhadap Putusan Penetapan Restitusi Nomor 03/Res.Pid/2023/PN Bandung
Dalam putusan yang diambil oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Bandung, ditemukan adanya kekeliruan dalam mempertimbangkan aspek formal terkait pengajuan permohonan restitusi. Kekeliruan tersebut terkait dengan pemahaman terhadap Pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. Peraturan ini menyebutkan bahwa restitusi dapat diajukan untuk tindak pidana
tertentu, seperti pelanggaran berat hak asasi manusia,
terorisme, perdagangan manusia, diskriminasi ras dan etnis, serta tindak pidana
lainnya sebagaimana ditentukan oleh keputusan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Sebagai bagian dari prosedur formal, kuasa hukum para pemohon telah mengajukan
permohonan kepada LPSK dan menerima surat balasan resmi dari
LPSK dengan nomor
R-1626/4.1.PPP/LPSK/06/2023. Dalam surat tersebut, LPSK menyatakan bahwa mereka tidak
dapat memberikan penilaian terhadap pengajuan ganti rugi dan menyarankan agar permohonan restitusi diajukan melalui penetapan Pengadilan Negeri Bandung. Menindaklanjuti
rekomendasi tersebut, kuasa hukum mengajukan
permohonan restitusi sesuai
prosedur yang diatur, tetapi Majelis Hakim justru mengembalikan tanggung jawab kepada LPSK. Hal ini menciptakan lingkaran ketidakpastian, di mana LPSK dan Pengadilan
Negeri Bandung saling mengalihkan
tanggung jawab.
Kekeliruan Majelis
Hakim dalam hal ini bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa pengadilan wajib membantu pencari keadilan dengan mengatasi segala hambatan untuk mencapai peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Tindakan Majelis Hakim
yang menghindari pengambilan
keputusan justru menciptakan hambatan tambahan bagi korban.
Selain itu, Majelis
Hakim tampaknya juga salah menafsirkan
surat dari LPSK yang menyebutkan bahwa mereka telah melakukan
perhitungan restitusi untuk
1.034 korban dan telah menyampaikan
hasil tersebut kepada Kejaksaan Negeri Bandung pada 27 Desember 2022. Surat ini hanya menyebutkan
korban yang telah melapor kepada Kejaksaan, sedangkan para pemohon restitusi (Pemohon I-XLI) juga termasuk dalam kelompok korban tindak pidana DNA PRO, dengan bukti-bukti yang jelas terlampir dalam Penetapan Nomor 03/Res.Pid/2023/PN Bandung (P-1.1 hingga
P-41).
Kesalah pahaman
ini menunjukkan bahwa Majelis Hakim gagal memberikan penilaian yang komprehensif terhadap bukti yang diajukan oleh para korban. Hal ini
tidak hanya merugikan korban, tetapi juga menciptakan kebingungan tentang pihak mana yang bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan hukum. Di sisi lain, LPSK yang seharusnya menjalankan fungsi perlindungan saksi dan korban juga tidak memberikan keputusan definitif, melainkan memberikan rekomendasi yang justru memperpanjang proses.
Keadaan ini menyoroti perlunya harmonisasi antara aturan restitusi yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2022 dengan mekanisme dalam peraturan lainnya, sehingga lembaga terkait dapat menjalankan tugas mereka tanpa
saling melempar tanggung jawab. Selain itu, diperlukan klarifikasi dan peningkatan pemahaman aparat penegak hukum mengenai mekanisme restitusi agar tidak terjadi kebingungan
yang menghambat akses
korban terhadap keadilan.
Analisis Penemuan Hukum Terhadap Putusan Penetapan Restitusi Nomor 03/Res.Pid/2023/PN Bandung
Penemuan hukum (rechtsvinding)
adalah proses interpretasi dan penggalian norma hukum oleh hakim untuk
menyelesaikan perkara tertentu, terutama ketika hukum tertulis tidak memberikan
pengaturan yang jelas atau tidak cukup memadai. Dalam konteks sistem hukum
Indonesia yang berlandaskan civil law, hakim tidak menciptakan hukum baru
tetapi menemukan dan menyesuaikannya agar dapat diterapkan secara adil sesuai
dengan keadaan kasus (Nuraida & Kurniawan, n.d.). beberapa penemuan
hukum yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
1.
Kelemahan dalam Koordinasi Antarlembaga: Pengadilan
Negeri Bandung dan LPSK saling melempar
tanggung jawab terkait pemberian restitusi, menunjukkan kurangnya mekanisme koordinasi yang jelas antara lembaga perlindungan saksi dan korban serta lembaga peradilan.
Hal ini mengindikasikan adanya kebutuhan untuk harmonisasi hukum dan tata laksana.
2.
Ketidakpastian Aspek Prosedural: Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung keliru
dalam menafsirkan Pasal 2 ayat
(1) huruf a Perma Nomor 1 Tahun 2022, khususnya dalam kaitannya dengan yurisdiksi dan prosedur formal pengajuan restitusi. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum bagi korban dalam memahami jalur dan waktu yang tepat untuk mengajukan restitusi.
3.
Kesenjangan Implementasi Peraturan: Perma Nomor 1 Tahun 2022 dan UU No. 48 Tahun
2009 menggariskan prinsip perlindungan dan penyederhanaan
proses hukum bagi pencari keadilan. Namun, dalam praktiknya, ketentuan tersebut tidak diimplementasikan secara konsisten, sehingga korban tindak pidana kesulitan mendapatkan haknya.
4.
Dominasi KUHAP atas Perma dan PP: Aparat
penegak hukum lebih mengutamakan mekanisme yang diatur dalam Pasal
98 KUHAP untuk penggabungan gugatan
ganti kerugian dibandingkan
dengan mekanisme restitusi dalam Perma Nomor 1 Tahun 2022. Hal ini menunjukkan bahwa perangkat peraturan yang lebih baru cenderung dianggap subordinat terhadap KUHAP, yang berpotensi membatasi inovasi hukum.
5.
Kurangnya Pemahaman Hakim
atas Bukti dan Korban: Majelis Hakim tampak tidak memperhatikan
bukti yang diajukan oleh
korban (P-1.1 hingga P-41) yang menunjukkan
bahwa Pemohon I-XLI adalah korban langsung tindak pidana DNA PRO. Ini menyoroti pentingnya pelatihan dan pembaruan pemahaman hukum bagi hakim untuk menghindari kesalahpahaman dalam menilai bukti dan menafsirkan surat resmi.
6.
Kekosongan Hukum dalam Penanganan
Tindak Pidana Kompleks: Kasus ini mencerminkan adanya kekosongan hukum dalam pengaturan tindak pidana kompleks,
di mana tidak ada aturan jelas yang mengintegrasikan mekanisme restitusi dengan sistem peradilan pidana secara operasional.
kasus ini
mencerminkan adanya kebutuhan mendesak untuk memperbaiki sistem hukum yang mengatur mekanisme restitusi di Indonesia. Kekeliruan
dalam mempertimbangkan aspek formal, seperti yang ditunjukkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung, menimbulkan
hambatan serius bagi korban dalam mengakses keadilan. Ketidak pastian prosedural dan koordinasi yang buruk antara lembaga
terkait, seperti LPSK dan pengadilan, memperburuk situasi, menciptakan kebingungan di kalangan korban tentang jalur hukum
yang harus mereka tempuh. Hal ini bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menekankan perlunya pengadilan membantu pencari keadilan dengan mengatasi hambatan dan memastikan proses yang sederhana,
cepat, dan murah.
Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, diperlukan langkah-langkah strategis yang mencakup harmonisasi regulasi antara Perma, KUHAP, dan
aturan lainnya, sehingga mekanisme restitusi dapat diimplementasikan secara konsisten dan tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Selain itu, peningkatan kapasitas hakim dan aparat penegak hukum dalam memahami dan menilai bukti secara
komprehensif sangat penting
untuk memastikan keadilan bagi korban. Kasus ini juga menjadi momentum untuk memperbaiki kerangka hukum yang mengatur perlindungan korban tindak pidana, dengan memastikan setiap aturan yang baru tidak hanya diterapkan secara formal, tetapi juga mampu menjawab kebutuhan praktis di lapangan, sehingga korban dapat memperoleh hak-haknya dengan adil tanpa menghadapi
hambatan administratif atau kelembagaan
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis terhadap Putusan Nomor 3/Pid.Res/2023/PN Bandung dalam kasus
DNA Pro, dapat disimpulkan bahwa dimensi restitusi
dan penemuan hukum memainkan peran penting dalam penegakan keadilan bagi para korban. Restitusi dalam perkara ini menjadi instrumen
yang tidak hanya berfungsi sebagai bentuk kompensasi bagi korban, tetapi juga sebagai upaya pemulihan
ekonomi akibat tindak pidana yang dilakukan. Dalam proses peradilan,
penerapan restitusi sering kali menghadapi kendala, baik dari aspek
peraturan yang masih terbatas maupun dari implementasi yang belum
optimal di tingkat yudisial.
Sementara itu, aspek penemuan hukum dalam putusan ini menunjukkan bahwa hakim memiliki peran yang signifikan dalam menafsirkan aturan hukum yang belum eksplisit mengatur modus operandi kejahatan
berbasis teknologi seperti DNA Pro. Dengan mempertimbangkan asas keadilan dan prinsip hukum pidana yang berlaku, hakim berupaya mengisi kekosongan hukum dengan menggunakan metode penemuan hukum, baik secara
interpretatif maupun progresif.
Penelitian
ini menegaskan bahwa dalam kasus-kasus kejahatan berbasis teknologi yang melibatkan investasi ilegal seperti DNA Pro, sistem hukum harus terus berkembang dengan memberikan ruang bagi restitusi yang lebih efektif serta
penemuan hukum yang adaptif. Dengan demikian, keputusan peradilan dapat memberikan keadilan yang lebih komprehensif bagi korban serta memperkuat perlindungan hukum dalam menghadapi modus kejahatan ekonomi digital yang semakin kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
Ajirosa Sapta Santosa, A. S. S. (2024). PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KORBAN PIDANA PENIPUAN ONLINE DI KELURAHAN GENUK KECAMATAN
UNGARAN BARAT KABUPATEN SEMARANG. UNDARIS.
Chan, S. (2018). Perlindungan Hukum
terhadap Korban Tindak Pidana oleh Korporasi Perbankan Menurut Perma No. 13
Tahun 2016. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5(2), 68�75.
Harumi, P. I., & Santoso, B. (n.d.).
TINJAUAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MELALUI
PUTUSAN RESTITUSI. Verstek, 12(3), 182�190.
Lubis, A. R., Fauzia, I., & Arifin, T.
(2023). Reviewing victimology in the doxing case of an Indonesian virtual
Youtuber. Indonesian Journal of Multidisciplinary Science, 2(6),
2559�2572.
Mahawijaya, I. (2024). TEROBOSAN HUKUM
(RULE BREAKING) OLEH HAKIM DALAM MENENTUKAN PENGAJUAN PERMOHONAN RESTITUSI BAGI
KORBAN ANAK. Causa: Jurnal Hukum Dan Kewarganegaraan, 2(6),
61�70.
Marasabessy, F. (2016). Restitusi Bagi
Korban Tindak Pidana: Sebuah Tawaran Mekanisme Baru. Jurnal Hukum &
Pembangunan, 45(1), 53�75.
Mustofa, M. (2015). Metodologi
penelitian kriminologi. Prenada Media.
Nuraida, A., & Kurniawan, I. D. (n.d.).
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MENGABULKAN PERMOHONAN RESTITUSI BAGI ANAK KORBAN
TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN. Verstek, 12(1), 117�127.
Rosyda. (2024). Memahami Pengertian DNA
Pro, Cara Kerja, dan Ciri-Ciri Investasi Bodong.
Setiyawan, D., Ramli, M., & Rahmad, N.
(2022). Kedudukan Rasio Decidendi Hakim Dalam Pemenuhan Hak Restitusi Kepada
Korban kejahatan Seksual pada Anak. Jatijajar Law Review, 1(1),
38�46.
Shaqila, F., & Lubis, R. (2023). Hak
Restitusi Terhadap Anak Korban Tindak Pidana dan Implementasinya Dalam Putusan
Hakim. Neoclassical Legal Review: Journal of Law and Contemporary Issues,
2(2), 11�18.